LOGINChapter Ciuman di pantry itu berbeda dari sebelumnya. Tidak ada kecanggungan seperti yang pertama, dan tidak ada kehati-hatian seperti saat mereka berada di apartemen. Ciuman ini terburu-buru, dipenuhi adrenalin dan bahaya.
Alex mendorong Nara perlahan hingga ia tersudut di antara meja marmer dan dinding. Pintu pantry itu memang terkunci otomatis, tetapi suara klik sekecil apapun dari luar bisa menghancurkan segalanya.
Gairah membuat mereka bergerak cepat. Alex menjauhkan kepalanya sebentar, napasnya memburu di leher Nara. Tangan besarnya meraba bagian belakang leher Nara, menariknya ke dalam pelukan yang menekan. Nara bisa merasakan detak jantung Alex yang menggila, jauh lebih kencang daripada detak jantungnya sendiri.
"Aku gila," bisik Alex, suaranya parau, bukan pertanyaan, melainkan pengakuan. "Aku tidak bisa fokus. Setiap rapat, aku hanya memikirkan kapan aku bisa melakukan ini lagi."
Nara tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mencengkeram kemeja Alex di bahunya, menariknya kembali untuk ciuman yang lebih dalam. Ia membiarkan hasratnya membalas pengakuan itu.
Kemeja Alex yang awalnya kaku dari rapat kini terasa hangat dan lembap. Tangan Nara berani bergerak ke atas, menarik-narik dasi mahal Alex hingga simpulnya sedikit melonggar.
Tangan Alex yang sebelumnya memeluk pinggang Nara kini bergerak cepat, naik ke punggung Nara, meluncur ke atas hingga mencapai ritsleting gaun Nara. Ia tidak membuka ritsleting itu, tetapi jari-jarinya menekan keras di sepanjang garis tulang belakang Nara, seolah ingin menyerap kehangatan tubuh Nara secara keseluruhan.
Kemudian, tangan itu beralih. Dalam gerakan yang berani dan sangat disengaja, tangan Alex menjangkau ke depan, ke gaun yang dikenakan Nara. Alex tidak ragu; telapak tangannya menangkup sisi dada Nara melalui kain. Sentuhan itu adalah pelanggaran mutlak yang mereka sepakati untuk dihindari di kantor.
Nara terkesiap, ciuman mereka terlepas lagi. Ia merasakan desiran yang menjalar, bukan hanya karena sentuhan itu, tetapi karena risiko yang mereka ambil di lokasi yang begitu publik.
Alex mencondongkan kepalanya, dahi mereka bersentuhan. Matanya gelap, penuh kemenangan karena berhasil menembus lapisan formalitas Nara.
"Aku tahu ini salah," bisik Alex, suaranya kini terasa seperti ancaman dan janji. "Tapi aku tidak peduli, Nara. Ini adalah gairah jam lembur kita. Ini adalah milik kita, dan tidak ada yang perlu tahu."
Nara hanya bisa bernapas pendek. Sentuhan tangan Alex terasa begitu panas, begitu menuntut, hingga ia merasa seluruh tubuhnya mencair. Ia menutup matanya, menyerah pada sensasi itu.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di lorong luar.
Suara langkah itu adalah bel alarm brutal yang langsung menarik mereka kembali ke realitas yang kejam.
Alex menarik tangannya dengan cepat, seolah terbakar. Wajahnya seketika berubah—kembali ke topeng dingin CEO dalam hitungan detik. Ia mendorong Nara menjauh, memaksanya untuk kembali ke jarak aman.
"Seseorang datang," bisik Alex, nyaris tanpa suara. Ia berjalan ke tempat microwave berada, berpura-pura sedang mengambil makanan beku yang dipanaskan.
Nara, dengan jantung yang masih berdebar kencang dan dada yang masih terasa panas bekas sentuhan Alex, bergegas ke wastafel, berpura-pura mencuci tangan.
Pintu pantry terbuka, dan seorang petugas kebersihan masuk, mendorong gerobak peralatan. Petugas itu mengangguk singkat pada mereka, tidak melihat adanya keanehan, lalu mulai mengisi ulang dispenser air.
Nara mencuci tangannya, memastikan ia terlihat tenang. Namun, ia tahu. Alex telah melanggar aturan dalam kontrak rahasia mereka. Dan ia, Nara, telah mengizinkannya.
Petugas kebersihan itu akhirnya pergi, pintu pantry tertutup di belakangnya dengan suara klik pelan. Keheningan yang tiba-tiba kembali terasa lebih memekakkan daripada saat mereka dihampiri.
Alex dan Nara tetap berada di posisi mereka, hanya terpisah beberapa langkah. Alex masih berdiri di dekat microwave tangannya menekan permukaan baja dingin itu, seolah ia sedang menahan sesuatu di dalam dirinya agar tidak meledak. Nara, di sisi wastafel, mencoba menormalkan wajah dan pakaiannya.
"Dasiku," kata Alex, suaranya kembali ke nada perintah yang tenang, tetapi masih ada getaran di sana.
Nara menoleh. Simpul dasi sutra Alex yang mahal memang sudah melonggar dan sedikit miring, akibat ulah tangannya sendiri. Itu adalah bukti fisik dari pelanggaran yang hampir terekam.
Nara berjalan mendekat. Alex diam-diam membiarkannya. Jarak mereka kini hanya beberapa inci. Tanpa bicara, Nara mulai merapikan dasi Alex. Jemarinya yang dingin menyentuh kemeja Alex yang hangat, menciptakan kontras yang tajam. Ia merasakan panas yang memancar dari leher Alex, tempat ia mencondongkan tubuhnya.
Nara harus memiringkan kepalanya sedikit untuk membuat simpul dasi itu sempurna. Aroma napas Alex yang samar menyentuh dahinya. Nara berusaha keras untuk fokus pada simpul kain, bukan pada otot rahang Alex yang bergetar di dekatnya.
Alex menatap mata Nara sepanjang waktu. Tatapannya tidak lagi penuh gairah, tetapi penuh kepemilikan dan penyesalan dingin.
"Jangan pernah melakukan itu lagi," bisik Alex, suaranya sangat rendah. Itu terdengar seperti perintah. "Jangan pernah lagi ada yang melihatmu di dekatku setelah jam delapan. Kita tidak boleh membuat rutinitas yang terprediksi."
"Anda yang datang mencari saya, Pak," balas Nara, ia menyelesaikan simpul itu dan melangkah mundur.
Alex mengangguk. "Dan aku yang akan menghentikannya. Aku butuh kamu di sini, Nara. Aku tidak bisa membiarkan satu sentuhan bodoh menghancurkan karier kita berdua."
Nara tahu, Alex berbicara tentang karier, tetapi ia juga berbicara tentang kontrol. Alex tidak bisa menerima bahwa ia kehilangan kendali dirinya karena seorang asisten di pantry kantor.
"Saya akan pulang sekarang," kata Nara.
"Tunggu," Alex meraih pergelangan tangan Nara. Sentuhan itu adalah pengingat yang menyakitkan. "Apakah ada yang melihatmu naik?"
"Tidak. Saya menggunakan tangga darurat."
"Bagus. Sekarang turunlah. Gunakan tangga darurat lagi ke lantai dasar. Ambil taksi. Jangan ada mobil kantor yang menjemputmu."
Nara mengangguk. Alex melepaskan pergelangan tangannya.
Ketika Nara melangkah pergi, Alex memanggil lagi. "Nara."
Nara berbalik.
Alex berjalan ke meja dan mengambil botol air mineral. "Ambil ini. Dan bersihkan dirimu. Rambutmu berantakan."
Nara meraih botol itu, dinginnya langsung terasa di kulitnya yang panas. Ia berjalan ke wastafel dan membasahi pelipisnya. Di cermin, ia melihat dirinya seorang wanita yang tampak lelah, tetapi matanya bersinar dengan bahaya yang baru ditemukan.
Nara meninggalkan pantry, menuruni tangga darurat ke lantai satu. Saat ia mencapai lobi yang gelap dan kosong, ia merasakan sentuhan Alex dan bau maskulinnya masih melekat pada kulitnya.
Nara tahu bahwa ia harus bersiap. Jika Alex yang perfeksionis ini sudah kehilangan kontrol di pantry, konsekuensi dari pertemuan mereka berikutnya akan menjadi jauh lebih berbahaya. Ia telah menjadi bagian dari obsesi Alex.
Setelah dua bulan menenggelamkan diri dalam pekerjaan dan membangun perusahaannya, Nara kembali ke Jakarta. Bukan untuk menetap, melainkan untuk memenuhi hukuman terakhir yang ia tetapkan sendiri: menyaksikan Alex Kael terikat selamanya.Pesta pertunangan resmi Alex dan Eliza diadakan di Grand Ballroom yang mewah, menjadi puncak dari sandiwara yang telah mereka rancang. Nara tidak lagi datang sebagai 'tamu bisnis'. Ia datang sebagai pemilik perusahaannya sendiri, membawa aura kesuksesan yang dingin dan tak terbantahkan.Nara mengenakan gaun velvet berwarna hijau zamrud yang elegan dan jauh lebih mewah daripada gaun hitam di acara sebelumnya. Gaun itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, memancarkan kepercayaan diri yang brutal. Di lehernya, ia mengenakan kalung sederhana namun berkelas, tanpa perhiasan mencolok, ia membiarkan kesuksesannya menjadi satu-satunya aksesorisnya.Nara melangkah masuk ke ballroom yang ramai. Seketika, ia merasakan perubahan atmosfer yang familier—perhatian terf
Eliza, yang haus akan pengakuan dan stabilitas, terbius oleh penampilan Alex yang meyakinkan. Ia merasa Alex akhirnya serius. Sandiwara itu kembali berjalan, tetapi bagi Alex, setiap senyuman yang ia berikan pada Eliza adalah pengkhianatan yang ia bayar dengan rasa sakit Nara.Sementara Alex terperangkap dalam kemewahan palsunya, Nara kembali ke apartemen kecilnya di Zürich. Nara melakukan hal yang sama: memulai sandiwara baru untuk dirinya sendiri. Sandiwara kemandirian.Nara tahu, ia tidak bisa mengalahkan pengaruh Aldebaran dengan uang atau kekuasaan. Ia harus mengalahkan mereka dengan kreativitas dan inovasi. Nara mulai menggunakan laptop barunya untuk membangun jaringan profesionalnya di Eropa. Ia tidak melamar pekerjaan; ia mulai merancang proyek konsultasi independen sebuah ide brilian yang ia kembangkan saat bekerja untuk NovaTech.Proyeknya adalah tentang analisis risiko strategis untuk perusahaan-perusahaan start-up teknologi di Eropa, sebuah area yang jauh dari jangkauan Al
Alex berdiri di hadapan Nara, tubuhnya menjadi perpaduan sempurna antara ancaman dan gairah. Nara telah memaksanya meninggalkan sandiwara dan tunangannya di pegunungan, hanya untuk menghadapi kebenaran di kota yang dingin ini."Apa yang kamu inginkan, Nara?" desak Alex lagi, suaranya serak. "Kamu memanggilku ke sini dengan ancaman risiko hukum. Itu adalah kebohongan. Kamu memanggilku karena kamu ingin menghukumku.""Saya memanggil Anda ke sini karena saya butuh penutupan," balas Nara, suaranya mantap. Ia tidak berteriak; ia berbicara dengan ketenangan yang menghancurkan. "Anda menghancurkan karir saya, Alex. Anda membuat saya aset yang tidak dapat dipekerjakan di mana pun di dunia. Saya datang untuk menuntut kompensasi terakhir.""Kompensasi finansial?" tanya Alex, ia mengeluarkan kartu hitam dari dompetnya. "Ambil. Ambil semua yang kamu mau. Tapi pergi!""Bukan uang," potong Nara, menatap kartu itu dengan jijik. "Uang Anda menjijikkan. Saya menuntut kebenaran. Saya menuntut Anda
Nara tiba di Zürich, Swiss. Ia memilih kota itu karena keterasingannya dari jaringan bisnis Alex dan keterkenalannya akan kerahasiaan tempat yang sempurna untuk menyembunyikan kebenaran yang berat.Udara Zürich terasa dingin dan bersih, sebuah kontras nyata dengan kekacauan yang baru saja ia tinggalkan di Jakarta. Nara menyewa sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, jauh dari kemewahan suite yang Alex hibahkan. Ia ingin menghapus semua jejak kendali Alex dari hidupnya.Minggu pertama Nara dipenuhi dengan kesibukan yang terpaksa. Ia belajar bahasa lokal, mencari informasi tentang pasar kerja internasional, dan yang paling penting, memproses perpisahan yang brutal yang ia alami. Flash drive yang berisi semua bukti pengakuan obsesi Alex setiap kode, setiap chat, dan speech lamaran tersimpan aman di sebuah kotak tersembunyi. Itu adalah senjata pamungkasnya, yang ia harap tidak perlu digunakan.Nara tahu, Alex pasti sudah menyadari kepergiannya dan penolakan untuk dihubungi. Keheningan d
Pagi harinya, suasana di suite pertunangan terasa dingin dan beku. Alex keluar dari ruang kerjanya. Wajahnya pucat, tetapi topeng CEO telah dipasang kembali—lebih keras dan lebih tak bernyawa dari sebelumnya.Eliza sudah menunggunya di ruang tamu. Ia mengenakan gaun tidur sutra, tetapi tatapan matanya tajam dan penuh perhitungan."Apa yang terjadi tadi malam?" tanya Eliza, nadanya menuntut. "Kau tidak menyentuhku. Kau mengurung diri di ruang kerja. Dan kau menyebut wanita lain saat kau sedang mabuk champagne."Alex berjalan ke minibar dan menuangkan air dingin. "Aku lelah, Eliza. Tekanan dari Ayahku dan Dewan Direksi sangat besar. Wanita yang kau maksud hanyalah asisten yang aku pecat. Aku memikirkannya karena dia adalah aset yang hilang, dan itu merugikan Aldebaran.""Bohong," balas Eliza. "Kau tidak hanya memikirkan aset. Kau marah. Kau terobsesi pada wanita itu. Dan aku melihatnya, Alex. Aku melihat bagaimana kau memegang pinggulnya saat di ballroom itu bukan sentuhan formal. I
Nara pergi, tetapi kehadirannya tertinggal di ballroom itu, menari di antara gemerlap kristal dan senyuman palsu. Alex berdiri membeku di sudut ruangan. Lengan yang baru saja ia gunakan untuk menarik Nara terasa dingin dan hampa.Tuan Kael Senior segera mendekat, matanya menyala marah. "Apa yang baru saja kau lakukan, Alex? Kau membiarkan asistenmu menghinaku dan merusak suasana! Dan kenapa dia begitu berani menolak tawaranku?""Ayah, Nona Nara Anjani adalah aset penting NovaTech," jawab Alex, suaranya tenang, tetapi terasa datar. "Aku tidak bisa memaksa staf perusahaan mitra kita. Ini adalah protokol bisnis yang baru.""Protokol omong kosong!" geram Tuan Kael Senior. "Wanita itu adalah masalah, Alex. Aku tidak percaya kau tidak menyadari betapa berbahayanya dia. Dia memancarkan rasa tidak hormat!""Dia adalah Kepala Strategi Operasional, Ayah. Dia hanya profesional," Alex menimpali, ia memaksakan dirinya untuk mempertahankan sandiwara itu. Ia tahu, setiap kata yang ia ucapkan adalah







