Masuk“Mawar, bagaimana menurutmu?”
Mawar yang baru saja lewat dengan membawa satu teko teh krisan dan dua cangkir di atas nampan, menoleh sejenak ke arah suara sang majikan perempuan, masih dengan peralatan minum itu di tangannya. Gadis pelayan itu menatap ke arah Mona yang saat ini sedang berdiri dengan posisi bak model di depannya. Perempuan itu mengenakan gaun panjang berwarna hitam dengan belahan berbentuk V yang cukup panjang di bagian depan. Gaun tersebut terlihat berkilau di bawah cahaya lampu. Di setiap kelopak bodiran bunga lily, tertanam permata yang membuat gaun itu seolah dihiasi tetesan embun pagi yang disinari matahari, berkilau begitu indah. Mona melenggak dengan penuh percaya diri dan gaya yang sangat sensual. Gaun itu melekat sempurna di tubuhnya yang tinggi dan sital. Ketika perempuan itu berbalik, terlihat jelas bagian punggungnya terpapar nyaris sepinggang. Kulit Mona begitu halus, lembut dan bercahaya. Di usianya yang berkepala empat, perempuan itu tidak memiliki satu kerutan pun. Wajah dan tubuhnya sudah ditangani oleh ahli kecantikan terkemuka, untuk memerangi penuaan dini, menjadikan istri Benny tersebut terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya. “Anda sangat cantik, Nyonya.” Mawar mengucapkannya dengan nada tulus. “Benarkah? Kamu tidak iri melihatku?” Mona menatap Mawar dengan nada mengejek. “Iya, Nyonya.” Jawaban jujur Mawar membuat Mona terkejut. Dia menatap tajam ke arah pelayan muda yang dengan santai berlutut, kemudian meletakkan teko dan dua cangkir di atas meja. Gadis itu kemudian menyeduh teh dengan santai. Mona langsung menoleh ke arah suaminya yang sejak tadi diam sambil membaca majalah bisnis. Pria itu ternyata tidak lagi diam melihat buku di tangannya, melainkan menatap ke arah pelayan tersebut. Mona mendengus kesal. Perempuan itu tahu Benny sering melirik banyak perempuan cantik di luaran sana dan itu bukan masalah bagi dirinya, tetapi tidak dengan gadis di depannya ini. Sosok dengan seragam pelayan tanpa pendidikan tinggi, bagaimana bisa bersaing dengan dirinya? “Kamu jujur sekali ya?” Mona tertawa sinis. Dia melangkah perlahan ke arah sofa. Suara ketukan heelsnya terdengar berirama. Bahkan saat dia duduk pun, perempuan itu terlihat begitu anggun dan percaya diri, menunjukkan kelasnya yang terlampau tinggi untuk diraih oleh seorang pembantu. Mawar tersenyum tipis, tanpa terlihat takut dia menatap ke arah nyonya rumah tersebut. Sorot matanya datar dan dingin seolah tanpa emosi memancar ke arah Mona. Pelayan itu sukar ditebak pikirannya. “Ya Nyonya. Anda begitu cantik, anggun, pintar dan kaya. Saya yakin semua orang yang mengenalmu pasti sangat iri dan kagum.” Kalimat itu meluncur dengan ringan dari mulut Mawar. “Hmm … kamu ada benarnya juga.” Mona bergumam dengan bangga. Dia mengambil cangkir tehnya dan mulai menyesap. Teh tawar itu begitu wangi dan menenangkan. Dia memandang teh berwarna kekuningan itu, lalu Mona mulai melirik ke arah suaminya yang kembali larut membaca majalah di tangannya. “Kamu boleh pergi!” Perkataan itu ditujukan pada pelayannya. Mawar langsung menganggukan kepala dan beranjak dari ruang keluarga tersebut. Perempuan itu datang dan pergi tanpa banyak bicara dan langkah kakinya sangat pelan. Mona lalu meletakkan cangkir tehnya dan mulai merangkul pinggang sang suami. Dia menyandarkan kepalanya di atas bahu lelaki itu dan tangannya yang satu lagi mulai menelusuri paha kencang sang suami. “Sayangku … apa menurutmu aku cantik?” bisik Mona merayu sang suami. “Tentu saja.” “Pakaian ini akan aku kenakan di pesta tetangga sebelah, apakah menurutmu terlalu sexy?” Tangan Mona bermain di paha sang suami, membelainya lembut dari arah luar ke dalam dan sebaliknya. Dia bersikap sedikit menggoda dengan mendekati area pangkal paha. “Aku justru senang sekali kalau melihat mereka semua iri padamu,” sahut Benny tanpa melirik ke arah Mona. Kata- kata itu terdengar begitu membanggakan wanitanya, tetapi di telinga Mona terdengar seperti hanya sekedar kalimat santai yang diucapkan tidak sepenuh hati. Bibirnya mengerucut. Sejak tadi Benny terlihat serius membaca majalah dengan sesekali membaliknya, tetapi masih sempat menatap ke arah pelayan muda yang menyuguhkan teh. Namun, sekarang dia bertanya dengan nada menggoda, tetapi suaminya itu terlihat acuh dan santai. Mona jadi merasa kesal dengan sikap Benny. “Kamu sejak tadi tidak melihat ke arahku bagaimana bisa yakin kalau pakaian ini sexy di tubuhku?” Mona bicara dengan nada manja bercampur kesal. Benny menutup majalah di tangannya. Dia lalu menatap Mona dengan datar, tak terlihat rasa kagum ataupun kesal. Pandangannya sungguh sukar untuk diprediksi. “Kamu selalu cantik mengenakan pakaian apapun, tidak perlu dipertanyakan lagi. Andy, tetangga sebelah sudah sejak dulu iri padaku karena memiliki istri seperti kamu, jadi tentu saja aku senang memamerkanmu padanya!” tegas Benny dengan santai. “Ah,” lirih Mona dengan rasa bangga yang terpancar jelas di wajahnya. “Aku mengantuk sekali hari ini, ayo kita tidur lebih awal.” Benny berdiri dan mengulurkan tangan ke arah istrinya. “Kamu belum minum tehnya,” tunjuk Mona pada cangkir yang masih utuh. “Baiklah.” Dengan patuh, Benny mengangkat cangkir itu. Dia memandang sejenak pada gelas kecil berisi cairan kuning tersebut. Pria itu memejamkan mata dan mencium aroma wangi minuman itu lalu perlahan menyesapnya dengan pelan dan sangat lembut. Di matanya terpancar sorot aneh yang tak disadari oleh Mona. Mona lalu berdiri dan mengikuti langkah suaminya masuk ke kamar. Setelah mengganti baju dan menyikat gigi, mereka lalu naik ke atas ranjang. Mona tidur sambil memeluk suaminya. Keduanya memejamkan mata dan tak lama kemudian perempuan itu pun terlelap. Saat mendengar napas istrinya sudah mulai teratur, Benny membuka matanya. “Sayang,” bisik Benny. Tidak ada jawaban. Benny menunggu sejenak, menunggu hingga genap tiga puluh menit mereka berada di atas kasur, lalu dia turun perlahan dari atas tempat tidur menuju pintu keluar. Pria tersebut keluar dengan hati- hati. Dia berjalan dengan langkah pelan dan nyaris berjinjit. Tujuannya hanya satu kamar pelayan di belakang. Sudah tak sabar rasanya memeluk kulit lembut seperti bayi yang sangat menggoda. Benny tersenyum tipis saat melihat pintu kamar Mawar tidak tertutup rapat. Dia tidak langsung masuk melainkan mengintip ke dalamnya. Lelaki itu mendesah pelan melihat perempuan yang dia incar sedang duduk di depan meja rias, dengan mengenakan daster bertali satu, sambil menyisir rambut panjangnya. Dia masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya rapat lalu mengunci. Pria itu menatap ke arah gadis cantik di dalam yang berhenti menyisir rambutnya dan melihat datar ke arahnya melalui pantulan cermin. Perlahan lelaki itu berjalan menghampiri pelayan mudanya yang begitu cantik, sekuntum mawar yang mekar sempurna dan memikat untuk dinikmati. “Kamu begitu cantik, Mawar.” Benny sudah berdiri di belakang punggung gadis itu. Pandangan mata mereka bertemu di pantulan cermin. Mawar tidak menjawab, hanya menatap lembut ke arah pria di belakangnya. Dia bahkan tak berekasi apapun saat jari jemari Benny menyusuri rambut dan kemudian turun ke tengkuknya. Benny semakin berani, dia menelusuri bahu Mawar merasakan setiap inchi kulit tangan itu yang begitu halus dirasakannya. Pria itu menatap ke arah kulit lembut itu dengan penuh keinginan. Suami Mona itu tak tahan lagi ingin mengecup kulit lembut itu. Dia lalu menyampirkan rambut panjang Mawar ke satu sisi dan mulai membelai leher jenjang tersebut dengan perlahan. “Kulitmu sangat halus sekali,” bisik Benny dengan suara serak. “Hmm,” sahut Mawar lembut nyaris seperti sebuah desahan. Benny sudah tak tahan lagi ingin mencium gadis itu. Dia menundukkan tubuhnya dan mengarahkan bibir ke arah leher Mawar. Kulit lembut itu terasa begitu halus saat menempel di bibirnya. Kedua tangan pria itu lalu meremas pinggang sang gadis dan mengangkatnya supaya berdiri dari kursi. Benny lalu semakin menenggelamkan wajahnya di leher Mawar sambil memeluk pinggang yang begitu kecil dan terasa rapuh itu. “Kamu begitu membuaiku, aku menginginkanmu,” bisik Benny dengan hasrat yang meronta. “Apa nyonya sudah tidur?” bisik Mawar. “Hmm ….” Benny bergumam dengan kedua tangan yang mulai memegang paha Mawar. Saat dia menginginkan lebih, ketika kemauannya begitu kuat dan ingin diselesaikan, suara ketukan keras terdengar di pintu mengganggu kesadarannya yang ingin memiliki gadis pelayan itu. “Mawar …. Mawar … ayo kerokin bibik. Badanku sakit semua. Mawarrr … Mawarrr !” teriak Bi Warsih di luar sana. Gerakan Benny langsung terhenti saat tangan Mawar dengan kuat mencengekeram pergelangan tangannya yang ingin masuk lebih dalam ke atas paha. “Mawar … ayo cepetan bangun. Mawar!” Mata Benny dan Mawar saling menatap. Tidak menjawab artinya akan sangat mencurigakan, tetapi jika menjawab semua yang ada dalam pikiran laki- laki itu harus tertunda lagi.Sepulang kerja Andrew, ingin sekali segera bertemu dengan Mawar dan mengajak gadis itu mengobrol. Dia merasa begitu nyaman berbincang dengan pelayan tersebut.Mawar membuatnya merasa tenang. Gadis itu membuatnya kagum dan merasa tersentuh dengan jalan hidupnya. Wajah cantik merupakan bonus, sebab banyak perempuan cantik yang ada di sekelilingnya, tetapi tidak ada yang membuat pria itu terpana pada pandangan pertama. “Andre Sayang … kamu sudah pulang, Nak?” Mona bergegas berdiri dan meletakkan majalah di tangannya.“Mom, kamu ngapain sendirian di sini?” Andre melepaskan dasi sambil menatap ke arah ibunya dengan heran.“Tentu saja menunggumu, Sayangku.” Mona merentangkan tangannya dan memeluk Andre sebelum mengecup pipi anaknya itu.“Mom … kamu tidak keluar dengan teman-temanmu?” Andre melepaskan pelukan ibunya setelah beberapa detik.“Kamu tidak suka lihat aku di sini?” Bibir Mona mengerucut manja.“Mom … kamu tahu bukan itu yang aku maksud.” Pria tampan itu tersenyum hangat pada sang
Mawar berdiri dengan tegang di depan Mona. Dia bersikap seolah-olah sedang panik dan merasa takut, padahal dalam hatinya gadis itu tertawa melihat wajah tegang sang majikan.Cukup dengan melihat raut wajah Mona yang tidak tersenyum dan percaya diri, sudah membuat Mawar kegirangan. Semakin buruk ekspresi perempuan itu semakin dia merasa pada titik kemenangan.“Kamu sekarang mulai berani membantah dan memilih pekerjaan ya?” Mona menatap sengit ke arah pembantu di depannya.“Saya tidak berani, Nyonya,” lirih Mawar dengan suara tertekan.“Kamu pikir yang mengatur rumah ini masih Bik Warsih, perempuan tua yang sering kamu manfaatkan itu pekerjaannya sama, bersih-bersih dan mengurus laundry!” Mona menekankan posisi Warsih saat ini.Mawar tau kalau Mona sengaja mencari kepala pelayan lain untuk menekannya. Namun, nyonya rumah itu entah menyadari atau tidak, dengan sikapnya itu telah membuat Sulis sewenang-wenang bukan saja pada dirinya, tetapi pada Bik Warsih dan juga Bik Atik -pelayan lama
Mawar melongo. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Bagaimana bisa Sulis tiba-tiba jatuh, padahal dia yakin belum berbuat apapun. Apa mungkin kekuatan pikiran bekerja sedemikian hebat. Namun, sedetik kemudian gadis itu mengerti situasinya, saat suara sinis majikan rumah terdengar. Ternyata kepala pelayan yang masih muda ini jago bermain sinetron.“Apa yang terjadi?” Mona berdiri di antara mereka berdua dengan tatapan tajam bergantian ke arah Sulis dan Mawar.“Nyonya … saya jatuh karena Mawar dengan sengaja menjegal dengan kain pel.” Sulis meringis dan langsung menunjuk ke arah Mawar dengan tuduhan palsunya. "Dia pasti marah karena saya memintanya membersihkan ruangan dengan lebih teliti."“Kamu melakukan itu, Mawar?” Mona menatap sinis ke arah pembantu yang tidak disukainya itu.Nyonya rumah itu sengaja bicara dengan keras supaya orang-orang di meja makan mendengarnya. Dia masih ingin sekali menciptakan nilai negetif Mawar di mata suaminya. Seperti dugaannya, Benny dan Andre pun mendekat
“Andre sayang, bagaimana hari pertamamu di perusahaan?” Mona mengoleskan selai di atas selembar roti sambil bertanya pada anaknya.Pagi itu mereka bertiga sarapan pagi bersama dengan suasana yang tenang.“Semua lancar saja berkat bantuan dari Om Benny,” sahut Andre menoleh ke arah ayah tirinya. Meskipun tidak terlalu akrab, tetapi dia menghargai keberadaan pria itu di samping ibunya. Berkat Benny pula, perusahaan ini bisa tetap eksis.“Baguslah. Ini adalah perusahaan yang aku bangun dengan jerih payahku sejak muda. Kamu harus bisa menguasai dan mengembangkannya, karena bagaimana pun juga ke depannya perusahaan rekaman dan bisnis hiburan ini akan menjadi milikmu.” Mona tersenyum bangga pada Andre.“Tentu saja Mom.” Andre mengangguk mengiyakan.Mawar yang sedang membersihkan ruangan di samping, mendengarkan hal itu sambil tersenyum getir di dalam hatinya. Perusahaan yang dikatakan oleh Mona dengan bangga itu adalah milik keluarganya. Dia tidak pernah melupakan saat sang kakak membawany
“Kenapa kamu tidak melanjutkan menari?” tanya Andre dengan lembut.Mereka berdua saat ini ada di lantai atas, tepatnya di balkoni kamar Andre. Pria itu bahkan sudah mengeluarkan minuman dingin dari kulkas pribadinya. Dia membuka tutup botol dan memberikan pada Mawar.“Menari?” Mawar menerima botol berisi jus itu dan menegaknya perlahan.“Tidak usah mengelak lagi, aku tahu kamu adalah Mawar si gadis penari yang memukau ratusan penonton di sanggar seni tempo hari.” Andre tak ingin lagi pelayan itu mengelak.Mawar menggigit bibirnya lalu menundukkan kepala, seolah malu sekali karena rahasianya sudah terbongkar. Jujur saja dia merasa kagum juga pada pria itu, karena dengan cepat mengenali siapa dirinya.“Aku perlu uang untuk nenekku yang sakit,” lirihnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.Ya, Mawar tidak bohong. Dia masih mempunyai nenek yang jatuh stroke ketika keluarga kakaknya mati semua. Mereka berdua bertahan hidup di panti asuhan sekian belas tahun lamanya.Kedatangannya ke rum
Andre bergegas keluar dengan membawa sebotol sunscreen. Dia menggunakan tabir surya itu untuk mendekati Mawar. Hati laki-laki itu dipenuhi dengan kegembiraan, menyakini kalau Mawar adalah gadis penari yang dia incar itu.Langkah kakinya berhenti beberapa meter di belakang Mawar. Melihat perempuan itu masih memegang mesin pemotong rumput, Andre merasa terenyuh. “Mawar ….” Suara gaduh mesin itu menjadi penghalang dari suaranya.Andre lalu berjalan mendekati pelayannya dan berhenti tepat di samping Mawar. Dia mengulurkan botol lotion itu ke arah Mawar.“Tuan muda?” Mawar pura-pura terkejut dengan kehadiran Andre dan bergegas mematikan mesin pemotong rumput. Dia menatap botol lotion itu tak mengerti dan berganti memandang ke arah wajah tampan di depannya.“Kamu pakai sunscreen ini. Semprotkan pada wajah dan kaki juga tanganmu.” Andre lalu mengambil mesin itu dari tangan Mawar.“Tuan tidak perlu, saya tadi sudah-”“Pakai saja. Aku akan bantu kamu memangkas semua rumput ini.” Andre terseny







