LOGIN"Angkat gaunmu."
Sienna mengangkat gaunnya dengan tangan gemetar, menuruti perintah wanita yang ia panggil ibu. Ia menyingkap kain itu hingga sebatas lutut, memperlihatkan kulit kakinya.
Baroness Borgia, berdiri dengan wajah merah padam. Di tangannya, ia memegang sebuah pecut kuda.
Ctak!
Suara cambukan kulit yang beradu dengan daging itu memenuhi ruangan. Sebuah bekas kemerahan seketika muncul di betis Sienna. Rasanya panas dan menyengat, seolah kulitnya baru saja disayat pisau tumpul.
Tapi Sienna tidak bersuara. Ia tidak menjerit. Ia hanya sedikit bergidik, menelan rasa sakit itu tanpa mengatakan apapun, begitu takut ia hanya akan memicu kemarahan ibunya.
"Tidak berguna!" teriak wanita itu, napasnya memburu.
Ctak!
Satu cambukan lagi mendarat, kali ini sedikit lebih tinggi, menyilang di atas luka sebelumnya.
"Kau, rumah ini, ayahmu... Kalian semua sama tidak bergunanya!" Baroness Borgia melampiaskan frustrasinya. Impiannya untuk akhirnya bebas dari hutang suaminya yang bodoh hancur begitu saja.
"Hanya setengah hutang! Kau dengar itu? Viscount Rohan hanya mau mengampuni setengahnya!"
Ctak!
"Gara-gara kau!"
Ctak!
"Kenapa aku harus terus menderita karena kalian?!"
Sienna hanya bisa menunduk, menelan setiap kata beracun yang dimuntahkan oleh ibu kandungnya sendiri.
Eleanor, Baroness Borgia, sebenarnya tidak terlahir sebagai wanita kasar. Dulu, ia adalah putri seorang Count yang terhormat. Bunga sosialita yang dipuja banyak pria.
Namun, satu kesalahan di masa muda menghancurkan segalanya. Eleanor menolak lamaran dari orang yang salah, seorang pria pendendam yang kemudian menyebarkan rumor tidak benar tentang kesuciannya.
Nama baiknya hancur. Para bangsawan tinggi menjauh. Dan satu-satunya pria yang bersedia menikahinya hanyalah Baron Borgia, bangsawan miskin yang hanya mengincar mahar dan koneksi keluarga Count.
Tapi Baron itu gagal. Ia menghabiskan mahar Eleanor di meja judi, menyeret wanita itu jatuh ke dalam lubang kemiskinan yang memalukan.
Dan kini, setiap kali Eleanor melihat wajah Sienna, ia merasa bahwa dirinya terus diingatkan pada kegagalannya sendiri.
"Keluar," desis Eleanor, nafasnya tersengal setelah lelah melampiaskan amarahnya. "Jangan biarkan aku melihat wajahmu sampai kereta kuda Viscount Rohan datang menjemputmu."
Sienna akhirnya menurunkan roknya, mencoba menahan ringisannya saat ia merasakan kain kasar gaunnya menggesek bekas luka itu.
“Baik, Ibu.” jawab Sienna sambil berjalan keluar dari ruang tamu.
“Nona…” Marie yang sejak tadi menunggu dibalik pintu menatap Sienna dengan tatapan kasihan.
“Marie, apa kau bisa membantuku?” tanya Sienna.Wanita paruh baya itu mengangguk dan menggandeng tangan Sienna, menuntunnya ke lantai dua, tempat kamarnya berada.
Ia mendudukkan Sienna dan membuka wadah yang berisi salep luka yang telah ia siapkan sebelumnya.
“Ah…” Marie tersentak, baru menyadari bahwa satu-satunya salep yang mereka miliki sudah hampir habis. Menyisakan hanya sedikit saja di pinggiran wadah itu.
“Ini… tidak cukup.”
Sienna memperhatikannya sesaat dan hanya menghela nafas. “Simpan saja.” ucapnya. “Mungkin nanti ayah atau ibu akan membutuhkannya.”
“Tapi Nona…”
“Marie.” Sienna memotong perkataan Marie, tidak membiarkannya kembali membantah. “Apa kau bisa memelukku?”
“Maaf?” Marie menatap Sienna dengan terkejut. “Nona, saya hanyalah pelayan rendahan. Saya tidak seharusnya menyentuh anda seperti itu setelah anda dewasa.”
"Aku butuh pelukan, Marie," potong Sienna, suaranya pecah. "Tolong... hanya sebentar saja."
Pertahanan Marie runtuh melihat tatapan hancur di mata gadis yang diasuhnya sejak bayi itu. Dengan ragu, Marie akhirnya berdiri dan merengkuh tubuh rapuh Sienna ke dalam pelukannya.
Sienna membenamkan wajahnya di bahu Marie yang hangat.
Marie mengelus rambut emas Sienna dengan lembut, persis seperti yang ia lakukan saat Sienna kecil menangis karena mimpi buruk.
"Dulu kau sering menceritakan dongeng padaku, Marie," gumam Sienna dalam dekapan itu. "Tentang pangeran berkuda putih yang jatuh cinta pada gadis biasa... dan… tentang pangeran yang datang menyelamatkan sang putri dari menara."
Sienna memejamkan matanya, dulu, Sienna pernah bermimpi. Ia berharap jika ia bersabar sedikit lagi, jika ia bisa menahan semua siksaan ini, seorang pangeran akan datang dan membawanya pergi.
Tapi realitanya, pangeran itu tidak pernah datang.
Yang akan menjemputnya justru Viscount Rohan yang akan membawa Sienna pada neraka barunya.
Sienna mengeratkan pelukannya pada Marie. Ia baru menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya keajaiban.
"Dengar, Marie..." bisik Sienna. "Jika suatu hari nanti aku bisa keluar dari sini... jika aku memiliki uang dan kuasa..."
Sienna melepaskan pelukannya, menatap mata Marie lekat-lekat.
"Kau adalah orang pertama yang akan kubawa pergi dari sini."
=
Sementara itu, di mansion milik Duke Lorraine di ibu kota, Lucian baru saja melangkah masuk ke ruang kerjanya, berniat memeriksa beberapa dokumen wilayah yang dibawa Damien, ketika pintu ruangan itu terbuka tanpa ketukan.
Lucian tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa tamu tak diundang itu. Hanya ada satu orang di kekaisaran ini yang berani masuk ke kediamannya tanpa izin darinya.
"Kudengar kau membatalkan kepulanganmu ke Duchy, Sepupu."
Lucian menghentikan langkahnya sejenak, lalu melanjutkan berjalan menuju kursi kebesarannya di balik meja kerja. Ia duduk dengan tenang, menyandarkan punggungnya, barulah matanya yang merah menyala menatap sosok di ambang pintu.
Di sana berdiri sepupunya, sang Putra Mahkota, Pangeran Arthur. Yang menatapnya dengan penuh rasa ketidaksenangan.
"Angkat gaunmu."Sienna mengangkat gaunnya dengan tangan gemetar, menuruti perintah wanita yang ia panggil ibu. Ia menyingkap kain itu hingga sebatas lutut, memperlihatkan kulit kakinya.Baroness Borgia, berdiri dengan wajah merah padam. Di tangannya, ia memegang sebuah pecut kuda.Ctak!Suara cambukan kulit yang beradu dengan daging itu memenuhi ruangan. Sebuah bekas kemerahan seketika muncul di betis Sienna. Rasanya panas dan menyengat, seolah kulitnya baru saja disayat pisau tumpul. Tapi Sienna tidak bersuara. Ia tidak menjerit. Ia hanya sedikit bergidik, menelan rasa sakit itu tanpa mengatakan apapun, begitu takut ia hanya akan memicu kemarahan ibunya."Tidak berguna!" teriak wanita itu, napasnya memburu.Ctak!Satu cambukan lagi mendarat, kali ini sedikit lebih tinggi, menyilang di atas luka sebelumnya."Kau, rumah ini, ayahmu... Kalian semua sama tidak bergunanya!" Baroness Borgia melampiaskan frustrasinya. Impiannya untuk akhirnya bebas dari hutang suaminya yang bodoh hancur b
Tamparan yang dilayangkan oleh ayahnya itu begitu kuat, membuat Sienna hampir terjatuh dari tempat tidurnya.Telinganya berdengung keras. Rasa asin darah merembes di sudut bibirnya, namun di balik rasa sakit yang menyengat itu, sebuah pemikiran melintas di benak Sienna.Ah... Berita itu sudah tersebar.Rencananya berhasil. Orang-orang di pub itu pasti sudah bergosip tentang dirinya.Namun, harapan Sienna hancur berkeping-keping detik berikutnya."Kau pikir kau pintar, hah?" Baron Borgia mencengkeram rahang Sienna, memaksanya menatap wajah ayahnya yang bengis. "Kau pikir dengan menghancurkan reputasimu, kau bisa lepas dari tanggung jawabmu pada keluarga ini?!"Napas ayahnya yang tercium seperti alkohol basi, membuat perut Sienna mual."Dengar baik-baik, Anak Sialan. Viscount Rohan sudah mendengar rumor memalukan itu. Tapi dia... dia pria yang sangat murah hati. Dia berbaik hati untuk tetap datang kemari pagi ini."Mata Sienna membelalak. Jantungnya seolah berhenti berdetak."Apa...?" s
Sienna menghela napas panjang, bahunya merosot lega saat menyadari sosok yang memegang lilin itu hanyalah Marie.Satu-satunya pelayan yang tersisa di mansion milik keluarganya ini. Keluarga Marie sudah melayani keluarga Borgia sejak kakek Sienna masih memegang gelar Baron.Dan kesetiaanlah satu-satunya hal yang membuat Marie bertahan di rumah terkutuk ini, bekerja tanpa upah selama berbulan-bulan."Nona Sienna!" pekik Marie tertahan, matanya membelalak melihat kondisi nonanya."Ssshh!" Sienna meletakkan telunjuk di bibirnya dengan cepat, melarang Marie melanjutkan perkataannya atau membuat keributan yang bisa membangunkan kedua orang tuanya.Isyarat itu berhasil membuat Marie bungkam seketika. Wanita paruh baya itu mengangguk kaku sambil menutup mulut dengan tangannya sendiri, lalu segera membawa tubuhnya untuk mengikuti Sienna yang bergegas menaiki tangga menuju lantai dua.Mereka berjalan dalam diam, hanya suara derit lantai kayu tua yang menemani langkah mereka hingga sampai di ka
Sienna berteriak, punggungnya melengkung tanpa dapat ia kendalikan.Rasanya seolah seluruh tubuhnya dikoyak dari dalam. Rasa sakit yang tajam dan asing menusuk dirinya, menandakan bahwa sesuatu yang sakral telah direnggut paksa darinya.Akhirnya... akhirnya ia telah menjadi barang rusak yang tidak diinginkan.Air mata merembes dari sudut mata Sienna, meluncur turun membasahi bantal. Itu adalah air mata campuran antara rasa sakit fisik yang menyengat, rasa malu dan... kelegaan yang memenuhi rongga dadanya.Karena ia tahu, setelah ini, Viscount Rohan tidak akan lagi menginginkannya lagi. Namun, pria itu masih diam, dan Sienna tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.Ingatan Sienna melayang pada percakapan saat ayahnya masih memiliki sedikit kekayaan, saat ia masih diizinkan duduk di pesta minum teh bersama putri bangsawan lainnya."Kau harus diam seperti mayat," bisik salah satu temannya dulu, wajahnya pucat saat menceritakan malam pertamanya. "Jika suamimu memintamu melayaniny
Sienna kembali menarik tangan pria itu sekuat tenaga. Pria itu jelas memiliki fisik yang jauh lebih kuat, namun di ambang kebingungannya, ia membiarkan tubuhnya tertarik ke bawah, mendekat ke arah wajah Sienna.Cahaya redup dari sisa bara api di perapian kini jatuh tepat di wajahnya, dan saat itulah Sienna melihatnya.Sepasang mata itu.Bukan cokelat, bukan biru, bahkan bukan hijau zamrud yang umum dimiliki bangsawan biasa. Iris mata pria itu berwarna merah darah yang menyala dalam kegelapan.Darah di wajah Sienna seketika surut. Jantungnya berhenti berdetak sesaat. Ia tahu arti warna mata itu. Di seluruh kekaisaran ini, hanya mereka yang memiliki darah langsung keluarga Kekaisaran yang diberkati dengan mata semerah darah.Sienna melepaskan cengkeramannya seolah tangan pria itu adalah bara api. Ia terhuyung mundur, napasnya tercekat di tenggorokan."Pernikahan apa maksudmu?" Pria itu bertanya, keningnya berkerut tajam. Tatapannya menuntut jawaban, jelas tidak mengerti apa hubungan ant
Ruangan itu gelap, satu-satunya sumber cahaya hanyalah sisa bara api di perapian yang nyaris mati, menciptakan bayang-bayang panjang di dinding.Di tengah keremangan itu, seorang pria duduk di sofa yang berada di tengah ruangan. Tangannya menuangkan alkohol ke gelas kristal di hadapannya.Begitu Sienna melangkah lebih dekat, pria itu menoleh sedikit. Wajahnya masih tersembunyi dalam bayangan, namun Sienna bisa merasakan tatapannya yang tajam."Seseorang mengirimmu?" pria itu bertanya dengan nada yang begitu dingin. Sienna dapat merasakan ketidaksukaan dalam suaranya."I... iya... Tuan..." Sienna menunduk, meremas kain jubahnya dengan jari-jari yang berkeringat dingin. Ia tidak yakin apa yang harus dilakukannya. Apakah ia harus langsung membuka jubahnya?Ia menepuk sisi kosong di sebelahnya dengan santai.“Duduk.”Sienna berjalan dengan cepat dan menuju sofa. Ia duduk sedikit menjaga jarak dari pria itu, masih tidak yakin dengan apa yang harus ia lakukan.Pria itu meraih gelas kristaln







