Aku berlari macam orang dikejar kematian dari kos. Tujuanku adalah jalan raya, segera mencegat taksi, kemudian ke rumah sakit. Namun, setibanya aku di jalan besar, enggak ada satu pun taksi yang lewat.
Aku memukul kepala kencang karena enggak ingat kalau taksi atau ojek bisa dipesan lewat ponsel. Mana ponselku tinggal di kos. Sialan.Menjambak rambut sendiri, aku sudah akan berlari. Biar pakai kaki saja, pasti sampai juga. Saat itu, sebuah mobil mengadang jalanku, sembari menekan klakson."Kamu ngapain berkeliaran malam-malam di--""Rumah sakit!" potongku pada Gatan.Aku langsung masuk ke mobilnya. Dia menatapku dengan wajah bingung."Rumah sakit. Cepat!"Mobil Gatan mulai berjalan. Aku meremas jemari sendiri. Enggak sabar untuk segera sampai rumah sakit, tetapi juga enggak sanggup kalau harus lihat Rahi."Kamu mau apa ke rumah sakit?"Pertanyaan Gatan langsung membuat air mataku tumpah. Debar jantungku yang cepat membawa sensasi nyeri yang membuat enggak nyaman bernapas."Temanku kecelakaan. Rahi kecelakaan."Mengatakan itu, aku mulai tersedu-sedu. Aku mengingat penuturan Pak Naja beberapa saat lalu. Pria itu menelepon untuk mengabarkan kalau Rahi kecelakaan, ditabrak mobil dan keadaannya parah. Saat Naja menelepon, Rahi sedang dioperasi.Pikiran buruk langsung memenuhi kepalaku setelah itu. Aku enggak mau kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Rahi.Air mataku enggak mau berhenti sampai kami tiba di rumah sakit. Aku langsung menuju ruang tunggu operasi yang Naja beritahukan sebelumnya. Saat menemukan pria itu terduduk dengan dua tangan saling meremas dan kepala tertunduk lesu, tangisku kembali pecah."Operasinya belum selesai?"Pak Naja mengangkat wajah. Matanya memerah dan tampak basah. Dia pasti habis menangis. Lelaki itu menggeleng lemah padaku."Rahi mau pulang tadi?" Aku duduk di sampingnya. Berusaha mengajaknya bicara, agar sedikit membagi resah.Pak Naja mengangguk singkat. "Saya sudah suruh menginap. Tapi dia bersikeras pulang."Aku mengangguk, menggigit bibir sembari menahan tangis. "Rahi bilang enggak mau serumah sama kamu, kecuali kalian sudah menikah."Pak Naja menyugar rambutnya. Kelopak matanya berkedip gusar, tatapannya terlihat gelisah."Ini hukuman untuk saya."Perkataannya membawaku pada momen di mana Rahi bercerita di suatu sore."Kok Tuhan baik sama aku? Aku udah ngelakuin dosa besar. Kenapa sampai sekarang belum dikasih hukuman?"Begitu pengakuan Rahisa kala itu. Aku yang mendengarkan hanya mencebik dan mengatainya sok religius. Namun, perempuan itu balas tersenyum, kemudian lanjut bicara."Semua perbuatan harus ditanggungjawabi, Anes. Cepat atau lambat, kita semua harus menuai apa yang udah kita tanam. Dan aku yakin, suatu saat balasan untuk keputusanku waktu itu bakal datang."Dulu, waktu mendengar itu, aku mendiamkan saja. Menganggapnya sebagai ungkapan rasa bersalah Rahi. Namun, beberapa jam kemudian, sesudah Rahi dipindahkan dari ruang operasi. Seorang dokter menemui dan bicara dengan Naja.Rahisa dinyatakan koma. Benturan di kepalanya menyebabkan pendarahan dan menyebabkan cedera lumayan parah. Dokter enggak bisa memastikan kapan Rahi akan bisa sadar.Naja terduduk lemas di kursi ruang tunggu, aku hanya bisa meredam tangis. Aku ingin menyebut dunia enggak adil, tetapi aku tahu kalau ini adalah keadilan yang Rahisa tunggu."Ini berlebihan, Rahi," ratapku sembari menontoni Pak Naja yang berjalan masuk untuk menemui Rahi.Kalau pun ini memang hasil dari apa yang pernah Rahi lakukan, bukankah ini terlalu kejam? Rahisa melakukan itu semua karena keadaan. Ia juga terpaksa. Lantas, kenapa hukumannya akan seberat ini?Aku enggak bisa membayangkan harus pulang ke kos setelah ini dan enggak menemukan Rahi di sebelah kamar dalam waktu yang lama. Aku sedih mengingat kalau selain aku, Pak Naja juga pasti amat terpukul karena keadaan ini."Pakai sandalmu."Suara itu menghentikkan ratapanku. Aku sempat heran kenapa Gatan ada di sana, tetapi kemudian ingat kalau tadi aku menumpang mobilnya ke sini.Kuseka air mata di pipi. Saat menengok ke bawah, aku melihat sepasang sandal. Dan baru sadar kalau sejak tadi aku bertelanjang kaki.Aku memakai sandalnya. "Makasih udah bantuin aku. Kamu bisa pulang."Saat akan berjalan, Gatan menahan lenganku. "Kamu nggak pulang?""Nanti. Aku mau ngomong dulu sama Pak Naja, dan kalau bisa lihat Rahi dulu."Kulihat Gatan melepas jaketnya. Kemudian, ia pakaikan jaket itu padaku."Aku tunggu di depan," katanya.Kupandangi dia dengan ekspresi bingung. Maksudnya apa?"Aku antar kamu pulang. Kalau sudah selesai, cari aku di depan. Aku tunggu."Aku mengangguk paham, kemudian segera pergi untuk menemui Rahisa.***"Temanmu itu pasti akan baik-baik saja."Pada Gatan yang barusan bicara, aku mengangguk cepat. Tangisku kembali pecah. Aku teringat bagaimana keadaan Rahisa tadi.Rahisa enggak membuka mata atau menyahut saat aku atau Pak Naja memanggilnya. Kepalanya dibalut perban, Rahisa bahkan butuh selang oksigen. Tadi itu pertama kalinya aku melihat Rahisa enggak cantik sama sekali."Dia baik banget. Aku bersumpah enggak akan pernah rela kalau dia kenapa-kenapa."Gatan memegang kemudi dengan satu tangan, sementara tangan satunya mengangsurkan botol air padaku. Aku menerimanya. Setelah minum, aku kembali bersuara."Dia padahal mau nikah sama Naja. Kenapa, sih, semua ini harus kejadian sekarang?"Aku saja temannya hancur, konon Naja kekasih Rahisa. Sedihku berlipat ganda karena mengingat hubungan dua orang itu. Mereka sudah mengalami banyak rintangan sebelum bisa sama-sama sepakat untuk menikah."Rahisa pasti bangun. Secepatnya dia pasti bangun," kataku berusaha meyakinkan diri sendiri.Terisak parah, aku menutupi wajah dengan kedua tangan. Sudah kucoba untuk menahannya sejak tadi, tetapi enggak pernah berhasil. Kenapa ini semua harus menimpa Rahisa?Sekuat tenaga berusaha menelan tangis, aku malah makin sesenggukan ketika merasakan seseorang memeluk. Gatan ternyata sudah menepikan mobil dan sudi memberikan sebuah dekapan padaku."Rahisa enggak boleh kenapa-kenapa. Aku cuma punya dia. Cuma dia yang selalu dengerin ceritaku. Cuma dia yang bisa bikin aku senang. Kalau dia enggak sadar dalam waktu lama, terus aku gimana?"Aku terbatuk beberapa kali karena tangis yang bercampur rasa sesak. Aku teringat permintaan Rahisa. Dia memintaku untuk enggak perlu pergi ke Mars."Dia suruh aku tetap di sini. Kenapa dia yang mau pergi ninggalin aku? Aku enggak mau ditinggal lagi." Aku memeluk Gatan erat. Kupejamkan mata karena bayang-bayang akan ditinggalkan Rahisa memenuhi pikiran dan membuat tubuhku menggigil."Aku cuma punya Rahisa. Jangan diambil kayak Ayah juga. Jangan."Pada siapa pun yang mendengar pintaku ini. Kumohon, jangan biarkan Rahisa pergi seperti Ayah. Aku cuma punya dia sekarang. Dan juga, Pak Naja akan sedih lagi kalau sampai ditinggal perempuan yang dicintai.***Hari ini aku jadi orang kedua yang menjenguk Rahisa. Tadi pagi, kata perawat, Pak Naja sudah datang. Pria itu tinggal selama satu jam, kemudian pergi.Pak Naja singgah sebelum ke kantor. Aku datang di jam dua siang, sekalian membawakan barang-barang Rahi. Dia paling suka kaktus, jadi aku bawakan dua pot kecil dan ditaruh di dekat jendela.Aku duduk di sebelah ranjangnya Rahi. Sudah sengaja kuberi dia senyum lebar sekali. Namun, perempuan itu enggak bereaksi sama sekali. Aku jadi ingat ceritanya saat dulu menemani mantan pacarnya yang juga koma.Kata Rahi, orang koma itu bisa diajak bicara. Namun, memang enggak akan memberi respon. Jadi, aku melakukan hal itu.Kuceritakan soal Pak Naja yang menangis kemarin. Berharap Rahi akan iba, lalu bangun. Dia kan sayang sekali pada Naja. Namun, agaknya kali ini Rahi sedikit cuek, dia enggak peduli dan terus diam.Aku enggak menyerah. Aku terus bercerita sampai mulut berbuih. Kadang memasang wajah sedih, kadang terbahak kalau sedang bicarakan hal lucu.Pak Naja datang waktu sore. Dia mau kami bergantian. Walau merasa masih kurang, tetapi aku terpaksa mengalah. Aku yakin Rahisa jauh lebih butuh Naja daripada aku."Aku enggak akan menyerah sama dia," kataku pada Pak Naja saat kami bertemu di luar.Pria itu mengangguk dengan senyum tipis."Kamu tahu, 'kan, kalau dia cuma ingin menghabiskan hidup sama kamu?" kataku lagi.Lelaki itu memalingkan wajah, tetapi aku sempat melihat matanya yang memerah."Jangan nyerah sama dia. Ini baru seminggu. Yang koma bertahun-tahun aja bisa bangun lagi. Rahi enggak akan kalah semudah ini." Aku menelan ludah, berusaha menahan tangis yang sudah akan pecah.Aku ingat apa yang pernah Rahisa katakan padaku, kemudian mengulangnya pada Pak Naja."Kamu udah banyak mengalami hal sedih.""Rahisa udah banyak mengalami hal sedih.""Adilnya dunia itu nyata, Anesya. Yakini kalau suatu saat, akan ada masa di mana kamu akan dapat berlimpah-limpah kebahagiaan, segitu banyaknya, sampai muntah, demi menebus air mata yang kamu jatuhkan sebelum ini.""Rahisa akan bangun. Dia belum muntah karena terlalu bahagia. Dan kamu harus di sana, di samping dia, ketika waktu itu datang."Aku sudah menangis sesenggukan, tahu apa yang Pak Naja katakan sebagai sahutan?"Padahal, kata Rahi, kamu itu perempuan gila. Saya sempat percaya, ternyata enggak sepenuhnya benar.""An**ng," umpatku dengan air mata yang masih berderai. Namun, kali ini aku bisa tersenyum karena Naja juga melakukan hal sama.Seperti Rahi yang enggak pernah bosan menyuruhku untuk menunggu waktu di mana nasib malangku akan habis, aku juga enggak akan bosan menunggu Rahi bangun.Menarik daun pintu kamar kos hingga terbuka, aku membeliak sampai kelopak mataku rasanya sakit. Memalingkan wajah sebentar, aku baca doa sejenak, mengusap wajah, lalu menatap lurus. Orang yang kulihat di depan pintu enggak hilang. Mampus. Beneran ternyata. Sosok Ibu yang aku lihat sekarang bukan sekadar halusinasi. Segera aku keluar, kemudian menutup pintu. Kupersilakan Ibu menempati kursi yang ada di teras. "Ada apa?" tanyaku enggak sabar. Sama sekali enggak ada keramahan di ekspresi wajah Ibu. Aku berusaha mengingat-ingat sudah melakukan kesalahan apa. Sepertinya enggak ada. Hidupku tenang tentram dua bulan belakangan. Sehari-hari aku pergi menengok para mujair penghasil uang. Menjenguk Rahi, atau membereskan kamarnya Rahi. Lalu, tidur kalau memang lagi malas. Kapan aku melakukan sesuatu yang salah? "Kamu berniat merusak rumah tangga Inara?" Aku melipat bibir ke dalam. Sempat menahan napas, kemudian sok mengernyit. Aku harus pura-pura enggak paham dulu. "Maksud Ibu?" "Mau
Malam sudah datang, tetapi aku masih duduk di lantai dekat kasur. Berjam-jam memikirkan keadaan nahas ini, tetapi enggak kunjung mendapat solusi. Yang ada, perasaanku makin kacau. Sebelum ini, aku yakin sekali akan bisa hidup bebas. Sudah enggak punya suami, sudah pindah dari rumah Ibu. Sudah menunaikan keinginan Inara juga. Harusnya, sekarang aku siap untuk mewujudkan keinginan-keinginan yang belum sempat dilakukan. Aku bahkan sudah membuat daftarnya kemarin. Kutulis wishlist itu di kertas origami kuning, lalu kusimpan di buku catatan kecil yang sering dibawa. Begitu serius aku untuk mewujudkan hidup yang bebas dan bahagia. Namun, lihatlah yang aku dapatkan. Dulu, aku enggak bisa melakukan apa yang kumau karena Inara. Ibu akan marah jika aku pergi jalan-jalan ke toko buku dengan teman-teman sepulang sekolah. Katanya, Inara akan sedih sebab enggak bisa ikut dan harus pulang sendiri. Pernah aku nekat pergi tanpa bilang. Dan aku berakhir dijemput Ibu dari mal dan dijambak. Perkara
Mengambil keputusan untuk mempertahankan janin ini, aku sudah mengkalkulasi banyak hal. Pertama, calon bayi itu enggak salah apa-apa, dia hadir karena ulahku dan dia berhak hidup. Kedua, meski nanti akan berat, tetapi sepertinya aku bisa berusaha untuk mengurus seorang anak, sendirian. Aku punya penghasilan untuk menghidupi dia nanti. Masalah kami akan jadi bahan gunjingan orang, aku bisa mengarang cerita agar anak ini nantinya aman dan tahu kalau ayahnya meninggal sebelum dia lahir. Soal yang lain, akan kucoba pelajari sesegera mungkin. Ketiga, kenapa akhirnya aku putuskan untuk memelihara calon anak ini adalah karena siapa tahu nanti dia mirip ayahnya. Kapan lagi punya versi mini dari Gatan yang bisa diatur-atur sesuka hati? Belum lagi, anak ini nanti akan sepenuhnya milikku. Enggak seperti ayahnya yang harus dibagi-bagi. Dan keempat, ini untuk Rahisa. Seperti kata Pak Naja, Rahisa pasti akan senang kalau nanti punya keponakan. Langkah pertama untuk menjaga anak ini, hari ini ak
"Lagi hamil, ya?" Pertanyaan Ibu pemilik warung yang aku datangi, kujawab dengan anggukkan pelan, enggak bersemangat. Pagi ini, kondisiku agak kurang baik. Sejak kemarin aku enggak selera makan apa pun dan lemas. Pagi ini, aku ke warung untuk membeli beberapa bahan makanan. Siapa tahu dengan memasak menu lain, selera makan jadi sedikit membaik. Aku membeli mi putih dan satu bungkus bakso. "Biasanya Ibu hamil memang begitu. Sering lemas. Suaminya di mana?" Beberapa minggu tinggal di sini, ini pertama kalinya ada yang menanyai soal suamiku. Seperti rencana awal, aku menjawab kalau ayahnya calon anakku ini sudah meninggal. "Dia supir, Buk. Kecelakaan dan meninggal di tempat." Aku menunduk untuk menahan senyum. Semoga enggak ada malaikat yang mencatat ucapan tadi. Ibu pemilik warung itu tampak simpati. Beliau mengangguk dengan wajah iba. Usai menghitung belanjaanku, dia berkata, "Yang sabar. Kamu pasti sudah dianggap mampu mengurus anak itu sendirian, karenanya suamimu dipanggil dul
Harusnya bisa untung besar bulan ini, karena pelanggan yang memesan ikan bertambah, aku harus kecewa dan segera merencanakan pembatalan pesanan. Hari ini aku menerima laporan kalau banyak ikan yang mati. Padahal, kata Pak Sardi, pakan, vitamin dan jadwal membersihkan kolam sudah seperti biasa. Pak Sardi bilang, kalau enggak ada ikan yang mati lagi, mungkin yang bisa dipanen enggak sampai setengah dari bibit yang disebar. Sedih sekali rasanya. Namun, apa mau dikata? Mungkin sudah nasib. "Sudah sore. Mbak mau pulang sekarang?" Pertanyaan Pak Sardi kujawab dengan anggukkan lesu. Tadi pagi aku datang dengan taksi. Jadi, sekarang pun harus pesan taksi dulu. Belum juga taksiku datang, seorang pekerja menghampiri dengan langkah tergopoh-gopoh. Wajahnya tampak panik. "Mbak, ada yang cariin. Orangnya pingsan." Aku diajak untuk ke depan. Umpatanku enggak bisa ditahan saat melihat ada mobil Gatan terparkir di dekat pintu masuk tempat budidaya ikan. Kuperiksa ke dalam, info pekerja itu ter
Seminggu penuh aku menganggap Gatan orang hilang akal. Aku mengabaikan kehadiran, pertanyaan atau ucapannya. Seminggu ini, seperti orang aneh, dia mengikutiku. Lelaki itu datang ke tempat kolam ikan. Mengikutiku sampai rumah. Pernah menunggu sampai pagi di luar rumah. Dan terus bertanya soal siapa ayah dari anak yang aku kandung. Selama tujuh hari menganggapnya enggak ada, sore ini aku lelah direcoki. Letih juga melihat wajahnya yang kadang memasang ekspresi galak, datar dan beberapa kali terlihat sedih. Setibanya di rumah, aku menanyai Gatan. "Maumu apa? Mau ini anak Naja atau bukan, masalahmu apa?" Tatapan Gatan meredup untuk sebentar. Untuk sesaat aku seperti melihat rasa bersalah di sana. Heran, penasaran kenapa dia seperti itu, tetapi aku pura-pura enggak lihat apa pun. "Mau ini a--" "Aku bapaknya, 'kan?" Tadinya aku yang ingin melabrak dia supaya enggak merecoki hidupku lagi, kalau perlu sampai marah-marah biar dia merasa tersudut, sekarang keadaan berbalik. "Itu anak ak
Harusnya hari ini aku menjenguk Rahi. Namun, ternyata acara penen ikan enggak bisa rampung lebih cepat, karena kami masih harus menyortir juga memilih pesanan pelanggan mana yang harus didahulukan, karena persediaan ikan terbatas.Semua pekerjaan baru bisa rampung pukul delapan malam. Aku baru akan memesan taksi, saat mendengar suara klakson enggak asing mendekat. Mataku menyipit ketika cahaya dari lampu sorot terarah ke muka.Aku sempat memejam sebentar, sebelum membuka mata dan menemukan Gatan baru turun dari mobil. Decakan langsung lolos dari mulutku."Kamu ngapain lagi?"Seharusnya aku enggak menyetujui tawarannya kemarin. Dalam pikiranku, dia sungguh mau membantu. Mungkin, dia iba atau merasa bersalah. Ternyata, lelaki itu menyimpan banyak muslihat.Kubilang, uang untuk membeli segala keperluan hamil ditransfer saja. Namun, lelaki itu mengantarnya secara langsung."Kalau aku transfer ke rekening kamu, bakal mencurigakan. Kamu mau ketahuan Inara?"Alasannya masuk akal. Namun, teta
Perutku kenyang setelah menghabiskan sepiring nasi goreng buatan Gatan. Ternyata, dia bisa memasak. Kukira, nasi goreng buatannya akan terlalu asin atau malah hambar.Gatan sibuk membereskan perlengkapan makan, aku tersenyum-senyum menontoni ombak kecil yang terus-terusan mendatangi bibir pantai. Saat mendongak, kerlip dari bintang-bintang yang bertaburan menyambut.Berkemah di tepian pantai memang sesuatu.Meski ada rasa kesal karena harus membiarkan Gatan ikut, aku berusaha enggak mengacaukan liburan ini. Kemping di pinggir pantai adalah keinginanku sejak dulu.Dulu, beberapa kali aku merencanakan melakukan hal ini dengan teman SMA. Namun, selalu ketahuan Ibu. Alhasil, karena Inara enggak boleh diajak, aku juga dilarang bersenang-senang.Ketika lulus SMA, aku sibuk kuliah, lalu setelahnya sibuk mencari uang. Enggak punya waktu untuk bersenang-senang dan jalan-jalan. Pun, Ibu masih melarang aku melakukan hal-hal yang kusukai karena enggak mau Inara cemburu.Jadinya, baru bisa dilakuk