Share

Bab 5

Author: Citra Sari
Adrian menerima kotak hadiah itu, seolah ada sesuatu yang sangat halus dan cepat menggores di dadanya.

Bukan rasa sakit, tetapi membuat napas jadi tak lancar.

Pita di atas kotak hadiah itu diikat dengan sangat rapi dan teliti.

Terlihat betapa dia sungguh-sungguh menyiapkan hadiah itu, dan berapa lama dia telah menyiapkannya.

Namun, dirinya justru berengsek, menyimpan niat egois yang tak layak dilihat terang-terangan.

Belum sempat dia berkata apa pun, Shanaya sudah berjalan ke arah pintu masuk, mengenakan mantel wol warna krem dan syal. Wajah oval kecilnya hampir tertutup, hanya menyisakan sepasang mata hitam putih yang jelas menatap.

Lalu, dia pun keluar rumah.

Hanya saja, cara jalannya terlihat agak aneh.

Adrian hendak bertanya, tetapi saat itu terdengar suara Bianca di sampingnya yang meringis pelan. "Sakit sekali…"

Adrian refleks kembali sadar, menopangnya untuk duduk kembali. "Lututmu sangat sakit? Aku antar ke rumah sakit, ya?"

"Tidak mau."

Bianca menggigit bibirnya, melirik kotak di tangan Adrian sambil bergumam. "Katanya tak punya perasaan, tapi barang pemberian dia saja kamu jaga seperti harta karun."

Adrian sontak terdiam.

Alisnya mengernyit. "Bianca, aku sudah sangat merasa bersalah pada dia."

Bianca menatap kosong, membiarkan air matanya jatuh. "Lalu bagaimana denganku, Adrian? Sebenarnya apa yang ada di pikiranmu? Kenapa kau membiarkan dia menyakiti aku dan Verzio?"

"Aku sudah bilang, Shanaya bukan orang seperti itu."

"Cukup, Adrian! Kamu tidak sadar, ya? Setiap kata yang kamu ucapkan selalu membela dia!"

Begitu kata-kata itu terucap, Bianca langsung menangis tersedu-sedu. Sambil berdiri, dia menarik Verzio menuju lantai atas.

Adrian terpaku beberapa saat, kemudian mengembuskan napas berat.

Dia pun tidak tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan.

Dia hanya tidak ingin mendengar siapa pun mengatakan hal buruk tentang Shanaya.

……

Hujan rintik turun selama dua hari tanpa henti.

Pagi itu, Shanaya pergi ke klinik pengobatan tradisional untuk praktik. Sore harinya, ada dokter luar negeri yang datang khusus untuk belajar akupunktur dari seniornya.

Karena seniornya ada urusan mendadak, pekerjaan itu diserahkan padanya.

Selesai pukul lima sore, dia buru-buru pulang ke rumah untuk berganti pakaian dan merias wajah tipis.

Shanaya punya paras cantik alami, mata bersinar dan gigi putih bersih. Sedikit berdandan saja, cukup membuat orang tak bisa mengalihkan pandang. Saat turun ke bawah, dia merasa suasana rumah terlalu tenang.

Ibu dan anak itu hari ini tampaknya sangat tenang.

"Shanaya."

Baru saja mengganti sepatu bot panjang, terdengar suara Bianca yang penuh senyum dari belakang. "Menurutmu, dia akan memilih kamu atau aku?"

Shanaya tertegun sesaat, lalu tersenyum. "Kakak ipar, maksudmu apa? Aku kurang paham."

"Maksudmu, kamu ingin bermain drama menantu janda menggoda adik ipar di Keluarga Pranadipa?"

"Shanaya!"

Ucapannya terlalu menusuk, membuat Bianca menggertakkan gigi karena marah.

Shanaya dengan tenang mengenakan mantel wol kasmirnya, tersenyum ringan. "Tak mau bicara panjang, Adrian sudah menungguku."

Bianca mengikuti arah pandangnya. Lewat kaca besar, terlihat mobil Adrian sudah terparkir di halaman.

Dia begitu kesal, rasanya ingin muntah darah.

Dulu dia setuju Adrian menikahi perempuan murahan ini hanya karena dia terlihat penurut dan mudah dikendalikan. Siapa sangka, sekarang berubah menjadi kelinci liar yang bisa menggigit kapan saja!

Shanaya masuk ke mobil, lalu menatap Adrian. "Tidak terlalu lama menunggu, 'kan?"

"Tidak, aku juga baru datang."

Adrian menggenggam telapak tangannya, lalu menunduk melihat bagian bawah rok Shanaya, tampak sepasang betis putih yang ramping bersinar, membuatnya mengernyit. "Kenapa hanya pakai pakaian setipis ini?"

Shanaya tersenyum kecil. "Cuma di mobil dan rumah tua, ada pemanas juga."

Saat praktik di klinik, dia tak henti-hentinya mengingatkan pasien untuk menjaga tubuh tetap hangat.

Namun, kalau dirinya sendiri, justru tak peduli.

Adrian pun hanya bisa pasrah. "Kalau kamu sampai masuk angin dan demam, jangan salahkan aku nanti."

"Ya tinggal minum obat."

Masuk angin paling mudah disembuhkan, satu resep sudah cukup. Dia sangat berpengalaman.

Tiga tahun terakhir, setiap kali begitu.

Dia pun tidak berharap Adrian akan merawatnya.

Tak bisa berharap.

Tak bisa berharap pada siapa pun.

Adrian melihat dia sangat cuek pada kondisi tubuhnya sendiri, perasaannya jadi tidak nyaman. "Dari caramu bicara, seperti aku ini suami yang tidak peduli padamu."

Shanaya sedikit terkejut. "Hadiah yang kuberikan kemarin, belum kamu buka?"

"Belum."

Adrian menjawab datar, "Bukannya itu hadiah ulang tahun? Kupikir akan kubuka saat hari ulang tahunku."

Shanaya sontak terdiam.

Ya sudah.

Kebetulan dia jadi punya lebih banyak waktu untuk menyiapkan yang lain.

Topik obrolan mereka tak banyak, jadi sepanjang jalan hanya diam.

Adrian menoleh, melihat Shanaya hanya diam memandang jalanan yang sibuk di luar jendela, tak tahu sedang memikirkan apa. Wajahnya terlihat tenang dan lembut.

Tidak terlihat seperti bisa menyakiti siapapun.

Tapi entah kenapa Bianca bisa begitu membencinya.

Adrian membuka sedikit mulutnya, hendak mencari topik pembicaraan, tetapi tiba-tiba ponselnya berbunyi.

"Pak Adrian, Nona Bianca sedang ikut kencan buta."

Suaranya datar.

Namun, Shanaya mendengarnya dengan jelas.

Suasana dalam mobil mendadak menegang. Shanaya benar-benar bisa merasakan Adrian sedang menahan amarah.

Dia selalu tenang, jarang marah.

"Kirimkan lokasinya padaku."

Nada suara Adrian dingin dan dalam.

Setelah menutup telepon dan menoleh ke arah Shanaya, ekspresinya kembali tenang, tetapi ucapannya tak bisa ditolak. "Shanaya, ada urusan mendadak. Aku tidak bisa menemanimu ke acara keluarga."

Urusan mendadak apa.

Shanaya tak berniat menggali lebih jauh.

Kalau pun ditanya, itu hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.

"Aku mengerti."

Dia menunduk sedikit. "Pak Dani, berhenti di tepi jalan sebentar."

Mobil pun berhenti perlahan.

Namun, Adrian tetap diam di tempat. Shanaya menoleh dengan bingung. "Adrian, cepat turun. Kita tidak bisa berhenti lama di pinggir jalan."

"Baiklah."

Adrian tampak sedikit terkejut. Melihat sorot mata Shanaya yang lembut, dia tak tahu harus berkata apa.

Akhirnya, dia hanya bisa turun sendiri.

Acara Keluarga Wiraatmadja yang digelar sebulan sekali, jauh berbeda dari keluarga besar lainnya yang biasanya ramai dan hangat.

Keluarga Wiraatmadja hanya berisi lima orang, dan itu sudah termasuk Adrian.

Bagaimana menggambarkannya, sangat sunyi.

Sunyi seperti suasana di kuburan.

Dan memang mirip.

Begitu Shanaya masuk ke rumah besar itu, kepala pelayan langsung menuntunnya ke ruang makan.

"Nona Shanaya, Nyonya sudah lama menunggu Anda. Sejak pagi beliau menanti-nanti Anda pulang."

"Ya."

Shanaya mengangguk pelan, tetapi tangannya menggenggam erat karena gugup.

Di ruang makan.

Nyonya Gayatri duduk di kursi utama. Di sisi kirinya duduk dua anak perempuannya, yang sulung dan yang kedua.

Shanaya pun masuk, lalu menyapa satu per satu. "Nenek, Tante Lidya, Tante Anita."

Dia mengikuti panggilan yang biasa digunakan di Keluarga Wiraatmadja.

Kedua tante itu hanya menjawab seadanya. Tapi Nyonya Gayatri justru menoleh ke belakangnya, melihat tak ada siapa-siapa, wajahnya langsung mengernyit tajam, kerutan di antara alisnya begitu dalam. "Adrian mana?"

Shanaya menjawab jujur, "Dia ada urusan mendadak, jadi harus pergi."

Detik berikutnya, terdengar teriakan keras disertai cangkir teh yang dilempar ke arahnya.

"Keluar! Berlutut di luar!"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!   Bab 216

    Mungkin karena belum pernah merasakannya sebelumnya, Shanaya merasa di ranjang bisa sedikit lebih aman.Dia mengenakan daster tidur yang dipilih oleh Lucien, dengan renda di leher dan tepi rok, membuatnya terlihat lebih manis dan patuh.Saat mengeringkan rambut, dia tampak sedikit melamun. Poninya terangkat ke satu sisi, menambah kesan nakal. Kulitnya yang halus dan lembut memerah karena uap air panas, seluruh tubuhnya tampak seperti buah persik yang matang dan berair.Meskipun dia terlihat cukup tenang, kedua tangannya yang saling menggenggam di depan tubuh justru memperlihatkan apa yang sedang dia rasakan. Matanya yang hitam-putih seperti mata rusa itu juga menyimpan sedikit kegelisahan.Namun, lebih dari itu, ada keberanian yang nekat.Lucien melihat penampilannya seperti itu, hatinya sedikit tergerak, lalu dengan sengaja berkata, "Nonton film dulu, baru ke tempat tidur."Masih harus nonton film?Shanaya secara alami membayangkan hal itu seperti di film. "Ah, mungkin aku tidak perlu

  • Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!   Bab 215

    Lucien menatapnya yang sedang mencari sesuatu di dapur, tiba-tiba timbul sebuah pikiran di kepalanya. Dia tidak ingin melepasnya pulang.Di mana pun dia berada, di situlah rumah terasa seperti rumah.Shanaya mengambil dua set piring dan sendok. Baru saja hendak duduk di seberang Lucien, tiba-tiba melihat dia menarik kursi di sampingnya. "Duduk di sini."Seperti pasangan muda saja.Ditekan oleh perjanjian itu, Shanaya tanpa berkata apa-apa langsung duduk dan mulai makan.Sambil makan, dia merasa rasanya agak familier. "Rasanya ini… sepertinya aku pernah mencicipinya di suatu tempat?"Lucien menatapnya sebentar. "Bukankah semua masakan di tempat ini rasanya seperti ini?"Karlina memasak masakan lokal yang sangat enak, sebanding dengan koki pribadi.Akan tetapi, selain dia dan Mario, hampir tidak ada orang lain yang pernah mencicipinya.Shanaya berpikir sejenak. "Benar juga.""Ayo cepat makan."Lucien memberinya sepotong iga asam manis. Melihat dia menunduk, pipinya kembang-kempis, di ked

  • Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!   Bab 214

    Saat itu Shanaya berbalik dengan kaku, dan melihat Lucien bersandar di pintu, matanya yang hitam menatapnya tajam.Pria itu sepertinya baru saja selesai mandi. Rambut hitam pendeknya yang sedikit basah tergerai acak menutupi dahinya. Tidak setajam biasanya, malah membawa sedikit nuansa hangat rumahan, membuatnya terlihat segar dan menawan.Shanaya tampak putus asa. "Kamu berpikir berlebihan."Bukan begitu.Shanaya yang berpikir berlebihan.Bagaimana mungkin dia begitu naif mengira, setelah Lucien akhirnya mendapat kesempatan untuk mengendalikan dirinya, dia akan dengan mudah melepaskannya begitu saja.Lucien tersenyum tipis. "Tidak menantikan kepulanganku?""Bukan gitu." Shanaya berkata, tetapi hatinya tidak sejalan dengan ucapannya.Lucien seolah tidak mendengar kebohongan itu, melambaikan tangan padanya. "Kalau gitu, ayo kemari dan makan."Shanaya tahu dirinya tidak punya ruang untuk menolak.Dengan adanya perjanjian itu, di depan Lucien, dia bahkan lebih tidak punya hak daripada saa

  • Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!   Bab 213

    Gadis kecil di dalam foto itu tampak tersenyum lebar dan manis, dengan mata bening dan gigi putih. Wajahnya sedikit demi sedikit bertumpang tindih dengan gadis kecil dalam ingatannya.Bertahun-tahun telah berlalu, bayangan gadis kecil itu sebenarnya sudah sangat samar baginya.Namun saat ini, sosok itu bisa sepenuhnya menyatu dengan foto itu!Selain itu, foto ini entah mengapa terasa begitu familier baginya.Dia pasti pernah melihatnya di suatu tempat.Saat melihat tatapan Shanaya hampir menyapu ke arahnya, Adrian takut Shanaya tahu kalau dirinya sedang mencari orang lain, maka secara refleks dia menyimpan ponselnya, berdeham pelan. "Aku…""Kamu seharusnya masih ada urusan yang harus diselesaikan, 'kan?"Shanaya melihat kegelisahannya, lalu berkata mengikuti situasi.Adrian memang sedikit terburu-buru, sangat ingin segera memastikan di mana sebenarnya dia pernah melihat foto itu. "Memang ada sedikit urusan.""Kalau begitu, kamu pergi dulu saja." Shanaya berkata.Adrian dengan cemas mel

  • Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!   Bab 212

    Mendengar perkataan itu, Bianca terhenyak sebentar, lalu segera tersenyum lebar, menatapnya seolah melihat orang gila."Jangan-jangan kamu ingin bilang padaku kalau kamu adalah murid resmi Pak Arman? Jangan bermimpi!"Jika benar dia adalah murid Arman yang diterima secara resmi, maka seharusnya dia sudah memiliki koneksi ke orang-orang terpandang dan pejabat tinggi. Seharusnya dia sudah sukses besar. Tidak akan ada alasan bagi dia untuk menderita di sini hanya demi mengerjakan penelitian dan pengembangan.Shanaya menarik bibirnya. "Apapun identitasku, tetap bukan urusanmu."Setelah berkata begitu, dia tidak menunggu Bianca menjawab, dan segera melangkah pergi.Bianca tidak rela. "Kamu tidak ingin tahu kenapa aku ada di sini hari ini?""Aku tidak tertarik."Shanaya sama sekali tidak menoleh.Dia kira-kira bisa menebak, Bianca kemungkinan besar akan menggunakan Adrian untuk menyakitinya.Kemungkinan besar akan berkata Adrian yang menjadi perantara.Lagi pula, di Kota Panaraya, orang yang

  • Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!   Bab 211

    "Dia tidak membohongi kalian."Suara Dirga datar. "Obat jenis ini yang efek samping menurun hingga lima puluh persen, sudah dalam tahap percobaan. Tapi berdasarkan pengalaman penelitian Shanaya sebelumnya, obat ini hanya akan berhasil, tidak akan gagal."Efek sampingnya tidak bisa dikurangi begitu saja dengan cepat, Shanaya setiap kali selalu berusaha mencari cara untuk melakukan penyesuaian.Sedikit demi sedikit dikurangi.Namun, dia memang memiliki kemampuan dan bakat, setiap penyesuaian yang dia lakukan selalu berhasil.Dirga yang melihat itu pun merasa sangat kagum.Melihat Hugo dan Rafly saling menatap dengan mata terbelalak, Dirga dengan sengaja mengingatkan, "Sebenarnya, Bu Shanaya mengajukan keberhasilan ini atas nama tim kalian. Tapi sekarang tampaknya kalian sama sekali tidak terlibat, jadi di catatan pengembangan cukup dicantumkan Bu Shanaya dan Davin saja."Wajah Hugo dan Rafly penuh keterkejutan. Kalaupun mau membela diri, semuanya sudah terlambat sekarang!Apa yang baru s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status