공유

Bab 7

작가: Citra Sari
Mendengar suaranya yang terdengar biasa saja, dada Adrian seolah tertusuk sesuatu.

Dia tanpa sadar mengernyit. "Kenapa tiba-tiba mau dibuang? Bukannya biasanya kamu sangat menyayangi gaun pengantin ini?"

Shanaya tidak menyangkal.

Dalam tiga tahun terakhir, dia selalu menyisakan tempat di lemari untuk menggantung gaun itu.

Setiap tahun bahkan mengirimnya untuk dibersihkan dan dirawat.

Alasannya begitu menyayanginya, karena dia pikir, orang hanya menikah sekali seumur hidup. Tentu saja gaun itu layak disimpan sebagai kenangan.

Akan tetapi sekarang, mereka akan bercerai.

Bisa jadi setelah ini Adrian langsung menikahi wanita yang dia cintai.

Gaun pengantin ini pun sama seperti dirinya, hanyalah keberadaan yang tak dibutuhkan lagi di rumah ini.

Shanaya pun tersenyum tipis. "Sudah rusak. Baru sadar beberapa hari lalu, ada lubang besar di bagian belakang."

"Itu bukan alasan untuk langsung dibuang begitu saja."

Adrian memandang wajahnya yang memaksakan senyum, mengira dia berat hati. "Begini saja, aku akan minta orang dari butik pengantin datang dan lihat dulu, siapa tahu masih bisa diperbaiki..."

"Tidak usah."

Shanaya menggeleng dan menatap Adrian dengan tenang. "Kalau sudah rusak, tak bisa diperbaiki lagi."

Yang dia maksud bukan hanya gaun itu, tetapi hati manusia.

Dan pernikahan mereka.

Setelah berkata begitu, tanpa menunggu Adrian menjawab, dia berbalik dan masuk ke rumah.

Melihat cara jalannya yang masih terpincang-pincang, Adrian akhirnya tersadar, lalu cepat-cepat menyusul. "Tunggu, kamu masih sakit? Sudah dua-tiga hari, kenapa jalannya masih terpincang-pincang?"

Setelah semuanya terlambat, baru muncul berpura-pura peduli.

Kira-kira seperti itulah.

Akan tetapi, dia membutuhkan rasa bersalah dari pria itu.

Shanaya menunduk sedikit, lalu berkata apa adanya, "Sebenarnya sudah hampir sembuh. Tapi tadi malam, aku pulang ke rumah dan berlutut di tengah hujan selama empat jam."

"Apa?"

Adrian terkejut, tatapannya tanpa sengaja menyapu telapak tangannya yang bengkak dan merah, pupil matanya mengecil. "Tanganmu... kenapa juga..."

Shanaya mengedip. "Dipukul."

Nadanya sangat biasa, bahkan tanpa sedikit pun rasa sedih.

Adrian sontak mengernyit. "Kenapa harus berlutut selama itu? Lalu... bahkan dipukul juga?"

Dia tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Bukankah Shanaya adalah anak angkat Keluarga Wiraatmadja?

Bagaimana bisa hanya karena sekali pulang, dia bisa sampai seperti ini?

Shanaya mendongak menatapnya, bayangan masa lalu saat dia begitu ingin menikahi pria ini sekilas melintas di benaknya.

Dulu, dia sungguh berharap bisa menua bersama Adrian.

Dia diam lama. Menekan perasaan pedih dalam hatinya. Lalu, di bawah tekanan pertanyaan Adrian, dia akhirnya tersenyum dan menjawab, "Karena kamu tidak ikut pulang bersamaku."

Adrian menahan perasaan tidak nyaman dalam hatinya, lalu menelan ludah. "Masih bisa tersenyum? Tidak sakit?"

"Sakit."

Shanaya mengangguk. "Tapi sudah terbiasa."

"Terbiasa?"

"Ya."

Shanaya mencubit lembut telapak tangannya sendiri, suaranya terdengar hambar, seakan sedang menceritakan orang lain. "Selama kamu tidak ikut pulang, aku pasti mengalami hal seperti ini."

Padahal, itu belum semuanya.

Sejak kecil, setiap kali dia tidak memenuhi harapan Nenek, dia selalu menerima hukuman.

Tempat yang dipenuhi batu-batu kecil itu memang dibuat khusus untuknya.

Belum sampai setahun tinggal di Keluarga Wiraatmadja, di usia enam tahun, dia sudah belajar bagaimana cara berlutut agar memuaskan Nyonya Gayatri.

Lutut, betis, dan punggung kaki harus berada dalam garis lurus dan menempel sempurna pada batu-batu itu.

Adrian pun berlutut, perlahan mengangkat ujung gaun panjangnya. Terlihat lututnya bengkak besar penuh memar.

Kulit betisnya pun tak ada bagian yang mulus, semua penuh lebam dan luka.

Kontras dengan kulit putihnya yang halus, luka-luka itu tampak sangat menyakitkan.

Jika dibandingkan dengan lutut Bianca yang hanya sedikit memerah beberapa hari lalu, ini benar-benar tak sebanding.

Amarah dalam hati Adrian seketika mendidih. Dia langsung mengangkat Shanaya dan membawanya ke sofa. Wajahnya tegang. "Kenapa tidak meneleponku saat dipukul?"

Keluarga Pranadipa dan Keluarga Wiraatmadja dulunya seimbang.

Beberapa tahun terakhir, sejak Lucien Wiraatmadja mengambil alih Keluarga Wiraatmadja, dia sangat tegas dan agresif dalam reformasi, membuat selisih kekuatan jadi besar.

Namun, Shanaya adalah istri Adrian, tidak seharusnya sampai diperlakukan seperti ini.

Mata Shanaya jernih, dia bertanya pura-pura tak tahu. "Bukankah waktu kamu pergi kamu bilang sedang ada urusan penting? Aku pikir itu urusan yang sangat penting, jadi tak ingin mengganggumu."

Adrian terdiam.

Sesaat, dia bahkan berpikir, kalau akibat dari mencegah Bianca ikut kencan buta adalah Shanaya terluka separah ini...

Apakah dia masih akan pergi?

Saat ragu, dia mendongak, dan bertemu pandang dengan wajah manis dan patuh itu.

Adrian seketika merasa sesak, mengambil kotak P3K dan mulai mengoleskan obat sambil bertanya lembut, "Kenapa sebelumnya kamu tidak pernah cerita padaku soal ini?"

Shanaya terdiam.

Karena dulu, dia benar-benar ingin menjadi istri Adrian di Keluarga Pranadipa.

Dia sungguh percaya Adrian akan menjadi pasangan hidup yang baik.

Di mata orang luar, Keluarga Wiraatmadja adalah keluarganya.

Tak banyak wanita yang akan menceritakan betapa buruknya mereka diperlakukan oleh keluarga sendiri di depan suaminya.

Dia tidak sebodoh itu.

Dan dia tahu, dia juga bukan wanita yang terlalu dicintai oleh suaminya.

Dia sudah menyadarinya sejak lama. Adrian tidak terlalu mencintainya.

Baru beberapa hari lalu dia sadar, Adrian bahkan tak pernah mencintainya.

Untungnya, dia tak pernah berharap bisa hidup hanya dengan cinta seseorang.

Shanaya mencakar pelan ujung jarinya ke atas pahanya, suaranya lirih. "Aku tidak mau kamu merasa terjepit antara aku dan Keluarga Wiraatmadja."

"Bagaimanapun, Grup Pranadipa masih harus kerja sama dengan Keluarga Wiraatmadja."

Dia tak bisa mengatakan yang sebenarnya.

Yang bisa dia lakukan hanya berpura-pura berkata tulus dan bijak.

Namun, setelah mendengar itu, tenggorokan Adrian seperti tersumbat sesuatu. Dia merasa sangat bersalah.

Pengertiannya tak seharusnya dijadikan alasan untuk menyakitinya.

Adrian menarik napas panjang, menekan sesak di dadanya, lalu mengelus kepala Shanaya dan membujuk, "Maaf. Aku yang salah kali ini. Ulang tahun pernikahan kita kemarin juga aku lupa. Shanaya, apa ada yang kamu inginkan?"

"Aku pasti kabulkan."

Rumah, mobil, perhiasan, tas, semuanya boleh.

Dia memang selalu dermawan dalam hal ini.

"Hmm..."

Shanaya berpikir sebentar, lalu berkata lembut, "Kalau begitu, aku ingin kamu menyukai hadiah ulang tahun yang aku berikan padamu."

"Hanya itu?"

"Ya."

Dia mengangguk ringan.

Shanaya yang berusia dua puluh tahun, harapan ulang tahunnya adalah menikah dengan Adrian.

Tapi Shanaya yang berusia dua puluh empat, keinginannya adalah meninggalkan Adrian. Meninggalkan dengan bersih dan tegas.

Saat bertemu pandang dengan mata Adrian yang tulus, Shanaya mendadak merasa sedikit bersalah.

Namun, di detik berikutnya, ponsel Adrian berbunyi.

Nadanya berbeda dari biasanya.

Itu nada khusus.

Shanaya hanya sekilas melirik, dan langsung melihat nama di layar: [Bianca].

Adrian pun mengangkat dan menerima panggilan. Entah apa yang dikatakan di seberang, ekspresinya langsung berubah. "Parah tidak? Kenapa tidak minta sopir antar? Kenapa bisa sampai keseleo?"

"Kirim lokasinya ke aku. Aku segera ke sana!"

Begitu menutup telepon, dia langsung hendak pergi. Namun, pengobatan Shanaya masih setengah jalan.

Kapas di tangannya masih berlumur obat, membuatnya bingung antara pergi atau tinggal.

Shanaya mengambil kapas itu dari tangannya, dengan sikap dewasa yang pengertian, memberinya jalan keluar. "Aku bisa lanjut sendiri. Kalau ada urusan, pergilah."

Orang-orang bilang, anak yang suka menangis akan dapat permen.

Akan tetapi, hidup Shanaya berbeda.

Menangis hanya akan berujung pada hukuman.

Namun dia percaya, suatu hari nanti, dia bisa membeli permen untuk dirinya sendiri.

Banyak, sangat banyak.

"Baiklah."

Adrian tampak lega, lalu secara refleks menjelaskan, "Bianca cedera. Dia sendirian bersama anak di luar, tidak mudah. Aku pergi sebentar."

Setelah berkata begitu, dia langsung melangkah pergi.

Shanaya tanpa sadar memanggil. "Adrian, kenapa kamu tidak pernah memanggil dia kakak ipar?"
이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!   Bab 216

    Mungkin karena belum pernah merasakannya sebelumnya, Shanaya merasa di ranjang bisa sedikit lebih aman.Dia mengenakan daster tidur yang dipilih oleh Lucien, dengan renda di leher dan tepi rok, membuatnya terlihat lebih manis dan patuh.Saat mengeringkan rambut, dia tampak sedikit melamun. Poninya terangkat ke satu sisi, menambah kesan nakal. Kulitnya yang halus dan lembut memerah karena uap air panas, seluruh tubuhnya tampak seperti buah persik yang matang dan berair.Meskipun dia terlihat cukup tenang, kedua tangannya yang saling menggenggam di depan tubuh justru memperlihatkan apa yang sedang dia rasakan. Matanya yang hitam-putih seperti mata rusa itu juga menyimpan sedikit kegelisahan.Namun, lebih dari itu, ada keberanian yang nekat.Lucien melihat penampilannya seperti itu, hatinya sedikit tergerak, lalu dengan sengaja berkata, "Nonton film dulu, baru ke tempat tidur."Masih harus nonton film?Shanaya secara alami membayangkan hal itu seperti di film. "Ah, mungkin aku tidak perlu

  • Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!   Bab 215

    Lucien menatapnya yang sedang mencari sesuatu di dapur, tiba-tiba timbul sebuah pikiran di kepalanya. Dia tidak ingin melepasnya pulang.Di mana pun dia berada, di situlah rumah terasa seperti rumah.Shanaya mengambil dua set piring dan sendok. Baru saja hendak duduk di seberang Lucien, tiba-tiba melihat dia menarik kursi di sampingnya. "Duduk di sini."Seperti pasangan muda saja.Ditekan oleh perjanjian itu, Shanaya tanpa berkata apa-apa langsung duduk dan mulai makan.Sambil makan, dia merasa rasanya agak familier. "Rasanya ini… sepertinya aku pernah mencicipinya di suatu tempat?"Lucien menatapnya sebentar. "Bukankah semua masakan di tempat ini rasanya seperti ini?"Karlina memasak masakan lokal yang sangat enak, sebanding dengan koki pribadi.Akan tetapi, selain dia dan Mario, hampir tidak ada orang lain yang pernah mencicipinya.Shanaya berpikir sejenak. "Benar juga.""Ayo cepat makan."Lucien memberinya sepotong iga asam manis. Melihat dia menunduk, pipinya kembang-kempis, di ked

  • Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!   Bab 214

    Saat itu Shanaya berbalik dengan kaku, dan melihat Lucien bersandar di pintu, matanya yang hitam menatapnya tajam.Pria itu sepertinya baru saja selesai mandi. Rambut hitam pendeknya yang sedikit basah tergerai acak menutupi dahinya. Tidak setajam biasanya, malah membawa sedikit nuansa hangat rumahan, membuatnya terlihat segar dan menawan.Shanaya tampak putus asa. "Kamu berpikir berlebihan."Bukan begitu.Shanaya yang berpikir berlebihan.Bagaimana mungkin dia begitu naif mengira, setelah Lucien akhirnya mendapat kesempatan untuk mengendalikan dirinya, dia akan dengan mudah melepaskannya begitu saja.Lucien tersenyum tipis. "Tidak menantikan kepulanganku?""Bukan gitu." Shanaya berkata, tetapi hatinya tidak sejalan dengan ucapannya.Lucien seolah tidak mendengar kebohongan itu, melambaikan tangan padanya. "Kalau gitu, ayo kemari dan makan."Shanaya tahu dirinya tidak punya ruang untuk menolak.Dengan adanya perjanjian itu, di depan Lucien, dia bahkan lebih tidak punya hak daripada saa

  • Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!   Bab 213

    Gadis kecil di dalam foto itu tampak tersenyum lebar dan manis, dengan mata bening dan gigi putih. Wajahnya sedikit demi sedikit bertumpang tindih dengan gadis kecil dalam ingatannya.Bertahun-tahun telah berlalu, bayangan gadis kecil itu sebenarnya sudah sangat samar baginya.Namun saat ini, sosok itu bisa sepenuhnya menyatu dengan foto itu!Selain itu, foto ini entah mengapa terasa begitu familier baginya.Dia pasti pernah melihatnya di suatu tempat.Saat melihat tatapan Shanaya hampir menyapu ke arahnya, Adrian takut Shanaya tahu kalau dirinya sedang mencari orang lain, maka secara refleks dia menyimpan ponselnya, berdeham pelan. "Aku…""Kamu seharusnya masih ada urusan yang harus diselesaikan, 'kan?"Shanaya melihat kegelisahannya, lalu berkata mengikuti situasi.Adrian memang sedikit terburu-buru, sangat ingin segera memastikan di mana sebenarnya dia pernah melihat foto itu. "Memang ada sedikit urusan.""Kalau begitu, kamu pergi dulu saja." Shanaya berkata.Adrian dengan cemas mel

  • Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!   Bab 212

    Mendengar perkataan itu, Bianca terhenyak sebentar, lalu segera tersenyum lebar, menatapnya seolah melihat orang gila."Jangan-jangan kamu ingin bilang padaku kalau kamu adalah murid resmi Pak Arman? Jangan bermimpi!"Jika benar dia adalah murid Arman yang diterima secara resmi, maka seharusnya dia sudah memiliki koneksi ke orang-orang terpandang dan pejabat tinggi. Seharusnya dia sudah sukses besar. Tidak akan ada alasan bagi dia untuk menderita di sini hanya demi mengerjakan penelitian dan pengembangan.Shanaya menarik bibirnya. "Apapun identitasku, tetap bukan urusanmu."Setelah berkata begitu, dia tidak menunggu Bianca menjawab, dan segera melangkah pergi.Bianca tidak rela. "Kamu tidak ingin tahu kenapa aku ada di sini hari ini?""Aku tidak tertarik."Shanaya sama sekali tidak menoleh.Dia kira-kira bisa menebak, Bianca kemungkinan besar akan menggunakan Adrian untuk menyakitinya.Kemungkinan besar akan berkata Adrian yang menjadi perantara.Lagi pula, di Kota Panaraya, orang yang

  • Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!   Bab 211

    "Dia tidak membohongi kalian."Suara Dirga datar. "Obat jenis ini yang efek samping menurun hingga lima puluh persen, sudah dalam tahap percobaan. Tapi berdasarkan pengalaman penelitian Shanaya sebelumnya, obat ini hanya akan berhasil, tidak akan gagal."Efek sampingnya tidak bisa dikurangi begitu saja dengan cepat, Shanaya setiap kali selalu berusaha mencari cara untuk melakukan penyesuaian.Sedikit demi sedikit dikurangi.Namun, dia memang memiliki kemampuan dan bakat, setiap penyesuaian yang dia lakukan selalu berhasil.Dirga yang melihat itu pun merasa sangat kagum.Melihat Hugo dan Rafly saling menatap dengan mata terbelalak, Dirga dengan sengaja mengingatkan, "Sebenarnya, Bu Shanaya mengajukan keberhasilan ini atas nama tim kalian. Tapi sekarang tampaknya kalian sama sekali tidak terlibat, jadi di catatan pengembangan cukup dicantumkan Bu Shanaya dan Davin saja."Wajah Hugo dan Rafly penuh keterkejutan. Kalaupun mau membela diri, semuanya sudah terlambat sekarang!Apa yang baru s

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status