LOGINSetelah interview, Alingga singgah di asrama temannya, Risa, dan terjebak hujan. Risa adalah teman akrab saat duduk di bangku SMU dari Kota M. Tidak melanjutkan belajar setelah lulus, dan memilih ikut rekruitmen kerja ke Kota B.
“Kayaknya hujan gak bakalan stop, Ris. Aku harus kembali sekarang.” Alingga berdiri dan ingin keluar kamar. “Nggak nginep, Ling?” tanya Risa yang ikut berdiri. Mereka telah tidur-tiduran dan saling bercerita. “Ini hari pertama, segan dengan yang punya rumah. Aku akan dipikir wanita nakal jika tidak kembali ….” Alingga tahu diri, segan dengan Zoerendra. Terbayang tatapan berkuasa lelaki itu saat di meja makan. Lebih baik tidak mencari masalah demi mendapat perlindungannya dari tekanan saudara tiri. “Aku pamit, Ris. Terima kasih.” Alingga berbalik pergi setelah melemparkan ucap salamnya. Risa tidak lagi sempat melarang. Bahkan jawab salamnya pun dalam hati. Menatap punggung besti yang berlari. Alingga menerobos hujan dan angin menuju halte untuk mencari taksi yang sudah dipesankan oleh Risa. Tidak muat masuk gang perumahan dan menunggunya dekat halte. Teman satu rumah asrama sedang bekerja malam, sedang Risa tidak memiliki payung atau jas hujan. Akhirnya nekat menerobos hujan menuju halte dengan penuh kecepatan. Dua puluh menit kemudian, sampai juga di rumah besar. Sekuriti masih membuka pintu gerbang meski sudah hampir pukul sebelas malam. Padahal hari biasa, tepat pukul sembilan malam harus sudah dikunci rapat-rapat. Tuan penguasa di rumah itu sendirilah yang sudah menelpon agar tidak menutup pagar malam ini. “Permisi, Pak!” Sapa halus bernada tinggi mengudara bersama sosok yang menyelip pintu gerbang dan kini berlari menerobos hujan, membuat sekuriti paham maksud si bos. Adalah gadis yang datang siang tadi, pergi sore hari, dan kini baru kembali. Meski basah kuyup, terlihat mempesona dan cantik. Berlarian memotong hujan dengan cepat dan gesit. Siapa gadis itu? Biasanya pintu pagar wajib ditutup sesuai jadwal tanpa pandang bulu. Sekuriti terheran-heran sambil menutup pintu pagar rapat-rapat. “Dari mana saja kamu, Alin?!” Belum habis napas Alingga yang terengah sebab berlari membelah halaman dan menerobos hujan, hardikan itu sangatlah mengejutkan. Buru-buru mengusap wajah agar jelas pandangannya. Sosok yang terlihat buram sebab mata penuh air hujan telah nyata siapa wujud nya. “Eh, Pak Julin, saya terjebak hujan di rumah teman …,” sahut Alingga dengan napas terengah. Perasaannya kembali tidak enak. Tatapan tuan rumah yang sedang menghadang di tengah teras begitu tajam menghunjam. Alingga menduga jika dirinya telah membuat kesalahan yang tidak dia tahu tetapi membuat Zoe marah. “Maaf, Pak Julin, saya tidak memberi kabar pada Mas Huki sebelumnya. Sebab … ponselku mati,” ucap Alingga yang sedikit meraba apa salahnya. “Tujuan kamu datang ke sini untuk mencari ibumu dan mendapat lagi uangmu kan?” tanya Zoe yang tatapannya perlahan meredup. “Benar, Pak Julin …,” sahut Alingga cepat dan menatap wajah tampan itu tanpa kedip. “Ini Kota B, Alin. Bukan kampungmu dan bukan kota kecil. Sementara, tinggallah di sini sampai ada waktuku mengantar kamu ke tempat ibumu. Jika tinggal di sini, ikuti aturan di rumahku. Makan pagi dan makan malam harus di rumah. Jangan keluyuran melewati jam sembilan malam.” Lelaki itu berbicara tegas dengan pandangan sesekali menelusur di tubuh Alingga. Membuatnya merasa tidak nyaman dan ingin segera undur diri. Sadar jika baju di badan basah kuyup. Blouse dan celana kain itu terasa membungkus ketat di kulitnya. “Saya mengerti maksudmu, Pak Julin. Saya usahakan untuk tidak pulang malam lagi. Ini terpaksa, sebab kejebak hujan di rumah teman. Maaf, boleh saya permisi?” Alingga menjelaskan cepat dan berniat akan pergi. Niat untuk bicara serius perihal keberadaan ibunya, dia urungkan sementara. “Bagaimana kabar Interview-mu?” tanya Zoe. Alhasil menahan langkah Alingga untuk pergi. “Lancar….” Alingga menyahut cepat. Tetapi ekspresinya tampak muram. “Lalu?” desak Zoe. Suaranya terdengar berat dan khas. “Saya diterima…,” ucap Alingga yang nadanya menggantung. “Kapan mulai bekerja?” tanya Zoe yang seperti mendesak ingin tahu. “Tapi… kontrak kerja harus saya tanda tangani sebelum benar-benar kerja. Owner itu memintaku mengambil berkas kerja di Hotel X pukul sembilan malam tadi.” Alingga menyahut cepat dan sedikit detail agar lelaki itu tidak lagi bertanya. Namun, Alingga bicara dengan ujung kalimat yang ragu. Tangannya sambil menggenggam erat tas yang tersangkut di pundaknya. Membuat Zoe seketika curiga. “Kau datang?” “Hujan. Saya di rumah teman.” Alingga jadi gelisah. Tidak nyaman dengan tatapan nyalang lelaki itu. “Jadi, besok kamu akan datang …?” desak Zoe lagi. Tidak suka jika harus menelaah sendiri. Derap kaki terdengar, mereka sama-sama menoleh. Huki datang dari arah garasi dan sedang menuju teras. “Pergilah ke kamar. Segera tukar baju basahmu …,” ucap Zoe tiba-tiba sebelum berbalik dan pergi, berjalan ke arah datangnya Huki. Meski heran, Alingga buru-buru berlalu. Merasa jika Zoe adalah kura-kura bersantai di perahu, alias berpura-pura seperti tidak tahu. Begitu Huki datang, buru-buru menyuruhnya ganti baju. Huh! “Aslinya mungkin buaya juga, gaya aja mencecar dan berwibawa,” gumam Alingga. Paham jika Zoe adalah pria dewasa pada umumnya yang pasti mudah menyala kapan saja. “Tapi .... Sekarang aku datang sebagai keponakan baginya. Apa aku akan aman?” Alingga berkata-kata dengan gusar. Kini sudah menghampiri pintu kayu di kamarnya. 🍓Alingga membuka pintu kamar dengan lega. Key lock number yang sempat diberi oleh Huki lewat pesan berhasil dienternya. Kamar baru dan bukan kamar yang dia tempati siang tadi. Senang yang dirinya cepat mengerti di mana posisi kamar barunya ini sebab ancer-ancer dari Huki. Berada di teras yang mudah dihampiri. Sederet dengan ruang kerja Huki yang ada di ujung teras panjang ini. Namun, Alingga berpikir jika kamar barunya justru kurang aman sebab lubang kunci ada tetapi anak kunci tidak diberikan. Menduga entah Huki atau entah Zoe sendiri yang menyimpan. Meski password sudah ditukarnya, pintu akan mudah disabotase dengan anak kunci dan lubang kunci yang dipertemukan. Ah, biarlah, hak tuan rumah. Menyadari jika dirinya sekadar menumpang tidak lama. Apalagi mengingat adanya anak-anak Fahri yang sama sekali tidak ramah, sangat ingin hengkang saja dengan segera. Tinggal sendiri bukan hal yang sangat mengerikan baginya. Sebagai mahasiswa dengan jarak kampus yang jauh dari kampung halaman
Setelah interview, Alingga singgah di asrama temannya, Risa, dan terjebak hujan. Risa adalah teman akrab saat duduk di bangku SMU dari Kota M. Tidak melanjutkan belajar setelah lulus, dan memilih ikut rekruitmen kerja ke Kota B. “Kayaknya hujan gak bakalan stop, Ris. Aku harus kembali sekarang.” Alingga berdiri dan ingin keluar kamar. “Nggak nginep, Ling?” tanya Risa yang ikut berdiri. Mereka telah tidur-tiduran dan saling bercerita. “Ini hari pertama, segan dengan yang punya rumah. Aku akan dipikir wanita nakal jika tidak kembali ….” Alingga tahu diri, segan dengan Zoerendra. Terbayang tatapan berkuasa lelaki itu saat di meja makan. Lebih baik tidak mencari masalah demi mendapat perlindungannya dari tekanan saudara tiri. “Aku pamit, Ris. Terima kasih.” Alingga berbalik pergi setelah melemparkan ucap salamnya. Risa tidak lagi sempat melarang. Bahkan jawab salamnya pun dalam hati. Menatap punggung besti yang berlari. Alingga menerobos hujan dan angin menuju halte u
Huki datang dengan langkah cepat sebab seruan membahana si bos di teras. Merasa kepo sekaligus was was barangkali ada kesalahan kerja yang dia lakukan tanpa disadari olehnya. “Ada apa, Pak Zoe?” tanya Huki dengan perasaan tidak enak. Telah berdiri tepat di depan pria yang baru melengking memanggil namanya. Pria berambut lebat dan hitam dengan model buzz cut itu terlihat marah. Tatapannya tajam, bibir tipis yang merah pun telah segaris dan merapat tanpa senyum. Hidung mancung yang sedikit melengkung di ujung, dan justru membuat wajahnya jadi cute, kini tampak garang. “Kenapa kau diam meski sudah tahu siapa Alin? Kau tidak bisu kan, Huki?” ucap Zoe kemudian dan terdengar pedas. Tetapi Huki tidak masalah sebab sudah biasa. Hanya sangat bingung bagaimana menjawab. “Anda sudah tahu, Pak Zoe…,” respon Huki asal saja. Menatap datar atasannya dengan perasaan berkecamuk. Zoerendra terkesiap dengan jawaban Huki yang tenang. Memang benar jika Alin adalah gadis yang sudah dinikahiny
"Hm! " Deheman Zoerendra seketika membuat Alingga terbebas dari genggaman kuat tangan Faldian yang besar. Tidak membuang waktu, geser mengulurkan tangan pada perempuan kurus di sampingnya. "Kenalkan, Alin …,” sapa Alingga mengalah. Merasa tidak merugi hanya sekedar inisiatif bersalaman. Namun, wanita muda itu terus acuh tak acuh dan tidak menyambut ulur tangannya. Asyik memotong steak jadi sangat kecil-kecil di piringnya. Alingga menarik napas, menarik tangan, dan bergedik bahu. Lebih baik abai saja akan hal begitu. Zeorendra mengangkat alis menyimak respon si gadis tamu yang tenang. “Kamu sangat tidak menyukai ayah tirimu?” tanya Zeorendra memecah bisu dengan nada menyelidik. Gadis di depannya yang terlihat cantik, tenang dan berpakaian sopan, rupanya berduri. Merasa jika ini cukup menarik. Akan sejauh apa Alingga berani menuntut ganti rugi padanya sebab kelakuan Fahri? Alingga memicingkan mata pada Zoerendra yang baru menanyakan perasaannya pada ayah tiri. Membuat Alin
“Ibu saya sama sekali bukan pelakor.” Alingga langsung menyanggah. Ia sama sekali tidak terima dengan ucapan tersebut. “Justru lelaki yang menikahinya itu yang berengsek. Sudah membawa lari ibu saya–merayunya, bahkan menguras harta. Sungguh tidak tahu malu.”Ucapannya membuat semua orang di sana terkejut, termasuk Huki yang sebenarnya sudah lebih dulu mengenal Alingga. Namun, tetap saja pria itu tidak menyangka Alingga akan mengatakan kata-kata pedas seperti itu.Buru-buru Huki menghubungi Zoerendra. Melaporkan ketegangan di ruang makan.“Tidak ada tempatmu di sini! Jika punya harga diri, sebaiknya kau cepat pergi!” Setelah pulih dari keterkejutan, perempuan yang muda menghardik Alingga.“Saya menolak. Bukan kalian yang ingin saya temui,” balas Alingga. “Saya ingin bicara dengan pria bernama Julin itu. Mohon dipahami.”“Untuk apa mencari Julin?! Kau juga ingin merayunya?! Tidak emaknya, tidak anaknya, mengandalkan paras untuk menggaet pria kaya!” Wanita setengah baya berbicara dengan
“Alingga?” Pria itu memanggilnya. “Benar kan kamu Alingga? Duh, tanpa make up jadi susah dikenali.”“Mas Huki?”Alingga terdengar tidak percaya. Siapa yang menyangka kalau ia akan bertemu dengan asisten pribadi yang kemarin mengurusi pernikahannya di kampung halaman.Tapi tunggu, kenapa pria itu ada di sini? Apakah Zoerendra yang dimaksud–“Tidak kusangka kamu nekat datang. Kenapa tidak menelponku? Apa kamu tiba-tiba berubah pikiran?” Huki memberondongkan pertanyaan tanpa menunggu jawaban Alingga. “Masuk dulu, Ling. Mau minum apa? Cuaca lagi panas-panasnya ini, lama nggak hujan.”Alingga menurut saat dipersilakan masuk, meski otaknya masih berputar. Mencoba mencerna situasi saat ini sementara Huki masih saja bicara.“Kamu naik apa? Baru saja sampai?” tanya Huki lagi. Ia mengeluarkan minuman dingin sejenis larutan penyegar dan menyodorkannya kepada Alingga sebelum membawanya duduk di ruang tamu. “Kalau dari Kota M ke sini kan lebih dari 12 jam kalau naik bus. Kayaknya kamu capek. Minum







