Pagi itu, langkah Aruna di koridor sekolah terasa berat. Setiap sudut terasa seperti mata-mata yang menusuk punggungnya. Bisikan-bisikan itu semakin kencang:
“Itu dia.”“Pantas saja, selama ini sok baik. Ternyata cuma dalang.”“Ezra pasti terjebak, kasihan.”Aruna menunduk, menahan air mata. Jemarinya menggenggam tali tas sekuat mungkin, seperti berusaha menahan dirinya agar tidak runtuh di depan semua orang.Di kelas, tatapan murid-murid tak kalah menusuk. Beberapa meja mundur pelan, seolah ia pembawa penyakit.Saat istirahat, Aruna bersembunyi di taman belakang sekolah. Ia menengadah, menutup wajah dengan lengan. Napasnya berat.“Aku sudah berusaha jadi lebih baik… sudah berusaha keluar dari sisi gelapku. Tapi kenapa? Kenapa selalu ada yang ingin menyeretku kembali?”Kenangan buruk menyerbu: malam jebakan Sable, wajah-wajah mesum di klub malam, obat perangsang, paksaan menikah… semua berbaur dengan fitnah baruMalam itu lebih gelap dari biasanya. Hanya lampu sorot dari gedung olahraga yang berkedip di kejauhan, menciptakan bayangan yang menari-nari di tanah basah akibat hujan sore tadi. Aruna berdiri di tengah halaman, memeluk tubuhnya sendiri, napasnya terengah-engah. Nadira berada beberapa langkah di sampingnya, tangan masih gemetar meski mencoba menenangkan diri. Ezra berada sedikit di depan, matanya menelusuri setiap sudut, siap menghadapi ancaman yang bisa muncul dari mana saja.Suara radio samar dari dalam tas Nadira memecah keheningan: “Misi terakhir dimulai. Target: uji batas psikologis dan emosional kalian.”Aruna menelan ludah, hatinya berdebar tak karuan. “Apa maksud mereka dengan uji psikologis…?”Nadira menggigit bibirnya, menatap Aruna. “Ini tidak hanya tentang fisik… mereka tahu kelemahan kita. Mereka akan mencoba memisahkan kita.”Ezra menekankan tangan mereka bertiga. “Apa pun yang terjadi… kita harus tetap bersama. Jangan biarkan merek
Setelah semua berakhir, Aruna terengah, punggungnya menempel di dinding. Ezra menepuk bahunya, mata mereka bertemu, dan ada senyum kecil yang terselip di antara rasa lega dan kelelahan. Tidak ada kata-kata panjang cukup tatapan yang mengatakan: kita selamat lagi, bersama.Namun malamnya, ketika Aruna menulis di jurnalnya, hatinya tetap gelisah. Umbra tidak akan berhenti. Setiap langkah mereka di sekolah kini penuh pengawasan, setiap interaksi bisa saja menjadi jebakan. Tetapi ada satu hal yang ia sadari: bersama Ezra, ia tidak lagi merasa sendirian menghadapi bayangan itu.Malam itu, hujan turun lagi. Aruna menatap tetes-tetes air yang menetes di jendela kamarnya, mengingat malam sebelumnya ketika ia dan Ezra berbicara jujur di bawah hujan. Hati kecilnya berbisik, bahwa bahkan dalam ancaman, cinta mereka adalah benteng paling kuat.Malam itu, sekolah tampak sunyi. Lampu koridor berkedip lembut, angin malam masuk lewat jendela yang sedikit terbuka. Aru
Di kantin, saat mereka berjalan bersama, Raska muncul, mencoba menyapa Aruna. Aruna menoleh sejenak, tersenyum sopan, tapi tetap menjaga jarak. Ezra menangkap interaksi itu, hatinya sedikit panas bukan marah, tapi cemburu tipis yang kini lebih sehat, lebih manusiawi. Ia menarik tangan Aruna sebentar, sekadar menyampaikan, aku di sini. Aruna menatapnya, dan untuk pertama kalinya ia merasa lega karena perasaan mereka tidak lagi terguncang oleh bayangan masa lalu.Sore hari, latihan klub berlangsung. Aruna dan Ezra berdampingan, koordinasi mereka semakin mulus. Setiap gerakan, setiap aba-aba, bahkan senyum kecil saat salah satu dari mereka melakukan kesalahan semua terasa seperti ritual penyembuhan. Teman-teman mulai menyadari perubahan ini: ada chemistry yang stabil, kekompakan yang tidak bisa dipalsukan.Di sela latihan, Nadira mendekat, membawa berkas yang mungkin bisa memicu ketegangan lama. Namun Aruna menyambutnya dengan tenang, menatap Ezra sekilas untuk mendap
Air mata yang ditahannya akhirnya jatuh, bercampur dengan hujan di pipinya. Ia menggenggam pergelangan tangan Ezra erat-erat, seperti orang tenggelam yang baru menemukan tali penyelamat. Dan untuk pertama kalinya malam itu, Aruna melepaskan pintu di belakangnya. Hujan deras terus menimpa jalan kota, tapi Aruna dan Ezra kini berdiri saling berhadapan, basah kuyup, tanpa ada lagi pintu yang memisahkan mereka dari dunia. Hanya hujan, dingin, dan malam yang menjadi saksi. Aruna menatap mata Ezra mata yang dulu membuatnya takut sekaligus merasa aman. Kini matanya penuh kekhawatiran, tapi juga kepastian. Suara hujan hampir menelan kata-kata mereka, tapi Ezra tetap memulai percakapan. “Aruna… aku nggak mau lagi kehilanganmu,” kata Ezra, suaranya berat, dipenuhi kepedihan dan ketegangan yang selama ini ia tahan. “Aku nggak peduli apa orang bilang. Aku nggak peduli gosip, tekanan sekolah, atau sisi gelap yang kamu ras
Aruna menggenggam erat tasnya. Hatinya penuh konflik.“Kalau aku masuk… semua yang kuusahakan bakal sia-sia. Tapi kalau aku pulang… aku harus hadapi semua tatapan, semua gosip, semua rasa sakit itu lagi.”Air matanya jatuh. Ia berdiri di ambang batas satu langkah bisa mengembalikannya ke jurang, satu langkah lagi bisa membawanya pulang.Saat ia hampir melangkah masuk, sebuah suara memanggil dari jauh.“Aruna!”Tubuhnya menegang. Ia berbalik dan bayangan seseorang muncul di ujung jalan, berlari ke arahnya.Hujan turun makin deras, menetes di rambut dan wajah Aruna, memburamkan pandangannya.Pintu besi di hadapannya bergetar oleh dentuman musik—seolah memanggil, menunggu hanya satu langkah untuk kembali menelannya.Penjaga pintu mengangkat alis. “Jadi, kau masuk atau tidak?”Aruna terdiam. Tangannya gemetar di gagang pintu.Suara di kepalanya makin riuh, “Masuk. Lupakan semua. Kau
Pagi itu, langkah Aruna di koridor sekolah terasa berat. Setiap sudut terasa seperti mata-mata yang menusuk punggungnya. Bisikan-bisikan itu semakin kencang:“Itu dia.”“Pantas saja, selama ini sok baik. Ternyata cuma dalang.”“Ezra pasti terjebak, kasihan.”Aruna menunduk, menahan air mata. Jemarinya menggenggam tali tas sekuat mungkin, seperti berusaha menahan dirinya agar tidak runtuh di depan semua orang.Di kelas, tatapan murid-murid tak kalah menusuk. Beberapa meja mundur pelan, seolah ia pembawa penyakit.Saat istirahat, Aruna bersembunyi di taman belakang sekolah. Ia menengadah, menutup wajah dengan lengan. Napasnya berat.“Aku sudah berusaha jadi lebih baik… sudah berusaha keluar dari sisi gelapku. Tapi kenapa? Kenapa selalu ada yang ingin menyeretku kembali?”Kenangan buruk menyerbu: malam jebakan Sable, wajah-wajah mesum di klub malam, obat perangsang, paksaan menikah… semua berbaur dengan fitnah baru