Share

07. Sebuah Berita

Aynur tiduran sambil menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya masih dipenuhi dengan perbincangan ayahnya dengan Ihsan siang tadi. Tawaran menjadi menantu? Apakah ini berarti sebelumnya ayahnya sudah mempunyai niatan untuk menjodohkan dirinya dengan Ihsan?

Menikah dengan jalan ta'aruf bukanlah hal yang diinginkan Aynur, apalagi jika pria tersebut seorang ustaz seperti Ihsan. Menikah dengannya sama saja merelakan diri untuk seratus persen menjadi seorang ibu rumah tangga yang bisa diatur dan dikekang oleh suami. Membayangkan hal tersebut membuat Aynur bergidik ngeri.

"Lalu bagaimana dengan rencanaku untuk membungkam mulut Bobby dan kelurganya? Aku tetap harus membuktikan bahwa ada seorang pria baik-baik yang mau menikahiku" gumamnya.

Aynur mulai hampir saja memejamkan mata ketika ponselnya bergetar. Tertera nama Bapak pada layar ponselnya.

"Assalamualaikum ... " sapa Aynur.

"Waalaikumsalam, belum tidur Nur?" tanya ayahnya.

"Belum pak. Ada apa?" Hati Aynur mulai penasaran menebak-nebak apa yang kira-kira hendak dikatakan ayahnya.

"Mmmm ... Besok sore ba'da ashar kamu ke pondok ya. Ada yang ingin bapak sampaikan."

Jantung Aynur berdebar, mungkinkah rencananya berhasil? Apakah besok ayahnya akan mempertemukannya dengan Ihsan?

"Iya, pak. Insyaallah besok saya datang sekitar jam empat sore." ucap Aynur berusaha menyembunyikan rasa puas dan bahagia pada suaranya.

Aynur mengakhiri panggilan dengan ayahnya lalu melonjak girang.

"Yess!!! " teriak Aynur penuh semangat.

*

Aynur menghentikan mobilnya di pelataran pondok pesantren Darul Muttaqin cabang Kuningan. Ia menurunkan kaca mobilnya untuk membenarkan jilbab di kepalanya.

Meskipun berjilbab, Aynur tetap memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik berwarna merah untuk menampakkan kesan percaya diri dan enerjik.

Ketika dia turun dari mobilnya dan berjalan melintasi asrama putri, seperti biasa hampir semua mata menatapnya, Aynur paham betul arti tatapan santri-santri tersebut. Tapi karena dirinya adalah putri dari pimpinan pondok tersebut, tentu saja dia sangat disegani.

"Mbak Nur ..." panggil seseorang di belakang Aynur.

"Eh, iya?" Aynur menoleh pada seorang wanita berpakaian gamis lengkap dengan bergo longgarnya.

"Mau bertemu pak kyai, kan? mari saya antar." tawarnya, mempersilahkan Aynur untuk mengikutinya.

"Eh, bukankah jalan ke kantor beliau sebelah sini?" tanya Aynur seraya menunjuk lorong di depannya.

"Iya mbak. Tapi saat ini para santriwan sedang ada kegiatan di luar ruangan. Kurang etis jika kita melintas di depan para ikhwan (pria) tersebut. Mari, saya antar lewat jalan lainnya." katanya ramah.

Aynur mengangguk lalu mengikuti wanita tersebut. Kemarin saat menemui ayahnya, aynur memang melewati jalan pintas dekat asrama pria, kebetulan kemarin hampir semua santriwan melakukan kegiatan di luar pondok, jadi Aynur bebas melewati area tersebut.

Namun kali ini dia terpaksa harus memutar melewati jalan lain. Rupanya mereka berjalan memutari gedung asrama putri melintasi masjid utama, dapur sampai akhirnya tiba di ruang khusus ustaz yang berdampingan dengan ruangan ayahnya.

'Ini namanya mempersulit diri sendiri. Ada jalan pintas malah pilih jalan ribet, Fuuuiihh!!' batin Aynur jengkel sambil mengusap butir-butir keringat yang membasahi kening dan lehernya.

"Silahkan mbak, saya mohon pamit ya ..." kata wanita tersebut, lalu menunduk pada Aynur.

"Iya, terimakasih." jawab Aynur ramah.

Aynur mengatur nafasnya, dia membenarkan kembali kemeja longgar serta rok plisket yang ia kenakan.

Aynur mengetuk pintu dua kali sambil mengucap salam. Dia mendengar jawaban dari dalam ruangan. Aynur membuka pintu dengan hati-hati.

"Sini Nur, duduklah di sebelah bapak." Ayahnya menunjuk sofa di sebelah kanan tempatnya sedang duduk. Sementara itu, di depan ayahnya duduk dua orang pria.

Aynur berusaha bersikap sesopan mungkin. Dia melirik pada dua pria yang duduk di depan ayahnya. Ihsan dan seorang pria dewasa yang tampak gagah dan tampan.

'Busyet!!! Ini mah tipe gue banget. Apa dia juga seorang ustaz? tapi kalau penampilannya seperti ini mah gue cocok banget!! modis dan keren' seru Aynur dalam hati.

"Perkenalkan Nur.. Ini mas Ardi, pamannya ustaz Ihsan. Bapak sengaja mengundang beliau untuk ikut membahas tentang rencana lamaran ustaz Ihsan untuk kamu." jelas kyai Mustafa.

'Lamaran? wait!!! apa ini?? mengapa buru-buru!!' batin Aynur kaget.

"Tapi pak ... Mengapa terburu-buru?" tanya Aynur lirih seraya mendekat kepada ayahnya. Kyai Mustafa tersenyum tipis.

"Jika sudah waktunya membina rumah tangga dan jodoh pun sudah di depan mata, tak baik jika terlalu lama menundanya, Nur. Bapak yakin kamu sudah paham." bisik kyai Mustafa masih sambil tersenyum.

"Sekali lagi saya ingin memastikan. Aynur... apakah kamu yakin mau menjadi istri dari keponakan saya?" tanya Ardi ketika melihat Aynur kembali duduk ke posisi sebelumnya.

Aynur melirik Ihsan yang sama sekali belum memandangnya sejak dia masuk ke dalam ruangan. Aynur menggigit bibir bawahnya.

'Mengapa dia tiba-tiba mau menikahiku? sepertinya ada sesuatu yang dia sembunyikan. Jangan-jangan dia ustaz cabul seperti yang sedang marak di TV swasta? tapi ... mengapa sejak kemarin dia tampak tertekan seakan ada beban berat yang sedang ia pikul?' Aynur bertanya-tanya dalam hati.

"Nur...?" tanya Ayahnya membuat Aynur tersadar.

"Eh, Iya saya siap menjadi istri ustaz Ihsan." jawab Aynur pelan tapi pasti.

"Jadi, kamu serius menerima Ihsan terlepas dari semua berita negatif tentangnya?" tanya Ardi lagi. Kali ini Aynur terbelalak.

"Berita nega--tif??" Aynur memastikan perkataan Ardi dengan terbata.

'Memangnya ada berita apa tentang Ihsan?? Jangan-jangan ...' jantung Aynur berdegup kencang.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status