"Pungut aku..." Dalam hujan malam yang menggila, Elvano menemukan gadis asing penuh luka dan tanpa identitas. Ia menamainya Raina. Tapi sejak itu, hidupnya yang tenang berubah. Ada misteri yang belum terjawab. Dan mungkin, kehadiran gadis itu bukan sekadar kebetulan.
View MoreHujan turun tanpa jeda malam itu. Langit seolah menumpahkan seluruh amarahnya ke bumi, menampar aspal dengan air yang deras dan dingin. Petir menyambar sesekali, memecah gelap dengan cahaya menyilaukan. Elvano Aditya memandangi jalanan dari balik kaca mobilnya, ia duduk tenang di jok belakang dengan tatapan kosong.
Ia begitu membenci malam. Selalu begitu sejak dulu. Terlalu banyak kenangan yang hidup dalam gelap nya malam. “Pak Elvano, kita belok kanan atau lurus?” tanya sopir di depan. “Elvano.” Suara datarnya memotong tajam. “Aku tidak pernah suka dipanggil ‘Pak’.” Sopir itu langsung menunduk. “Ma-maaf, Elvano.” Pria itu tak menjawab. Ia kembali menoleh ke luar jendela, membiarkan keheningan menyesaki mobil mewah itu. Namun sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah siluet… di tengah hujan deras. Ia melihat seseorang tersungkur di pinggir jalan. Basah kuyup. Diam. namun air matanya terus mengalir “Berhenti.” teriak Elvano Sopir itu terkejut. “Tapi ini daerah rawan, Tuan” “Berhenti sekarang,” ulang Elvano. Suaranya tidak meninggi. Tapi cukup membuat siapa pun tak bisa membantah. Euumm baiklah tuan. jawab pak supir. Mobil itu berhenti. Elvano membuka pintu pintu mobil. Tangan kanan nya memegang payung dan keluar. Di ikuti oleh pak supir di belakangnya. Ia langsung disambut guyuran hujan yang seakan memukul tubuhnya. Ia mendekati sosok itu—seorang perempuan muda. Mengenakan gaun lusuh dan koyak. Tubuhnya penuh luka, darahnya bercampur dengan air hujan. Wajahnya tertunduk, rambut panjangnya menutupi sebagian besar wajah. Tapi yang membuat Elvano terdiam bukan karena lukanya. Melainkan karena mata gadis itu—saat perlahan membuka dan menatapnya. Mata yang buram, lelah… namun tak kosong. Ada semacam permohonan di sana. Lalu bibir itu bergerak. Pelan. Lirih. Hampir tenggelam dalam gemuruh hujan. Tolong “Pungut aku…” Elvano terpaku. Ia tidak yakin dengan yang ia dengar. Tapi gadis itu mengulangnya. Kali ini lebih pelan. Suaranya nyaris patah. “Pungut aku…” hiks hiks hiks. Tolong... “…Aku tidak punya siapa-siapa lagi.” Seumur hidupnya, Elvano Aditya sudah melihat banyak hal: kebusukan bisnis, penghianatan keluarga, cinta palsu, darah, air mata. Tapi malam ini, ia melihat sesuatu yang lain—mata gadis itu menyiratkan kelemahan murni. Luka yang begitu nyata, tanpa kepura-puraan. “Bawa dia ke mobil,” katanya memberi perintah kepada pak supir. tanpa menoleh. Sopir itu melongo. “Apa…? Tuan serius?” Elvano hanya memberikan satu tatapan tajam, dan lelaki itu langsung bergerak, membantu mengangkat tubuh lemah si gadis ke dalam mobil. Mobil pun melaju perlahan. Sampailah di kediaman Elvano. Pak supir turun dari mobil, dan membantu gadis itu berjalan kedalam rumah. Dengan perlahan pak supir membantu gadis itu untukberbaring. Gadis itu terbaring di sofa ruang tamu rumah Elvano yang luas dan dingin. Dengan cepat Elvano memanggil perawat. Luka-lukanya dirawat cepat. Tidak ada yang fatal, tapi jelas ia telah disiksa. Ada bekas lebam di lehernya. Luka sayatan di tangan dan punggung. Tubuhnya kurus, seperti kelaparan berhari-hari. Satu jam berlalu. Gadis itu tidur, tubuhnya dibungkus selimut hangat. Elvano berdiri tak jauh, memandangi dari kejauhan. “Apa Anda mengenalnya, Tuan?” tanya perawat perempuan. Yang bernama meli “Tidak.” jawab nya tegas. “Kalau begitu, mengapa…?” Elvano tidak menjawab. Ia hanya menatap gadis itu. Lalu mengangkat satu alis. “Apa dia hamil?” Perawat itu tergagap. “Ti-tidak… tidak ada tanda kehamilan.” “Kalau begitu, dia bisa tinggal di sini. Untuk sementara.” “Baik, Tuan. Tapi… bagaimana dengan identitasnya? KTP, keluarga…?” tanya sang perawat. “Aku tak peduli soal itu,” jawab Elvano pendek. Bawa dia ke kamar tamu. Biarkan dia istirahat. Perintah Elvano. Baik tuan. Jawab perawat meli. Dengan cepat meli memindahkan gadis itu di bantu pak supir. Di pagi hari di kamar tamu. dengan keheningan Gadis itu terbangun dalam kamar asing, selimut lembut, dan aroma bersih. Matanya terbelalak sesaat. Lalu ia duduk… panik. Menyentuh leher, dada, lalu melihat sekeliling. Pintu kamar terbuka. Elvano masuk, dengan coffee mug di tangan. Matanya tajam menatap gadis itu yang kini memandangnya penuh takut. “Siapa namamu?” Gadis itu menatapnya, lalu menunduk. “Aku… aku tidak ingat…” “Benarkah?” Ia mengangguk. “Lalu kenapa bilang ‘pungut aku’?” “Karena aku… tidak tahu harus ke mana. Aku hanya tahu, aku… harus hidup.” Suaranya bergetar. Tapi jujur. Dan itulah yang membuat Elvano kembali terdiam. Ia mendekat, duduk di kursi dekat ranjang. Menatap gadis itu tajam, seperti membaca isi hatinya. “Aku harus memanggilmu apa?” Gadis itu diam. Lalu perlahan berkata, “…Panggil apa saja sesukamu.” Elvano menatap langit-langit sebentar. Lalu memutuskan, “Raina.” “Kenapa Raina?” Tanya gadis itu polos. “Karena aku menemukanmu saat hujan deras.” jawab Elvano singkat Gadis itu tersenyum samar. Senyum pertama sejak malam mengerikan itu. “Terima kasih sudah memungut ku.” jawab nya lirih sambil menunduk. Elvano berdiri. “Jangan bersyukur terlalu cepat. Aku bukan penyelamat. Aku hanya butuh ketenangan di rumah ini. Dan Jangan ganggu aku.” Lalu ia pergi, meninggalkan Raina dalam keheningan. Gadis itu menatap punggung Elvano hingga menghilang di balik pintu. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Dan kenapa hatinya berdetak tak tenang sejak mendengar nama “Raina” keluar dari bibir pria asing itu?Siang itu, rumah Elvano kembali menjadi saksi bisu dari jejak masa lalu yang mulai terkuak. Di ruang tamu, Raina duduk bersama Elvano,Suster Amelda, dan seorang perwira polisi berpakaian sipil bernama Pak Yuda yang datang untuk memintai keterangan lanjutan.Sore harinya, Raina berdiri di halaman belakang rumah Elvano. Tempat yang dulu terasa asing dan membingungkan kini seperti membuka ruang baru dalam benaknya. Angin meniup lembut, membawa aroma tanah dan dedaunan.Ia meraih liontin di lehernya, lalu membukanya. Di dalamnya, foto kecil yang mulai pudar: seorang wanita muda menggendong bayi, wajahnya samar namun tatapannya begitu penuh cinta.“Siapa kau sebenarnya?” bisik Raina, suaranya nyaris tak terdengar.Tiba tiba Suara langkah pelan terdengar dari belakang. Memecah keheningan. Elvano. Dari mana saja kamu? Dari tadi aku baru melihat mu? Tanya Raina.“Aku habis mencari sesuatu di ruang bawah,” katanya perlahan. Sambil mendudukn bokongnya di kursih. “Dan... aku nemu ini.” Ia menyod
Dengan napas tercekat dan jantung berdebar tak karuan, Raina mundur beberapa langkah, menahan tubuhnya agar tidak goyah. Elvano langsung berdiri di depannya, tubuhnya tegap, seolah siap melindungi Raina dari dua sosok yang perlahan keluar dari balik kegelapan pepohonan.Rudy melangkah dengan pasti, namun aura yang menyelimutinya terasa asing. bukan pria tenang yang dulu membantu Raina menyusun potongan masa lalunya. Tatapannya kosong, matanya merah seperti tak mengenal tidur, dan tangannya menggenggam sesuatu: sebuah topeng kayu tua berukir lambang keluarga Gunawan, simbol kekuasaan yang telah menghancurkan banyak hidup, termasuk milik Raina.Di sebelahnya, Nadine berdiri tegak dalam balutan jaket hitam panjang. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi bukan senyum hangat—melainkan senyum yang menyimpan rencana dan luka. Ia tampak tenang, namun matanya menyala, seolah bisa meledak kapan saja.“Aku tidak akan ikut dengan kalian,” kata Raina pelan, namun nadanya tegas. “Aku bukan Amara. Da
Langkah kaki mereka memburu dalam gelap. Suara derak kayu tua dan desir angin yang merayap dari sela-sela lantai membuat segalanya terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Suster Amelda membuka pintu tua yang tersembunyi di balik lemari tua yang digeser paksa. Deritnya mengiris sunyi, seperti jerit seseorang yang terkunci terlalu lama.Tangga kayu curam menurun ke dalam perut bangunan. Bau apek dan debu berusia puluhan tahun menyerbu begitu pintu terbuka. Tapi mereka tak punya pilihan. Di atas, suara-suara itu semakin dekat—suara anak-anak... yang tak seharusnya tertawa di tengah malam, dan langkah berat yang entah milik siapa.Elvano menggenggam tangan Raina erat. “Turun. Sekarang.”Raina memandang sekilas ke lorong tempat Amara—atau bayangan yang menyerupainya—muncul. Tapi lorong itu kini kosong. Gelap. Tak terlihat siapa pun. Hanya rasa dingin menusuk dari ujung sana, seolah menatap mereka diam-diam.Dengan napas tercekat, mereka turun sat
Hening menyelimuti perjalanan mereka. Meski mesin mobil menderu pelan dan lampu jalan berkelap-kelip dalam kabut dini hari, tidak satu pun dari mereka bersuara. Raina menggenggam liontin itu erat, seolah berharap dari benda kecil itu akan muncul jawaban yang selama ini terkubur dalam bayang-bayang masa lalu.“Panti Asuhan Berkat Ibu,” gumam Elvano akhirnya, memecah keheningan. “Dulu tempat ini sempat ditutup karena ada kasus kehilangan anak, bukan?”Raina mengangguk tanpa menoleh. “Lalu dibuka lagi diam-diam beberapa tahun kemudian. Tapi tidak banyak anak yang ditampung. Hanya... kasus-kasus khusus, begitu katanya.”Mereka berbelok ke jalan sempit yang menurun, diapit oleh pepohonan besar yang akar-akarnya menjalar hingga ke jalan. Kabut makin tebal. Aroma tanah lembap dan dedaunan membusuk menyusup ke sela-sela kaca mobil yang sedikit terbuka.Panti itu muncul perlahan di balik rerimbunan: sebuah bangunan tua berwarna kelabu dengan salib besi ber
Udara malam menggigit, menusuk hingga ke tulang. Tapi rasa dingin itu tak sebanding dengan kecamuk yang berkecamuk di dada Raina. Ia dan Elvano berdiri di tengah kegelapan pekarangan belakang rumah keluarga Gunawan—tempat yang tak pernah dikunjungi selama bertahun-tahun, karena disebut angker oleh warga sekitar.Raina menggenggam liontin berbentuk hati yang tadi mereka temukan. Jari-jarinya gemetar, tapi bukan karena cuaca. Di dalam liontin itu, ada sehelai rambut—halus dan hitam—terjepit di antara dua sisi kaca kecil yang mulai kusam. Entah mengapa, ia merasa liontin ini bukan sekadar perhiasan... tapi jejak nyata dari sebuah masa lalu yang sengaja disembunyikan.“Elvano,” ucap Raina pelan, “kita tak bisa kembali ke dalam rumah. Tidak malam ini.”Elvano mengangguk, matanya menatap jendela lantai dua tempat Nadine dan bayangan itu tadi terlihat. "Dia tahu kita sudah melihat semuanya. Kita butuh tempat yang aman... dan seseorang yang tahu lebih banyak tenta
Klik. Suara kunci yang diputar dari luar terdengar seperti palu godam yang mengunci takdir. Raina berlari ke pintu, memutar gagangnya. Terkunci. Ia memukul daun pintu kayu tua itu. "Nadine! Buka! Nadine!" Tapi tak ada suara balasan. Tak ada derap langkah di luar lorong. Hanya keheningan yang terasa menggema, menusuk. Elvano berdiri diam, matanya masih menatap surat yang tergeletak di atas meja. Jari-jarinya mengepal. “Dia tahu kita tahu.” Raina menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan desakan panik yang mulai mencengkeram. “Kita tidak bisa tinggal di sini. Ini bisa jadi perangkap.” Elvano mengangguk. Ia berjalan menuju jendela tua yang menghadap halaman samping. Membuka sedikit tirainya. Gelap. Tapi lampu-lampu taman masih menyala, menyorot rerumputan dan patung batu di dekat kolam. “Kalau dia ingin menahan kita di sini... untuk apa? Menyembunyikan sesuatu?” “Atau,” sahut Raina, “menjauhkan kita dari sesuatu.” Hening. Lalu tiba-tiba—tok... tok... tok... Ketukan pe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments