"Menikahlah denganku, maka hidupmu akan mudah." Enteng sekali Kenzo berucap di hadapan Desti, setelah menikahkan suami Desti dengan adiknya. Akankah Desti menerima lamaran Kenzo? Entah untuk balas dendam atas perselingkuhan suaminya, atau untuk menghangatkan ranjangnya yang hampa setelah menjanda?
ดูเพิ่มเติม“Jangan sakiti suamiku!”
Desti memohon sambil mengendong anaknya yang masih bayi. Tubuhnya gemetar saat berlutut di lantai. Air matanya jatuh berderai menyaksikan suaminya meringis kesakitan, jatuh tersungkur mencium tanah. Wajah Tomi penuh lebam dan beberapa luka robek di pelipis dan ujung bibirnya mengeluarkan darah segar. Desti menjerit, merangkak mendekat. “Tolong... hentikan! Apa salah Mas Tomi?” Bayi mungil dalam gendongan Desti terbangun dan ikut menangis, membuat suasana terasa semakin mencekam. Tangis keduanyanya memenuhi ruangan, terdengar seperti musik latar yang menyempurnakan pertunjukan, dan hal itu membuat bibir Kenzo melengkung halus, penuh kepuasan. Kenzo berdiri tegak, tangan terlipat santai di belakang punggung, menikmati setiap detik penderitaan Tomi yang kini terhimpit di bawah sepatu anak buahnya. Mata Tomi memerah, antara sesak napas dan ketakutan yang merayapi setiap inci tubuhnya. Ia meronta lemah di atas dinginnya lantai kontrakannya. “Kau sudah menghamili adikku, mencoreng nama baik keluargaku. Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu.” “Apa?" Desti menggeleng, tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Suami yang dia cintai, tidak mungkin melakukan hal sekeji itu, apalagi mereka baru saja memiliki anak lelaki yang lucu. Dengan susah payah Tomi berusaha berbicara. “Saya khilaf, Pak! Tapi... tapi saya berjanji akan bertanggung jawab, saya akan menikahi Kanza.” Pengakuan yang menghancurkan hati Desti. Lelaki yang tadi pagi masih memeluknya, ternyata selama ini telah mengkhianatinya. Kenzo mengangkat tangan, memberi isyarat agar anak buahnya mengangkat kaki dari leher Tomi. Baru kemudian ia melangkah mendekat. Tatap matanya tajam, terpaku pada wajah Tomi yang mulai membiru. “Saya akan segera menikahi Kanza… sambil menunggu semua persyaratan, mungkin kami bisa menikah secara siri terlebih dahulu…” Tomi mencoba berbicara, suaranya terbata-bata menahan sakit di sekujur tubuhnya. “Nikah siri?” teriak Kenzo dengan wajahnya semakin memerah terbakar amarah. “Buat apa nikah siri? Agar hubungan kalian seolah-olah halal?” Tomi terdiam tidak berani menjawab, berharap tidak ada lagi pukulan atau tendangan yang mengenai tubuhnya. “Aku meminta tanggung jawabmu, agar keponakanku lahir dengan kepastian hukum yang jelas, bukan agar kau bisa meniduri adikku sepuasmu.” Tangan Kenzo kembali mengepal, nafasnya memburu, mencoba menahan diri agar tidak melayangkan pukulan kepada Tomi. “Aku tak mau dimadu.” Suara lemah Desti yang terdengar penuh luka itu mengalihkan perhatian Kenzo dan Tomi. Kenzo menatap Desti sejenak, tapi tidak ada simpati dan empati pada perempuan muda yang terlihat merana sambil menggendong bayinya yang sedang menangis. “Aku tidak peduli dengan drama pernikahan kalian. Bagiku yang terpenting kau segera menikahi Kanza,” ucap Kenzo dengan sorot mata tegas menatap Tomi. “Selesaikan urusanmu dengan istrimu, besok pagi kau harus menghadapku. Jika tidak… kau tahu sendiri akibatnya,” sambungnya penuh ancaman. Tanpa menunggu jawaban dari Tomi, Kenzo berbalik dan pergi tanpa sepatah kata lagi. Bagi Kenzo hanya satu yang penting, kehormatan adiknya. Kenzo tahu adiknya terlalu polos dan mudah percaya. Dan sialnya, Kanza sangat mencintai Tomi dengan begitu bodohnya. Seandainya Kanza tidak mencintai Tomi secara ugal-ugalan, mungkin Kenzo akan lebih memilih mencabut nyawa lelaki yang telah menodai adiknya sebagai hukuman atas perbuatannya. Setelah kepergian Kenzo, Tomi mulai melancarkan aksi untuk merayu istrinya. Dia harus bisa meyakinkan Desti untuk memberinya izin menikahi Kanza, secara resmi tentunya. Desti duduk di lantai, memeluk Bayu erat. Ia terisak dalam diam. Tidak menjerit lagi. Tidak bertanya lagi. Dia tidak pernah membayangkan pernikahannya akan sampai pada takdir yang begitu memilukan, pahit dan itu nyata, bukan mimpi. Tomi mendekat. “Dek, aku mohon.” Suara Tomi parau. Ia melangkah terhuyung sebelum akhirnya menjatuhkan diri bersimpuh di hadapan istrinya. “Izinkan Mas menikahi Kanza, dan kita hidup bahagia sebagai satu keluarga.” Desti menatap suaminya dengan dingin. “Aku sudah bilang, aku tidak mau dimadu, Mas.” Desti mengalihkan pandangan, mengusap air mata yang menetes dengan lancang. Meski sudah berusaha kuat, tetapi Desti tidak bisa memungkiri betapa hancur hatinya. “Aku melakukan semua ini demi kita, Dek. Demi kamu, demi Bayu.” “Dengan membagi tubuhmu dengan perempuan lain?” Air mata Desti jatuh bercucuran tidak mampu menahan betapa hancur hatinya. “Apa yang bisa aku berikan kepada kalian dengan hanya menjadi sopir?” Tomi meninggikan suaranya, merasa direndahkan oleh pertanyaan istrinya. “Dengan menjadi sopir pribadi Kanza, menemaninya kemana pun dia pergi, aku bisa memberi kamu dan Bayu kemewahan.” “Kemewahan?” Desti menggeleng menyangkal ucapan Tomi. “Kau menyebut baju bekas, sepatu bekas dan tas bekas dari Kanza adalah sebuah kemewahan?” “Oh … jadi selama ini dia memberiku barang-barang branded bekas dia pakai, agar dia bisa menukarnya dengan lelaki yang bekas aku pakai, begitu?” “Desti!” teriak Tomi tidak terima dengan hinaan dari istrinya. “Dengarkan aku! Dengan menjadi suami dari adik pemilik perusahaan, maka aku akan mendapat posisi yang tinggi, dan aku bisa memberikan apa pun yang kalian inginkan.” “Aku tidak menjual suamiku, tapi … jika kau ingin menjual tubuhmu terserah.” Desti menjeda kalimatnya, menyeka air mata yang jatuh bercucuran. Tomi menggenggam tangan Desti, tetapi perempuan itu segera menariknya. “Aku janji akan berlaku adil. Hidup kita akan terjamin setelah aku menikahi Kanza.” Desti tersenyum sinis. “Sejak kau jadi sopir pribadi Kanza, kau bahkan tidak punya waktu untuk keluarga ini. Kau selalu bilang lembur, tapi ternyata kau sedang memadu kasih dengannya.” Desti memejamkan mata hingga air matanya berguguran. Ingatannya berputar pada beberapa bulan lalu saat dia baru saja melahirkan. Bekas jahitan di jalan lahir masih menyisakan rasa nyeri yang sangat, tapi dia harus mengurus semua sendiri, karena Tomi selalu pamit lembur mengantar Kanza. Senyum penuh kegetiran terukir di bibir Desti kala menyadari, ternyata lemburan suaminya selama ini adalah mengantar Kanza ke puncak kenikmatan. Dan kini Tomi sedang memanen hasil lemburnya, dia akan memiliki anak dari Kanza. Tomi menghela napas panjang, suaranya hampir berbisik, “Kau lihat sendiri, bagaimana Pak Kenzo. Kalau aku tidak menikahi Kanza, Pak Kenzo akan membunuhku.” Desti menatap suaminya, dengan tatap mata dingin seolah tidak peduli. “Itu risiko yang harus kau hadapi, Mas.” Tomi terdiam. Harapan yang tersisa dalam dirinya runtuh. Otaknya terasa buntu untuk berpikir dengan jernih. “Dek….” “Aku nggak mau dimadu, Mas.” Dengan nada dingin dan air mata yang seolah tidak mau berhenti, sekali lagi Desti memberi penegasan. “Apakah itu artinya kau lebih memilih bercerai dariku?” tanya Tomi dengan suara nelangsa, seolah dia adalah korban dalam masalah rumit ini. Desti terdiam, yang terbayang di hadapannya hanyalah nestapa. Sebagai perempuan yang baru saja melahirkan dan tidak memiliki pekerjaan, tentu akan berat menjalani hidup sendiri. Tetapi, hidup dalam pernikahan poligami yang dia yakini akan timpang dan tidak adil, Desti merasa perpisahan adalah langkah keluar dari neraka dunia. Dengan gerakan pelan sambil menyeka air mata, akhirnya Desti menganggukkan kepalanya. “Maafkan aku, Dek.” Tomi meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya. “Aku mencintaimu, tapi aku lebih sayang nyawaku ….” Tomi menjeda kalimatnya, menarik napas dalam-dalam, dia merasakan sesak di dadanya hingga sulit untuk berucap. Ini adalah keputusan sulit, tapi harus dia ambil demi keselamatan hidupnya. “Destiana Wulandari, kujatuhkan talak padamu. Mulai detik ini kau bukan istriku lagi.” Desti tersenyum getir sambil memeluk erat putranya. “Ini yang kau sebut cinta, Mas?” Ingin rasanya Desti bertanya pada dunia, adakah lelaki yang lebih bajingan dari suaminya?"Baik, kita mulai dari hal sederhana," ucap Anita sambil memperbaiki posisi duduk Desti. "Cara duduk yang anggun, bagaimana memegang cangkir teh dengan benar, bagaimana berjalan dengan postur yang percaya diri. Ini bukan soal menjadi orang lain, tapi bagaimana kamu tampil dengan percaya diri di mana pun kamu berada."Anita mengajarkan Desti cara duduk tegak, cara mengatur posisi kaki, bahkan cara tersenyum yang tepat di hadapan orang banyak. Desti beberapa kali salah, bahkan canggung memegang cangkir teh."Aduh, Bu, saya nggak bisa. Saya takut nanti jadi bahan tertawaan orang."Anita menatap Desti dengan mata hangat. "Tahu nggak, Desti? Kepercayaan diri itu bukan tentang tidak pernah salah. Tapi tentang bagaimana kamu tetap berdiri dengan anggun meski kamu salah."Desti terdiam. Kata-kata itu perlahan menembus dinding rasa mindernya.Anita melanjutkan, "Kamu punya modal besar. Kepribadian kamu yang baik, dan … tentunya dukungan dari suami. Yang kamu butuhkan sekarang cuma belajar untu
Kenzo menghela napas panjang. Perlahan, dia menarik tubuh Desti ke dalam pelukannya. Desti menatap wajah Kenzo yang begitu dekat, menunggu jawaban. Berharap sesuai harapan.Sorot mata Kenzo menatap tajam namun lembut kepada Desti, memberikan kehangatan sekaligus tekanan yang membuat dadanya terasa sesak."Aku tidak akan mengizinkan kamu bekerja sekarang," bisik Kenzo, suaranya terdengar tegas tapi tetap lembut.Ada kecewa di mata Desti. Dia ingin membantah tapi hatinya sudah lelah dan tidak siap berdebat dengan Kenzo.Desti segera mengubah posisinya untuk segera bersiap tidur. Amarah yang coba dia tahan membuatnya enggan untuk menatap suaminya, hingga dia memiringkan tubuh membelakangi Kenzo."Bayu masih terlalu kecil. Dia butuh kamu sepenuhnya di masa tumbuh kembang."Desti menghembuskan napas panjang, mencoba menelan segala rasa kecewanya. Dia tahu Kenzo tidak sepenuhnya salah, tapi perasaan tidak berdaya itu tetap menghantuinya."Tapi… aku melakukan ini semua untuk masa depan Bayu.
Sore itu, langit tampak kelabu seakan mencerminkan hati Desti yang diliputi kegundahan. Di kamar yang hangat dan nyaman, Desti duduk di sisi tempat tidur sambil menatap Bayu yang sudah terlelap dalam tidurnya. Nafas bayi kecil itu naik turun dengan damai, sesekali mengerucutkan bibir mungilnya seolah masih menyusu dalam mimpi.Hati Desti terasa perih, bukan karena apa yang kurang, tapi karena kekhawatiran yang perlahan mencengkeram."Bagaimana jika suatu hari Kenzo bosan? Bagaimana jika dia menyesal telah menikahi janda sepertiku?" pikir Desti, menggigit bibirnya sendiri.Meski kini hidupnya serba berkecukupan, bayang-bayang masa lalu saat dia harus mengais harapan dengan Bayu di pelukannya, masih membekas kuat.Desti tidak ingin kembali ke titik itu. Dia sadar, sepenuhnya bergantung pada Kenzo bukanlah pilihan yang bijak. Dia ingin bisa berdiri sendiri, memiliki simpanan, dan tetap punya harga diri.Ketika malam menjelang, suara mobil Kenzo terdengar di halaman. Desti buru-buru merap
Di ruang kerjanya yang sunyi, Kenzo duduk termenung di kursi kulit hitam favoritnya. Tangannya menyusuri permukaan meja kerja, menyentuh bingkai foto pernikahannya dengan Desti yang biasanya menenangkan, namun kini tak sanggup menyingkirkan kabut pikiran yang menyesaki benaknya.Dennis berdiri tak jauh darinya, diam seribu bahasa, menunggu aba-aba dari atasannya. Di hadapan mereka terhampar dokumen hasil audit yang baru diterima pagi tadi, disertai lampiran-lampiran transfer dana dan tanda tangan Kanza.“Rasanya tidak mungkin,” ucap Kenzo lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Kanza memang manja… tapi dia bukan penipu.”Dennis mengangguk kecil, ragu-ragu sebelum akhirnya memberanikan diri bersuara, “Saya juga merasakannya, Bos. Ada yang tidak beres. Tapi Pak Wahyu dan timnya sudah memverifikasi semua bukti dengan teliti. Beliau bukan tipe auditor yang gampang salah, apalagi selama ini reputasinya bersih.”Kenzo memijat pelipisnya, frustrasi. “Tapi Kanza terlalu ceroboh
Pagi itu langit tampak mendung, tapi langkah Kenzo memasuki ruang rapat utama Arsyad Group begitu tegap dan penuh percaya diri. Di belakangnya, Dennis membawa map tebal berisi salinan laporan investigasi lengkap.Para direksi sudah duduk di tempat masing-masing. Rayhan duduk di ujung kanan meja oval besar, wajahnya tetap tenang seperti biasa, seolah tahu bahwa dia tidak akan tersentuh.Kenzo duduk di kursinya sebagai Direktur Utama, lalu memberi anggukan pada pihak auditor eksternal, seorang pria paruh baya bernama Pak Wahyu dari firma audit kenamaan.“Silakan dimulai, Pak Wahyu,” ujar Kenzo.Pak Wahyu berdiri dengan tenang, membuka presentasinya lewat layar besar di hadapan para direksi. Slide demi slide mulai tampil, memaparkan hasil audit investigatif selama satu bulan terakhir.“Pertama,” ucap Pak Wahyu, “kami menelusuri dugaan penyimpangan dana pada beberapa proyek investasi Arsymond Luxury dan Arsynova Tech. Hasil audit menunjukkan indikasi kuat adanya penggelembungan anggaran d
Malam semakin larut. Hujan rintik-rintik menyentuh jendela kamar, menghadirkan suara lembut yang menyatu dengan cahaya redup lampu tidur. Desti dan Kenzo terbaring berdampingan di atas ranjang. Bayu sudah terlelap di boxnya, sementara Desti menyender di dada Kenzo, jari-jarinya bermain pelan di dada bidang suaminya.“Maaf…” ucap Desti pelan.Kenzo membuka mata, menoleh sedikit, menatap wajah istrinya yang nampak bersalah.“Untuk apa?” tanya Kenzo suaranya berat tapi tenang.“Untuk kepergian Kanza… Bagaimanapun, dia adikmu. Aku merasa… aku penyebabnya.”Kenzo menghela napas dalam. Tangannya terulur dan membelai rambut Desti dengan lembut.“Itu bukan salahmu. Sudah saatnya Kanza belajar mandiri dan bersikap dewasa. Dia sudah menikah. Sekarang tanggung jawabnya ada di tangan suaminya, bukan aku.”Desti diam. Hatinya sedikit lega, tapi masih ada yang mengganjal.Namun ada yang mengagetkannya, saat dengan gerakan tiba-tiba Kenzo memutar tubuhnya sedikit, agar bisa menatap wajah Desti denga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น