แชร์

Bab 8 – Keringat yang Tak Dianggap

ผู้เขียน: perdy
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-04-08 08:29:54

Langit malam menumpahkan hujan seperti kemarahan yang sudah lama dipendam. Petir membelah langit, menyinari jalanan basah tempat Nayla berjalan terseok dengan dua tangan penuh. Tas jinjing di satu tangan berisi paket pesanan, dan tangan satunya menahan kotak makanan yang mulai hancur terendam air.

Langkahnya terhuyung saat melewati genangan air. Sepatu kanvas murahan yang sudah usang mengeluarkan bunyi ceplak-ceplok, menandakan bahwa satu-satunya alas kaki itu mungkin tak akan bertahan seminggu lagi.

Ia baru saja selesai mengantar paket COD ke seorang pelanggan yang menuduhnya lambat, padahal Nayla sudah menerobos tiga lampu merah dan menumpang ojek online demi sampai tepat waktu. Namun nyatanya, ia tetap dimarahi. Dituduh menipu. Dibentak seolah harga dirinya tak lebih mahal dari plastik pembungkus barang itu sendiri.

Tapi Nayla hanya tersenyum, menunduk, lalu meminta maaf. Karena ia tahu, pelanggan puas berarti satu ulasan bintang lima. Dan ulasan itu, bisa jadi harapan untuk hari esok.

Tubuhnya menggigil saat akhirnya sampai di depan kamar kos. Kuncinya sempat jatuh karena jemari yang kaku dan beku, tapi akhirnya pintu terbuka juga.

Suasana dalam kamar hangat oleh lampu kuning redup. Aroma kopi instan bercampur dengan wewangian lembut dari pengharum ruangan murah. Di tengah kamar, Galan duduk bersila di depan laptop, headphone menggantung di lehernya, dan layar laptop penuh grafik keuangan serta file presentasi.

Nayla meletakkan barang-barangnya perlahan, berusaha tak menimbulkan suara. Bajunya basah kuyup, rambut di balik kerudung lengket karena keringat dan air hujan, dan wajahnya penuh debu dari jalanan becek. Tapi di balik semua itu, ada senyum tipis yang dipaksakan tetap hidup.

“Aku udah dapat tambahan orderan,” katanya pelan, membuka suara, “Tiga baju batik custom. Kalau semua dibayar, mungkin cukup buat nutup biaya internet bulan ini.”

Nada suaranya penuh harap. Bukan karena uangnya—melainkan karena ia ingin dipandang. Dianggap. Diakui. Dihargai meski sedikit.

Tapi Galan tak menoleh.

Ia hanya mengangguk cepat sambil tetap menatap layar. “Oke. Btw, besok aku meeting. Bajuku bisa disetrika, kan?”

Kalimat itu menghantam Nayla seperti hantaman ombak yang menenggelamkan.

Bukan hanya karena tak ada terima kasih. Tapi karena semua kerja kerasnya... seolah tak terlihat. Tak ada pelukan. Tak ada pertanyaan kenapa ia basah kuyup. Tak ada perhatian, tak ada kehangatan.

Hanya sebuah permintaan biasa, seakan Nayla bukan siapa-siapa. Seakan ia hanyalah alat yang bertugas memastikan semuanya berjalan lancar untuk Galan.

“Iya,” jawab Nayla lirih.

Lalu ia berjalan ke kamar mandi kecil di ujung ruangan, mengganti pakaian, dan mencuci bajunya sendiri dengan air dingin dari keran yang bocor. Selagi air mengalir di tangan dan kakinya, ia merasa tubuhnya seperti batu—berat, letih, dan dingin.

**

Malam semakin larut. Di balik tirai tipis, suara hujan masih turun. Kamar itu sunyi, kecuali ketukan lembut keyboard yang ditekan Galan. Ia masih bekerja, seperti biasa, dengan semangat membara yang dulu Nayla cintai. Dan mungkin... masih ia cintai. Atau setidaknya, dulu.

Nayla duduk di sudut kamar, membuka buku catatan kecil berisi daftar pengeluaran. Tangannya bergerak otomatis, menulis angka-angka sambil sesekali menahan kantuk. Di lembar berikutnya, ia mencoret daftar makanan minggu ini. Telur diganti tahu. Roti dihapus. Susu? Tidak dulu.

Setelahnya, ia menatap langit-langit kamar yang retaknya makin terlihat jelas.

Tangisnya datang perlahan. Tanpa suara. Hanya air mata yang menetes satu per satu, menelusuri pipi pucatnya yang dingin. Ia menggigit bibir agar tak mengeluarkan suara. Galan tak perlu tahu. Dunia tak perlu tahu.

Seperti biasa, Nayla menangis... diam-diam.

Karena ia tahu, kalau ia bicara, mungkin Galan akan merasa terganggu. Atau lebih buruk: menganggap Nayla terlalu sensitif.

Padahal ia hanya ingin sedikit ruang untuk dirinya sendiri.

Sedikit pelukan yang tak diminta.

Sedikit kalimat, “Kamu hebat, Nay.”

Tapi malam itu, bahkan kata-kata sederhana itu pun tak datang.

**

Keesokan paginya, Nayla bangun lebih awal. Ia menyetrika baju kerja Galan—kemeja putih dan celana kain abu-abu yang masih bisa disulap tampak rapi. Ia menyetrika perlahan, memastikan tak ada lipatan yang salah. Lalu menyiapkan kopi dan roti tawar dengan selai seadanya.

Saat Galan bangun, semua sudah tertata.

“Wah, makasih ya,” ucapnya cepat, masih mengucek mata. “Aku harus berangkat buru-buru.”

Tanpa cium kening. Tanpa tanya bagaimana malam Nayla. Hanya cepat-cepat mengancingkan baju dan menyambar tas kerja.

Nayla hanya menatapnya pergi.

Dan saat pintu kos tertutup, ia terduduk.

Bukan karena kelelahan. Tapi karena hatinya semakin kosong.

Ia merasa seperti bayangan dari seseorang yang dulu bermakna.

**

Siangnya, Nayla duduk di ruang tunggu puskesmas, menunggu giliran periksa karena dadanya terasa sesak dan tenggorokannya perih sejak semalam. Namun di kepalanya, tetap yang ia pikirkan adalah: apakah pesanan pelanggan sudah dikirim? Apakah baju-baju custom bisa selesai sebelum minggu depan?

Tak ada ruang untuk sakit dalam hidupnya.

Di sana, ia melihat seorang ibu muda digandeng suaminya. Sang suami menyuapi si istri minum, menyiapkan jaket agar tak kedinginan, dan menungguinya dengan sabar.

Pemandangan itu sederhana. Tapi menusuk.

Karena Nayla tahu... ia tak punya itu.

**

Malamnya, saat Galan pulang, wajahnya bersinar.

“Nay! Tadi presentasinya keren banget. Clara bilang aku punya potensi jadi lead strategist kalau rencana ini jalan!”

Nayla tersenyum tipis. “Syukurlah.”

“Aku yakin ini awal perubahan besar buat kita,” kata Galan penuh semangat.

“Untuk kita,” ulang Nayla pelan, hampir seperti gumaman.

Galan tak mendengar. Atau mungkin tak peduli.

Dan malam itu, ketika Galan tertidur dengan senyum bangga, Nayla menatapnya lama.

Ia mencintai laki-laki itu. Mencintainya seperti bumi mencintai matahari—memberi tanpa diminta. Tapi sekarang, ia mulai bertanya: apakah matahari tahu bahwa bumi lelah memutar dirinya hanya untuk tetap dekat?

**

Peluh Nayla terus mengalir. Tangannya terus bekerja. Tapi kini, ada luka yang menganga dalam diam. Luka karena ia hanya dianggap... bukan dihargai. Karena peluhnya tak terlihat. Tangisnya tak terdengar. Dan cintanya... dianggap seperti kewajiban.

Namun ia tetap di sana.

Masih di sudut yang sama.

Karena harapannya belum padam. Meskipun... cahayanya mulai redup.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 299

    “Apa yang sebenarnya ada di basement itu?” tanya Nayla langsung kepada Marcus Chen lewat sambungan telepon aman yang diatur oleh Agent Sarah.“Saya tidak bisa memastikan sekarang,” jawab Marcus dengan suara hati-hati. “Tapi waktu saya masih terlibat dalam perencanaan dua tahun lalu, Kozlov merancang beberapa tingkat bawah tanah untuk ‘fasilitas penyimpanan khusus’. Dia sangat tertutup soal itu—bahkan kepada mitra bisnis terdekatnya.”“Penyimpanan untuk apa?”“Secara resmi, dokumen sensitif dan sistem cadangan keamanan. Tapi ada desas-desus di kalangan pekerja konstruksi tentang ruangan-ruangan yang didesain menyerupai... semacam fasilitas penahanan yang sangat aman.”Dada Nayla bergetar oleh rasa dingin yang familiar. “Fasilitas penahanan? Untuk siapa?”“Saya tidak tahu pasti. Bisa saja untuk saksi yang bekerja sama dengan pihak berwenang dan perlu perlindungan. Atau bisa juga...” Marcus berhenti sejenak.“Bisa juga apa?” desak Nayla.“Atau bisa juga tempat untuk menahan orang-orang y

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 298

    Nayla menatap foto training center yang dikirim Viktor Kozlov dengan perasaan campur aduk. Dari luar, kompleks itu terlihat seperti universitas bergengsi: gedung-gedung modern, fasilitas lengkap, taman yang rapi. Tapi pagar tinggi dan peralatan keamanan yang ketat membuatnya terasa lebih seperti markas militer ketimbang lembaga pendidikan.“Alternative proposal…” gumam Nayla sambil memperbesar foto. “Apa maksudnya dia dengan itu?”Arvino, yang terbangun karena suara notifikasi, duduk di samping Nayla di tempat tidur hotel. Ia ikut melihat pesan itu.“Dia sedang berjaga-jaga,” kata Arvino tenang. “Kalau kemitraan resmi dengan pengawasan PBB terasa terlalu mengekang, dia sudah siapkan rencana cadangan: tetap memberikan kamu sumber daya, tapi dengan fleksibilitas lebih besar—dan mungkin, kendali lebih banyak untuk dirinya.”“Jadi bisa jadi peluang… atau jebakan.”“Persis. Dan fakta bahwa dia menghubungi kamu diam-diam jam tiga pagi menunjukkan satu hal: dia ingin melompati jalur resmi, m

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 297

    “Orang tua saya hilang?” suara Nayla tercekat. Dunia seolah berputar. “Sejak kapan? Bagaimana bisa—”“Bu Kusuma, mohon tetap tenang,” jawab Detektif Rahman di ujung telepon. “Kami sedang melakukan segala upaya untuk mencari mereka. Tapi ada sesuatu yang perlu Anda ketahui.”“Apa maksudnya?”“Safe house tempat orang tua Anda tinggal… tidak ada tanda-tanda penyerangan atau kekerasan. Sepertinya mereka pergi secara sukarela bersama seseorang yang mereka kenal.”Agen Sarah segera mengambil alih percakapan. “Detektif Rahman, saya Sarah dari Interpol. Apakah ada rekaman CCTV atau saksi mata?”“Ada. Rekaman menunjukkan Tuan dan Nyonya Mahardika meninggalkan lokasi bersama seorang perempuan muda. Mereka terlihat tenang, tidak dipaksa.”“Perempuan muda?” Nayla mengernyit, bingung. “Siapa yang mereka kenal sampai mau ikut begitu saja—”Belum sempat ia melanjutkan, teleponnya kembali berdering. Nomor tak dikenal.Nayla mengangkatnya hati-hati. “Halo? Ini Nayla Kusuma.”“Nayla, ini Ibu.” Suara ib

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 296

    “Tidak akan datang sendirian,” ucap Nayla dengan nada tegas, tanpa memberi ruang untuk tawar-menawar. “Itu bukan negosiasi. Itu jebakan.”“Bu Kusuma,” kata Agen Sarah hati-hati, “jika Anda menolak syaratnya, pertemuan mungkin tidak akan terjadi sama sekali.”“Kalau begitu biarlah tidak terjadi. Tapi saya tidak akan masuk ke situasi terisolasi dengan seorang pemimpin kriminal internasional yang punya alasan khusus untuk menyingkirkan saya.”“Bagaimana kalau kita cari jalan tengah?” tanya Arvino. “Anda tetap bertemu dengannya, tapi tim keamanan siaga di dekat lokasi. Tidak di dalam ruangan, tapi cukup dekat untuk merespons cepat bila sesuatu terjadi.”“Dan kalau dia menolak?”“Kalau begitu kita tahu sejak awal dia memang merencanakan sesuatu yang jahat.”Agen Sarah berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. “Sebenarnya itu masuk akal. Kita bisa usulkan pertemuan yang dimodifikasi: di tempat publik, dengan perimeter keamanan, tapi hanya Anda dan Kozlov yang masuk ke ruang percakapan.”“Tem

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 295

    "Detektif Rahman, apa yang terjadi dengan orangtua saya?" tanya Nayla, suaranya tenang tapi sarat dengan kekhawatiran."Bu Kusuma, dalam 24 jam terakhir ada beberapa kejadian mencurigakan di sekitar rumah orangtua Anda. Ada kendaraan asing yang parkir terlalu lama, juga orang-orang yang bertanya-tanya kepada tetangga tentang keluarga Mahardika."Dada Nayla terasa dicekam dingin. "Apakah orangtua saya aman sekarang?""Mereka sudah kami pindahkan ke lokasi aman sementara. Tapi ada hal penting yang perlu kita bahas. Pola pengintaian ini sangat mirip dengan kasus lain yang terkait jaringan kriminal internasional.""Maksud Anda... Viktor Kozlov sudah mulai mengincar keluarga saya?""Besarnya kemungkinan begitu. Dan ini mengubah sepenuhnya penilaian risiko dari strategi yang Anda rencanakan."Agent Sarah, yang mendengar percakapan itu, langsung berkoordinasi dengan pihak berwenang di Indonesia melalui jalur komunikasi aman."Nayla," kata Arvino dengan nada lembut tapi tegas, "ini mengubah s

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 294

    “Target utama itu punya nama,” kata Agen Sarah sambil membuka sebuah berkas rahasia di dalam mobil pengaman yang membawa mereka meninggalkan gedung Parlemen. “Viktor Kozlov. Seorang pengusaha asal Rusia dengan koneksi ke pejabat pemerintah, kelompok kriminal terorganisir, dan korporasi sah di dua belas negara.”“Dan dia baru saja menjadikan menyingkirkanku sebagai prioritas pribadinya?” tanya Nayla, berusaha mencerna informasi itu.“Menurut komunikasi yang berhasil kami sadap, benar. Kesaksianmu memicu penggerebekan serentak di banyak negara. Jaringannya kehilangan aset senilai sekitar 200 juta dolar dan lima puluh orang pentingnya hanya dalam enam jam terakhir.”Arvino, yang duduk di samping Nayla, meraih tangannya erat. “Sebenarnya sumber daya apa saja yang dia punya untuk melaksanakan ancaman itu?”“Luar biasa banyak,” jawab Sarah serius. “Perusahaan keamanan pribadi, tim hukum di berbagai yurisdiksi, dan sayangnya—rekam jejak panjang dalam menekan jurnalis maupun aktivis.”“Tekana

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status