Selesai meeting dengan salah satu dinas di Bandung, Tristan menyempat diri untuk bertemu Yuda. Pria itu langsung menemui Yuda di distronya.
"Wah, lu kok gak bilang kalau ternyata Vanya sudah punya calon suami?" Tanpa basa basi Tristan langsung masuk, membuat Yuda dan beberapa pengunjung memandang bingung ke arah Tristan. "Oopss." Tristan nyengir lebar kemudian berjalan menghampiri Yuda di meja kasir. "Apaan si lu. Datang-datang bukannya bilang salam, ini malah ngomong yang gak jelas," ucap Yuda. "Gue masuk ya." Tristan masuk ke area kasir dan duduk di samping Yuda. Tristan lantas menceritakan pertemuannya dengan Vanya saat di cafe waktu itu. "Jadi cowok itu bilang, kalau dia calon suami adik lu," ucap Tristan membuat Yuda terdiam. Ia yakin yang Tristan ceritakan adalah pria yang dimaksud oleh Mama. “Tapi kok Mama gak bilang sih kalau dia sudah resmi jadi calon suami Vanya” batin Yuda heran sekaligus penasaran dengan tampang pria itu. "Ah baru juga calon suami, kan belum jadi? Kalau lu mau deketin ya gak masalah lah," ucap Yuda santai tetap memberikan semangat pada Tristan. "Ckckck, Abang macam apa sih lu? Adek sudah punya calon tapi masih nyuruh gue buat deketin. Durhaka lu," kata Tristan sambil mencomot cemilan yang ada di atas meja. "Ya kan siapa tahu jodohnya elu," ucap Yuda. "Enggak ah, masa iya gue jadi pebinor?" Yuda tertawa mendengar ucapan Tristan. “Padahal Vanya sekarang tambah cantik, sayang banget gue telat kenalan sama adek lu." "Udah gue bilangin, selama belum sah, bebas aja kalau lu mau deketin." Tristan terdiam mendengar ucapan sahabatnya itu. *** Vanya menolak ajakan teman kantornya untuk menonton dan memilih nongkrong di cafe sendirian untuk menenangkan pikirannya. Kebetulan ada satu cafe yang baru searah dengan jalannya pulang. Setelah memesan makanan dan minuman, Vanya mengambil salah satu buku bacaan yang ada di dekat meja kasir. Buku tebal yang menyajikan kisah sederhana nan inspiratif, yang sedikit membuka pikiran Vanya tentang kehidupan yang tak selalu mulus. Kehidupan yang memiliki misterinya sendiri. Tiba-tiba saja wajah Charles dan Charlos bergantian muncul di pikirannya. "Astaga," umpat Vanya sambil menutup buku yang sedang dipegangnya. Netranya kemudian menatap piring yang telah kosong. “Sudah jam delapan,” gumamnya melirik jam dinding. Setelah membayar makannya dan mengembalikan buku tadi ke tempatnya, Vanya bergegas meninggalkan tempat itu. Memasuki komplek rumahnya, ia melihat mobil Charles menuju arah keluar. "Ada tamu, Ma?" tanya Vanya membantu Mama membereskan meja tamu. "Calon suami kamu," ucap Mama sambil tertawa nyaring. "Tadi Charles datang. Lucunya dia gak nyari kamu tapi nyari Mama." "Mama cocok ya sama dia sekarang. Akrab," ucap Vanya sambil memakan terang bulan di piring yang sepertinya dibawa oleh Charles. "Kan calon suami kamu, masa Mama gak akrab?" goda Mama sambil tertawa. Vanya memanyunkan bibirnya. "Tadi dia cerita kalau dia bilang kamu itu calon istrinya, waktu ketemu kamu di cafe sama Tristan." "Gila kan dia, Ma?" tanya Vanya minta pendapat Mama. "Gila sih enggak tapi lucu aja. Katanya dia takut kamu diambil sama orang." Mama juga ikut memakan terang bulan yang masih tersisa banyak. Handphone Mama berdering, panggilan video dari Yuda. "Mama gak bilang kalau cowok itu sudah resmi jadi calon suami, Vanya?” Yuda mencecar Mama begitu panggilan videonya tersambung. "Eh, kamu gak bilang udah punya calon suami, temen Abang si Tristan mau diapain?" ucap Yuda saat wajah Vanya terlihat di layar. "Tahu ah, aku mau mandi dulu." Vanya meninggalkan Mama dan masuk ke kamarnya. Mama kemudian menceritakan kedatangan Charles barusan yang bertujuan untuk meminta izin dan restu agar diperbolehkan menjalin hubungan dengan Vanya. "Lalu Mama mendukung Vanya sama dia?" tanya Yuda. “Biar mereka jalanin aja dulu, Yud. Mama memberikan kebebasan buat Vanya mengambil keputusan untuk hidupnya," ucap Mama sambil menyapa cucu kembarnya yang berusaha merebut handphone dari tangan Yuda. Sebagai orang tua, Mama memang memiliki pikiran yang cukup modern. Ia tidak ingin mengekang pilihan anaknya, selagi itu bisa dipertanggungjawabkan. *** Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke handphone Vanya. "Charles," gumamnya saat melihat foto profilnya. "Kita harus bicara," gumam Vanya lagi membaca isi chat dari pria itu. Masih dalam posisi menatap layar handphonenya, Pak Irwan menghampirinya dan mengajak Vanya ke lantai dua untuk ikut rapat bulanan. Ia benar-benar lupa kalau hari ini jadwal rapat bulanan yang pasti bakal lama. Suasana rapat kali ini cukup tegang karena kinerja kantor yang menurun dari bulan sebelumnya. Tak ada yang berani meninggalkan ruang rapat padahal biasanya Vanya bisa saja kabur duluan. Hampir satu jam kepala cabang Vanya terus marah-marah hingga perlahan mulai mereda saat petugas OB datang menyajikan makan malam.. Tepat jam delapan, akhir rapat selesai juga. Bergegas Vanya pamit keluar duluan. Saat gadis itu berjalan menuju parkiran, satpam datang mendekat "Mbak, di depan ada yang nungguin, cowok ganteng, katanya mau jemput." "Hah? Siapa, Pak?" tanya Vanya balik. "Astaga," pekiknya saat ingat kalau pesan dari Charles belum dibalasnya. "Pak, nitip ya." Vanya melirik mobilnya. "Siap, Mbak." Vanya bergegas menghampiri Charles yang terlihat akrab ngobrol dengan satpam lain yang sedang bertugas. "Duluan ya, Pak.” Pamit Charles sambil berjabat tangan. Dalam suasana hening, mobil yang Charles kendarai melaju menyusuri jalanan ibukota. "Jadi gimana permintaan Omanya Charlos?" pertanyaan Charles memecah suasana hening. "Apakah ini murni hanya untuk memenuhi permintaan Omanya Charlos?" tanya Vanya sambil menatap Charles yang serius menyetir. Menurut cerita dari buku yang dibacanya kemarin, dia tidak ingin hanya dijadikan pengasuh berkedok istri. Charles kemudian memperlambat laju mobilnya. "Dua bulan lagi Charlos berusia satu tahun. Gak mungkin aku egois, membiarkan dia tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Awalnya memang hanya untuk memenuhi permintaan Mama, tapi gak mungkin kita bersama tanpa ada hubungan. Di awal hubungan ini bisakah kita hanya berteman saja?" Vanya terdiam mendengar perkataan Charles. Dia tahu bahwa Charles memang tidak memiliki perasaan padanya, tapi dengan Charles mengatakan hal ini, setidaknya ia tahu diri untuk tidak berharap lebih. Mungkin awal sebagai teman lebih baik daripada mereka bersama hanya untuk memenuhi permintaan Omanya Charlos. Vanya menghela nafas dan mengangguk kecil pertanda ia setuju dengan apa yang Charles katakan. Anggukan yang membuat pria itu bisa tersenyum dan merasa tenang, karena sekarang ia tak lagi sendirian memikirkan masa depan anaknya."Kamu baru beli cincin, Van?" tanya Mama kala melihat Vanya duduk di kursi meja makan sambil mengelus-ngelus cincin berlian di tangannya.“Eh itu, anu,” jawab Vanya gelagapan sembari menyembunyikan tangannya."Atau kamu sudah dilamar sama Charles?” terka Mama. Vanya mengangguk pelan membenarkan ucapan Mama. Mematikan kompornya, Mama lantas duduk di sebelah anak gadisnya itu. "Ceritain gimana dia ngelamar kamu,” kata Mama sangat antusias. Wajahnya begitu penasaran menunggu Vanya bersuara.Sedikit malu-malu Vanya menceritakan kejadian sewaktu di restoran kemarin. Malu sama Mama karena Charles sama sekali tidak romantis saat melamarnya. “Masa dia langsung masangin cincin ke jari tangan Vanya, gak ada manis-manisnya sama sekali, Ma,” ucap Vanya berubah menjadi kesal.“Kenapa kebanyakan pria tidak romantis ya. Sama seperti papa kamu dulu,” sahut Mama teringat kenangannya bersama papanya Vanya dulu."Tapi….” Vanya menatap Mama lekat, “tapi Mama gapapa aku sama Charles?” Kening Mama berk
Saat sedang asyik makan siang bersama di rumah makan yang ada samping kantor, tiba-tiba saja perutnya terasa sakit. Mencoba untuk mengabaikannya, tapi lama kelamaan Vanya merasa ada yang berbeda dengan tubuhnya. Buru-buru ia mengambil tas kecilnya dan pergi ke kamar mandi."Tuh kan bener," ucapnya begitu masuk ke toilet. Untungnya gadis itu mengantisipasi hal-hal seperti ini. Selesai membereskan diri dan mencuci tangan, ia keluar dari toilet. Netranya tak sengaja bertemu pandang dengan Tristan yang ternyata juga berada di rumah makan itu. Sebenarnya Vanya ingin menghindar, tapi Tristan lebih dulu menghampirinya.“Makan siang di sini? Ayo bareng,” ajak Tristan ramah."Aku sama temen-temen kantor, Bang,” sahut Vanya sambil menunjuk salah satu meja yang penuh terisi. Kala ia hendak melangkah, Tristan meraih tangannya.“Surat yang diajuin ke kantor Ab ang kemarin, sudah di acc. Nanti surat balasannya bakal dikirim ke kampus dia ya.” Tristan masih memegang tangan Vanya. “Makasih banyak at
Dengan wajah kusut, Sandra masuk ke ruangan Frans. Pusing rasanya memikirkan tempat untuk praktek kerja lapangan. Pasalnya semester ini ia harus PKL di perusahaan selama dua bulan. Sebenarnya dia bisa saja PKL di kantor Frans, tapi menurutnya akan beda rasanya bila bekerja di perusahaan orang.“Apa Sandra praktek kerja di tempat Kak Vanya aja ya, Ma? Siapa tahu nanti bisa kerja di sana,” ucap Sandra yang di iyakan oleh Frans."Ma, nanti suruh Kak Vanya ke rumah ya,” pinta Sandra."Iya, ini Mama coba telepon,” kata Erin mengambil handphone dan menghubungi Vanya.***Jam setengah enam sore, Vanya sampai di rumah Charles, tepat saat Erin sedang menyuapi Charlo makan."Masuk sini, Van," sapa Erin saat melihat Vanya membuka pagar. Ia kemudian berteriak kecil memanggil Sandra."Hai Kak Vanya," sapa Sandra sambil melepas earphone dari kupingnya. Mereka berdua masuk ke dalam rumah dan mengobrol di ruang tamu."Kayaknya bisa aja kalau kamu mau PKL di tempat Kakak, nanti Kak Vanya bantu ajuin
Ucapan Charles yang mengatakan kalau ia sibuk, ternyata tak terbukti. Vanya yang sudah bersiap untuk pulang, kaget serta heran karena Charles malah menjemputnya."Katanya mau pulang," celetuk Reni yang tiba-tiba sudah ada di sampingnya."Bikin kaget aja kamu, Ren,” ucap Vanya mengelus dadanya, “ini mau pulang, dah,” lanjut Vanya seraya mempercepat langkah kakinya masuk ke dalam mobil Charles."Katanya kamu sibuk?" tanya Vanya sambil memasang sabuk pengaman. Terlihat jelas wajah Charles yang kusam dan lelah."Daripada jemput aku, lebih baik kamu istirahat. Kecapean gitu," ucap Vanya tanpa bermaksud apa-apa, tapi malah ditanggapi Charles dengan sedikit marah."Oh jadi kamu gak suka aku jemput? Kamu sudah janjian dijemput sama Tristan?”"Kenapa sih kamu? " tanya Vanya bingung, "kamu itu lebih baik istirahat, jadi kalau tersorot kamera kelihatan cakep,” lanjut Vanya. Tadi siang ia melihat Charles di salah satu stasiun tv sedang mengawal tamu kantornya yang sedang melakukan kunjungan ke ma
Sesuai dengan kesepakatan Vanya dan Charles, untuk pertama kalinya mereka berjalan bersama berdua. Menjemput Vanya di rumahnya, gadis itu mengira akan diajak nonton atau paling tidak makan. Namun ternyata salah. Charles malah membawanya ke makam mendiang istrinya. "Hai," sapa Charles sambil meletakkan beberapa tangkai bunga mawar di atas makam. Kirana Anjani nama yang tertulis di batu itu. Tampak Charles memandang lekat makam di depannya itu, tanpa ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Vanya seolah dapat merasakan kesedihan yang dialami Charles, kala melihat pria itu tetap diam di depan makam mendiang istrinya. Seperti tak ada kata yang cocok untuk menggambarkan kesedihannya saat ini.Selesai dari tempat itu, mereka berdua kemudian menuju salah satu kedai kopi. Setelah memesan menu di kasir, mereka memilih tempat duduk didekat jendela kaca yang menghadap ke arah jalan raya."Kamu gak cuci tangan dulu? Tadi kan tangan kamu kotor. Jangan jorok," ucap Vanya saat melihat Charles henda
Selesai meeting dengan salah satu dinas di Bandung, Tristan menyempat diri untuk bertemu Yuda. Pria itu langsung menemui Yuda di distronya. "Wah, lu kok gak bilang kalau ternyata Vanya sudah punya calon suami?" Tanpa basa basi Tristan langsung masuk, membuat Yuda dan beberapa pengunjung memandang bingung ke arah Tristan."Oopss." Tristan nyengir lebar kemudian berjalan menghampiri Yuda di meja kasir."Apaan si lu. Datang-datang bukannya bilang salam, ini malah ngomong yang gak jelas," ucap Yuda."Gue masuk ya." Tristan masuk ke area kasir dan duduk di samping Yuda. Tristan lantas menceritakan pertemuannya dengan Vanya saat di cafe waktu itu."Jadi cowok itu bilang, kalau dia calon suami adik lu," ucap Tristan membuat Yuda terdiam. Ia yakin yang Tristan ceritakan adalah pria yang dimaksud oleh Mama. “Tapi kok Mama gak bilang sih kalau dia sudah resmi jadi calon suami Vanya” batin Yuda heran sekaligus penasaran dengan tampang pria itu."Ah baru juga ca