“Keluargaku… tidak… tidak ada hubungannya… aahh… Kai… jangan…” dia mencoba menggeleng, tapi aku memegang kepalanya, memaksanya menatapku lagi.
“Bohong!” Aku menampar pipinya pelan, tapi cukup untuk membuatnya tersentak.
Aku menarik tanganku dari antara kakinya, membiarkan udara dingin menyentuh inti panasnya. Narnia terkesiap, matanya terbuka, menatapku memohon. Kepuasan itu terlihat jelas, namun ada sedikit kepanikan karena aku menghentikan sensasi itu.
“Tidak! Jangan berhenti… kumohon…”
“Kalau begitu, katakan.” Aku membuka sabuk celanaku, menarik risleting, membiarkan kejantanan-ku menyembul keluar, tegang dan keras. Narnia menatapnya dengan mata melebar, campu
Aku mendorong, dan Siti mendesah. Aku bisa merasakan lubang kenikmatan Siti kini semakin basah, semakin licin, dan gerakan kami menjadi lebih lancar. Aku mendorong lebih dalam, menghentak lebih kuat, menguasai setiap inci dirinya. Ini bukan lagi tentang keputusasaan atau balas dendam. Ini tentang kegilaan yang murni, tentang nafsu yang membakar.Aku bisa merasakan getaran kecil di tubuhnya lagi, tanda dia sudah mendekati puncak untuk keempat kalinya. Dia menggeliat, mengerang, dan kakinya melilit erat pinggangku, menarikku lebih dekat."Ya Tuhan... Tuan... ini... ini nikmat sekali... Tuan... aku... AHHHHH!" Siti berteriak, suaranya pecah, dan dia kembali mencapai orgasme. Lebih kuat dari sebelumnya, dia menegang, tubuhnya berkedut-kedut, dan dia mencengkeramku erat seolah nyawanya bergantung padaku.Aku bisa merasak
Aku tidak menghiraukannya. Malam itu, di tengah kehampaan jiwaku yang mencengkeram erat, aku mendapati diriku memandang Siti, pembantu rumah tanggaku. Daster sederhana yang ia kenakan kini terlihat seperti selubung tipis yang menutupi sebuah permata.Tanganku tanpa sadar merobek daster sederhananya. Suara kain robek itu terdengar begitu jelas di keheningan kamar. Dan di bawah cahaya remang, tubuhnya yang putih mulus terpampang di hadapanku. Dia tidak menjerit. Dia hanya menutup matanya, seolah menyerahkan takdirnya sepenuhnya padaku. Sebuah tarikan napas tertahan keluar dari bibirku, entah karena alkohol atau karena pemandangan di depanku.Kulitnya. Ya Tuhan, kulitnya begitu putih dan mulus, tanpa noda sedikit pun. Aku bisa melihat jejak samar urat biru di balik kulit tipisnya, bukti kemurnian yang tak tersentuh. Tanganku gemetar saat menyentuh pahanya ya
Aku terbangun. Dingin. Kehampaan yang menyeruak dari dalam diriku terasa jauh lebih dingin daripada udara pagi yang menyelinap masuk lewat celah gorden. Livia terbaring di sampingku, bernapas teratur, rambut pirangnya menyebar di atas bantal, wajahnya damai dalam tidurnya. Dia terlihat begitu polos, begitu rentan.Aku telah melakukannya lagi. Menggunakan seseorang. Mengambil kebaikan dan cintanya yang tulus, menginjaknya, dan membuangnya setelah aku selesai. Livia tidak lebih dari pelampiasan. Aku tidak lebih baik dari para manipulator yang telah menghancurkan hidupku sendiri. Jika ada yang tersisa dari Kai yang dulu, Kai yang berhati nurani, itu sudah mati dan membusuk sekarang.Perlahan, aku bangkit. Tidak ingin membangunkannya. Setiap gerakan adalah siksaan, setiap bisikan hati adalah tuduhan. Aku mengenakan pakaianku dalam diam, tanpa terburu-buru, se
“Rasakan ini, Kai,” bisiknya, suaranya sedikit bergetar karena sensasi yang kami bagi. “Rasakan bagaimana aku menerimamu. Kamu tidak sendirian.”Aku memejamkan mata, membiarkan diriku tenggelam dalam irama yang dia ciptakan. Setiap gerakan lambatnya seperti gelombang yang membasuh jiwaku, sedikit demi sedikit mengikis lapisan es yang membekukan hatiku. Tangan Livia mengusap dadaku, lalu turun ke perutku, sentuhannya begitu lembut, penuh kasih. Aku bisa merasakan denyutan di dalam diriku, bukan hanya karena gairah, tapi juga karena emosi yang meluap.Dia membungkuk, mencium bibirku lagi, ciuman yang dalam dan memabukkan. Lidahnya bermain dengan lidahku, sebuah tarian intim yang tidak lagi menuntut, tapi saling memberi dan menerima. Aku membalas ciumannya, tanganku naik ke pinggangnya, merasakan lekuk tubuhnya yang indah. Aku tak bisa mena
Suara bantingan pintu itu masih bergema di telingaku, lama setelah Tanika menghilang ditelan malam. Aku terduduk di lantai kamar yang dingin, dikelilingi oleh keheningan yang memekakkan. Kemarahan yang tadi membakarku telah lenyap, menyisakan abu penyesalan yang pahit dan kehampaan yang begitu luas. “Kalian semua sama saja!” Jeritan Tanika terus terngiang, setiap katanya adalah sebuah vonis yang menusuk langsung ke jantungku. Aku telah menjadi monster yang paling kubenci. Aku telah menjadi seperti Bimala.Rasa jijik pada diriku sendiri begitu kuat hingga membuatku mual. Aku bangkit dengan langkah gontai, meraih kunci mobil dan keluar dari rumah neraka itu. Aku butuh pelarian. Aku butuh sesuatu untuk menenggelamkan suara-suara di kepalaku.Aku berakhir di sebuah pu
Aku terus menjilat, mengisap, dan menggerakkan lidahku, mengeksplorasi setiap lekukan dan kepekaan di sana. Biji kecilnya membengkak menjadi sebuah kuncup merah muda yang berdenyut, begitu sensitif hingga sentuhan lidahku yang lembut pun terasa seperti sengatan listrik. Napasnya terengah-engah, tak beraturan. Matanya terpejam rapat, bibirnya sedikit terbuka, dan suara desahan tersendat keluar dari tenggorokannya. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar hebat. Aku mempercepat irama, memberinya sensasi yang luar biasa, memaksanya ke tepi jurang. Tiba-tiba, tubuhnya menegang, kakinya gemetar tak terkendali, dan ia menjerit kecil, suaranya teredam, dan seluruh tubuhnya bergetar dalam puncak orgasme. Ia ambruk ke dinding, kepalanya terkulai ke belakang, napasnya terputus-putus. Tapi matanya tetap terpejam, tidak ada kontak mata, tidak ada kata-kata. Ia mencapai puncak, namun tetap pasif.Aku bangkit, melepaskan pa