Se connecterPangeran Varen akan tiba dalam tiga hari. Persiapan di istana mencapai puncaknya. Setiap sudut dipoles, setiap hiasan diperiksa, dan setiap pelayan berada di bawah pengawasan ketat. Ketegangan ini hanya memperkuat perasaan Ariel bahwa waktu mereka semakin menipis.
Sejak insiden gelang dan kode Seroja, Elara mulai menemukan alasan-alasan kecil untuk menjaga Ariel tetap berada di sekitarnya. Alasan yang secara teknis dapat dibenarkan, tetapi batasannya mulai terasa tipis. "Ariel, pastikan semua buku di perpustakaan pribadi saya tertata berdasarkan tahun penerbitan," kata Elara suatu pagi. Tugas itu biasanya milik seorang pustakawan. "Ariel, bantu saya memilih kain untuk gaun perjamuan. Pendapat seorang pria bisa sangat berharga," katanya suatu sore, saat para dayang utama sedang sibuk. Pada malam hari ketiga setelah ia mengembalikan gelang, Elara duduk di teras kecil di luar kamarnya, di bawah naungan pohon willow tua. Ia tidak membaca atau merajut; ia hanya menatap kosong ke langit. "Ariel," panggilnya, suaranya mengandung kebosanan yang tajam. Ariel, yang sedang membereskan bantal kursi, segera mendekat. "Ya, Tuan Putri?" "Saya bosan dengan keheningan ini. Musik biola istana terlalu formal, dan dayang-dayang hanya bisa membicarakan benang emas dan permata. Saya ingin sesuatu yang lain." Elara mengambil buku tebal yang tergeletak di sampingnya—sebuah kumpulan mitos Astaria kuno tentang pahlawan tanpa nama yang menikahi dewi. “Bacakan ini untuk saya,” ia memerintahkan. Ariel tertegun. Membacakan untuk Tuan Putri adalah tugas yang intim, tugas yang hanya dilakukan oleh ibunya atau, yang lebih umum, oleh seorang wanita bangsawan yang berpendidikan tinggi. Ini adalah pelanggaran serius terhadap etiket, yang menempatkan Ariel setara dengannya, meskipun hanya dalam konteks naratif. "Tuan Putri, saya... bacaan saya mungkin tidak cocok. Bahasa kunonya sulit," Ariel mencoba menolak dengan sopan. "Justru itu. Suara Anda tidak terkontaminasi oleh kebohongan istana. Bacalah, Ariel. Saya perintahkan." Ariel akhirnya mengalah. Ia mengambil buku itu, berdiri di samping Tuan Putri, dan mulai membaca. Suaranya, yang biasanya tenang dan rendah, kini terdengar resonan saat ia membacakan kisah kepahlawanan dan cinta yang mustahil. Dia membaca Bab tentang Pahlawan Raksasa yang harus membuktikan dirinya di tujuh lautan untuk mendapatkan restu Dewi Cahaya. Suara Ariel merdu, penuh perasaan, membawa kisah itu hidup, jauh melampaui kemampuan seorang pelayan. Elara memejamkan mata. Ia tidak mendengarkan kata-kata; ia mendengarkan suara itu. Suara yang membisikkan keberanian dan kehangatan, jauh dari kebisingan dan intrik. Saat Ariel menyelesaikan bab tersebut, ia mendapati dirinya hanya berjarak satu langkah dari Elara. Elara membuka matanya dan menatapnya. Malam itu dingin, tetapi pipinya memerah karena sentuhan yang nyaris tak terlihat dari kisah cinta yang Ariel bacakan. "Ariel," katanya, nadanya kini beralih dari seorang Putri ke seorang wanita. "Anda... Anda sangat pandai bercerita." Ariel merasakan napasnya tertahan. Ia bisa mencium aroma mawar dari rambut Elara. "Saya hanya membaca kata-kata itu, Tuan Putri," jawab Ariel, berusaha mengendalikan dirinya. "Tidak," Elara berbisik. Ia mengulurkan tangan kirinya, yang mengenakan gelang giok. Jari-jarinya melayang di udara, hanya satu inci dari lengan Ariel. "Anda membuatnya terasa nyata." Itu adalah undangan—sebuah permintaan yang melanggar batas, jauh lebih besar daripada permintaan untuk memperbaiki engsel pintu. Ariel merasakan seluruh tubuhnya menegang. Ia ingin meraih tangan itu, menciumnya, membawanya pergi dari sangkar emas ini. Sebuah bayangan samar melewati ujung koridor. Ariel menarik napas, memaksakan diri untuk mundur selangkah. Ia berhasil memutus ketegangan yang nyaris meledak itu. "Sudah larut, Tuan Putri. Saya harus kembali ke barak pelayan," katanya, suaranya serak. Ia membungkuk dalam-dalam. "Selamat malam." Kali ini, Elara tidak memprotes. Ia menatap kepergian Ariel dengan mata berkobar, lalu memegang dadanya sendiri. Ia menyadari. Permintaan sederhana itu telah membawa mereka ke tepi jurang yang berbahaya.Fajar menyingsing membawa kabar buruk bagi Pangeran Varen dan kabar baik yang samar-samar bagi Astaria. Jenderal Kavaleri Cassian kembali ke istana bukan dengan kemenangan perang yang riuh, melainkan dengan laporan tenang tentang ‘pengamanan’ Penyeberangan Sungai Feralis dari pasukan asing yang mencoba menyusup.Meskipun Cassian menahan diri untuk tidak menyebut nama Varen di depan umum, ia segera meminta audiensi darurat dengan Raja.Di Sayap Raja, Elara sedang menunggu dengan hati-hati. Ia telah menyerahkan bros naga perak yang diamankan Ariel kepada Cassian, menjelaskan bahwa bros itu adalah petunjuk, dan membiarkan Ksatria tua itu menyusun narasinya.Tidak lama kemudian, istana diselimuti suasana tegang. Pengawal kerajaan, dipimpin oleh Cassian, diam-diam memasuki kamar Pangeran Varen, menyita barang-barangnya, dan menahannya atas tuduhan yang belum diumumkan.Raja Astaria, yang biasanya tenang, tampak pucat dan terguncang. Pengkhianatan di istananya sendiri,
Malam menjelang serangan yang dijadwalkan. Istana sunyi. Pesta dansa telah berakhir, dan semua orang, termasuk Pangeran Varen yang puas diri, telah pensiun ke kamar mereka. Hanya Dayang Clara yang masih berpatroli, bayangannya melayang di koridor seperti hantu yang bersemangat.Ariel tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jaro, pengawal Varen, telah mencari bros naga perak itu dengan putus asa, yang berarti bukti itu sangat penting. Ariel harus memastikan Jaro tidak menemukannya di Sayap Barat.Ariel tahu bahwa Jaro tidak akan mencari di lokasi tempat bros itu jatuh: gudang anggur tua, tempat yang dianggap terlalu jauh dan terpencil dari urusan istana.Berbekal senter minyak kecil, Ariel menyelinap keluar dari Sayap Barat, bergerak cepat melalui lorong-lorong pelayanan yang gelap, menuju ke Sayap Anggur, tempat yang ia masuki beberapa hari lalu untuk menemukan dokumen pemalsuan.Saat ia mencapai gudang anggur, ia mencium bau lumut dan kelembapan, namun juga bau tan
Dua hari sebelum tanggal serangan yang diperkirakan, istana mengadakan pesta dansa mewah untuk menghormati kedatangan Pangeran Varen dan merayakan pertunangan mereka yang akan datang. Aula dansa berkilauan dengan kristal dan emas, namun bagi Elara, suasana terasa tebal dan menyesakkan. Setiap senyum adalah topeng, setiap sapaan adalah jebakan.Elara mengenakan gaun sutra berwarna biru tua, warnanya sama gelapnya dengan rahasia yang ia sembunyikan. Di tengah hiruk pikuk musik dan tawa, ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan kecemasan di matanya.Pangeran Varen, di sisi lain, tampak terlalu ceria. Keyakinan dirinya terpancar kuat. Ia percaya bahwa Raja Astaria masih sibuk dengan menu katering, sementara Jenderal Lycia sedang menggerakkan pasukannya."Kau terlihat mempesona malam ini, Elara," bisik Varen saat memimpinnya dalam sebuah waltz. Jari-jarinya menggenggam pinggang Elara dengan rasa memiliki yang terlalu kuat."Kau juga, Varen," jawab Elara, memaksa seny
Sinar matahari pertama menembus jendela kamar tidur Elara, dan Dayang Clara sudah berdiri di sampingnya, memegang nampan perak yang berisi teh pagi dan, di dalam vas kristal kecil, satu tangkai Anggrek Merah.“Anggrek dari rumah kaca, Tuan Putri. Saya pikir warnanya sangat cocok dengan suasana hati Anda pagi ini,” kata Clara dengan senyum yang terlalu lebar, nadanya penuh makna tersembunyi. Clara menempatkan vas itu tepat di samping tempat tidur Elara, di mana matanya bisa mengawasi.Elara merasa tegang. Dia tahu Ariel pasti sudah mencoba menghubunginya, dan bunga ini adalah satu-satunya kesempatan. Dia harus bertindak secara alami."Anggrek yang indah, Clara. Terima kasih," jawab Elara, mengambil bunga itu.Saat ia memuji warna kelopak bunga, jarinya perlahan-lahan menyentuh batang Anggrek. Dia merasakan ada tonjolan kecil yang tidak wajar, sekecil serpihan. Elara tahu itu. Itu adalah pesan Ariel."Bisakah Anda mengambilkan buku puisi saya, Clara? Saya merasa ingin membaca beber
Dayang Clara adalah seorang musuh yang licik. Keesokan paginya, Clara bertindak bukan dengan tuduhan langsung, melainkan dengan memisahkan Elara dari satu-satunya sekutunya, Ariel. Saat sarapan, Clara mengumumkan, "Tuan Putri, saya telah membuat penyesuaian pada jadwal harian. Pelayan Ariel akan dipindahkan sementara ke Sayap Barat untuk membantu dengan inventarisasi permadani yang rusak. Pekerjaan ini memerlukan tangan yang kuat dan perhatian pada detail, dan saya yakin ia akan berguna di sana." Elara merasakan darahnya mendidih, tetapi ia harus menjaga ketenangan. Memprotes akan menegaskan kecurigaan Clara. "Oh, Sayap Barat? Betapa membosankan," kata Elara, pura-pura cemberut. "Tetapi saya kira permadani yang sobek adalah prioritas. Anda benar, Clara. Biarkan Ariel pergi." Clara tersenyum puas. Itu adalah kemenangan kecil yang memisahkan sepasang sekutu tanpa menimbulkan kecurigaan. Setelah Clara pergi, Elara segera mengirimka
Ariel menunggu sampai larut malam, jauh setelah seluruh istana terlelap, untuk bertemu Elara. Ia tidak berani menggunakan kode lilin di ambang jendela lagi karena takut Dayang Clara mengawasi. Sebagai gantinya, ia pergi ke tempat teraman—pertemuan mereka di observatorium, dengan asumsi bahwa jika ia ditangkap, setidaknya ia akan ditangkap di dekat Elara. Elara sudah ada di sana, menunggu dengan gelisah di bawah teleskop yang diam. Dia tidak memakai jubah tidur mewah malam ini, melainkan gaun yang sederhana, seolah-olah dia siap untuk melarikan diri kapan saja. "Anda datang," bisik Elara, lega yang luar biasa memancar dari matanya. "Saya berhasil, Tuan Putri," jawab Ariel. Ia mengeluarkan gulungan perkamen yang kusut dan bros naga perak dari balik jubahnya. "Ini adalah surat pemalsuan. Ditandatangani oleh 'Kapten R. Volstov'—nama samaran Varen. Dan ini…" Ariel meletakkan bros naga perak di atas meja observatorium. Cahaya bulan memantul dari permukaannya yang mengkilap. "Ini j







