เข้าสู่ระบบMeyra sibuk memasak. Dibantu seorang pelayan yang terkadang datang untuk melakukan pekerjaan rumah.
Di rumah keluarga Anderson yang sebesar itu, Meyra kesulitan melakukan semuanya sendiri. Walau pelayan itu hanya datang saat pagi sampai siang saja.
"Di sofa, itu buket punya siapa, Meyra?" celetuk seorang pria dari belakang.
Meyra menoleh. Ternyata itu Ayah Mertuanya.
Glen duduk di kursi ruang makan yang bersebelahan dengan area dapur.
"Oh, iya. Itu buket yang aku pesen kemaren. Buat ke makam, sekarang hari peringatan kematian Ayah," jawabnya.
Alis Glen sedikit terangkat. Bibirnya menampilkan senyuman tipis.
"Gitu ya. Maaf Papa lupa. Dan kayakanya nggak bisa ikut," sesalnya.
Mey membalas senyuman. Lalu berjalan ke ruang makan sambil mmbawa nampan berisi makanan.
"Nggak apa-apa, kok. Papa pasti sibuk. Aku cuma lagi kangen Ayah aja," katanya pelan sambil menaruh makanan di hadapan Glen.
Meyra lalu duduk di kursi seberang. Mulai menyuap sarapannya sedikit menunduk.
Glen memperhatikannya sekilas. Meski Meyra membicarakan Ayahnya dengan santai, tapi cukup terlihat dia masih menyimpan kesedihan.
"Evan beruntung punya Istri kayak kamu, ya. Rasanya jadi pengen nikah lagi," ucap Glen.
Nadanya sedikit bersenda gurau di akhir kalimat.
Meyra mendongak. lalu tersenyum geli di balik punggung tangannya.
“Nikah aja, Pah. Aku yakin banyak yang antre.”
Glen tertawa pendek, mengangkat bahu.
“Entahlah. Kebanyakan cuma ngincer harta. Lagi pula, Papa sudah punya Evan buat nerusin semuanya nanti.”
Meyra mengangguk pelan. Dari yang dia perhatikan, Glen sepertinya memang tak tertarik menikah lagi. Istrinya, Laura, sudah meninggal belasan tahun yang lalu.
Karena di pikiran Glen, menikah hanya untuk membuat penerus bisnis perusahaan. Pernikahan dulu pun hanya hasil perjodohan, bukan cinta.
Meski sayang, mereka tak dikaruniai anak.
Setelah sarapan usai, Glen berangkat ke kantor. Sementara Meyra membereskan meja makan, berniat kembali ke kamarnya.
Tapi suara lain menghentikannya di tengah langkah.
“Non, maaf. Bahan masakan udah mau habis. Mau saya belanja?” tanya Tuti. Pelayan di rumahnya.
Meyra menatap Tuti. Dan berpikir sejenak.
"Nggak usah. Nanti aku aja, sekalian mau ke makam."
Tuti mengangguk paham, lalu berbalik pergi.
Meyra melanjutkan langkahnya. Kemudian merapikan bekas keributan tadi. Kamarnya masih sedikit berantakkan.
Merya bersiap mengganti pakaian yang lebih rapi. Keluar dari kamar, lalu mengambil buket bunga tadi.
Di depan rumah, taksi online yang Meyra pesan sudah menunggu.
"Pak. Nanti setelah belanja saya mau ke makam. Titip bunga di sini ya," ucapnya sambil meletakan buketnya ke samping.
Sopir di depan menoleh dan mengangguk ramah.
“Siap, Bu. Saya tunggu.”
Meyra tersenyum tipis.
'Duh, aku masih belum Ibu-ibu,' batinnya geli. Tapi ia diam saja.
Perjalanan ke pusat perbelanjaan memakan waktu setengah jam.
Begitu tiba, Meyra langsung menuju area food hall. Tangannya cekatan memilih sayur dan daging segar.
Meski Evan bersikap dingin dan jarang di rumah, ia tetap menafkahinya dengan cukup.
Semua kebutuhan rumah tangga tak pernah kurang. Sebagai pewaris keluarga Anderson, memberi satu kartu kredit pada istrinya jelas bukan masalah.
Usai membayar belanjaan, Meyra menatap sekilas ke arah eskalator menuju lantai dua. Ia berpikir untuk membeli cermin baru yang Evan pecahkan tadi pagi.
Tapi saat hendak naik ke area Home Living Section, langkahnya terhenti ketika suara riang memanggil namanya dari arah lain.
“Meyra!”
Meyra menoleh. Seorang wanita dengan rambut biru terang melambaikan tangan. Penampilannya mencolok. Dengan baju ketat dan rok pendek.
Itu adalah teman dekat Meyra sejak kuliah. dan berprofesi sama dengannya. Seorang penulis novel.
"Hei, Lisa," balas Meyra. Terlihat terkejut sekaligus senang. "Kamu kok di sini?"
Lisa menyibak rambut birunya.
“Mau beli bikini! Aku butuh bahan buat reset ide. Jadi mau liburan ke pantai. Kamu sendiri?”
Meyra mengangkat kantong belanjaannya.
"Biasa. Istri rumah tangga, belanja bahan makanan," jawabnya sambil tersenyum tipis.
Lisa mengangguk, tapi matanya berkilat nakal.
"Eh. Kebetulan kamu di sini, ikut aku ke toko Arson yuk. Siapa tau dapet baju gratisan karena ajak nyonya bos."
Meyra terkekeh kecil.
“Aku bukan nyonya bos. Lagian di mall ini nggak ada yang tahu aku dari keluarga Anderson.”
“Pokoknya temenin aja!” Lisa merangkul lengannya. “Sini, biar aku bantu bawa belanjaannya.”
Lalu menariknya pergi menuju toko Arson di ujung koridor. Meyra hanya bisa pasrah dan ikut saja dengan temannya yang enerjik itu.
Dari luar, toko itu tampak seperti butik dewasa bergaya elegan. Di kaca besar menampilkan lingerie mahal.
Seorang petugas menyambut dengan senyum profesional.
“Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?”
“Oh, iya,” kata Lisa cepat, menunjukkan kartu keanggotaan. “Saya anggota member. Mau lihat barang baru, boleh?”
Petugas itu melirik kartu yang tampak sedikit berbeda dari kartu member biasa. Matanya menajam, lalu tersenyum sopan.
“Silakan ikut saya."
Mereka mengikuti petugas melalui pintu berwarna hitam di sisi kiri ruangan.
Begitu pintu itu tertutup di belakang mereka, suasana berubah total. Cahaya lebih redup.
Jika sebelumnya hanya pakaian dewasa, kali ini adalah area barang-barang premium. Dan juga terdapat koleksi mainan dewasa.
Deretan rak berisi benda-benda aneh berjajar rapi. Mainan sex dengan bentuk dan ukuran yang membuat pipi Meyra merona.
‘Kalau aku tahu bakal ke tempat ini.… Aku pasti nggak bakal ikut,’ batinnya sambil menelan ludah.
“Papa tadi liat nggak, ya?” gumam Meyra gelisah.Dalam kamarnya, Meyra menatap paket itu. Seketika Meyra tersenyum ketika membaca label di atasnya.“Untung aja nama barangnya disensor.”Meyra segera menyembunyikan paket itu di laci meja kerjanya. Kemudian melangkah keluar kamar. Dan mencoba bersikap senormal mungkin.Meyra melewati sarapan seperti biasa. Tanpa menyadari tatapan Glen yang sedikit berbeda. Tak berkata apa pun meski dalam kepalanya penuh dengan pertanyaan.Mereka melanjutkan kegiatannya masing-masing.Sebagai penulis, jam kerja Meyra cukup fleksibel. Walau terkadang dia lelah saat dikejar deadline.Baru saja hendak duduk di kursi kerja, tiba-tiba ponselnya di atas meja berdering.Nama Siska terpampang di layar. Dia adalah Editornya di salah satu platform novel online.“Halo, Kak Siska?” sapanya.“Mey, naskah kamu yang baru, aku tolak ya,” ucap Siska langsung tanpa basa-basi.Meyra mengernyit. “Loh? Kenapa, Kak?”“Hm, masih banyak kekurangannya. Entah kenapa, tulisan kamu
“Ahh!”Meyra mendesah pelan. Dia menggeliat resah di atas kasur.Tatapannya masih tertuju pada video panas di layar laptop. Sambil mengikuti gerakan si pemeran wanita.Sesekali, Meyra memandangi foto pernikahannya dengan Evan di dinding sebagai objek fantasi liarnya. Gairah yang tertahan selama ini akhirnya lepas kendali.Meyra mengambil mainan sex yang sudah dia ambil. Dan tidak lama kembali mendesah. Kali ini, lebih kencang.“Hemm, Evan ....”Meyra menaikkan tempo mainan itu sambil menyebutkan nama suaminya. Dia berkhayal Evan ada di sampingnya.Meyra lupa menutup rapat pintu kamarnya. Dia tidak menyadari, sepasang mata memperhatikan kegiatannya dari celah pintu yang sedikit terbukaGlen Anderson, Ayah mertuanya.Glen baru saja tiba setelah lembur kerja. Tapi dia malah mendengar suara desahan dari kamar menantunya.Tidak menduga, ternyata Meyra sedang memuaskan diri menggunakan mainan sex.Glen tak habis pikir. ‘Dasar, Evan! Kok bisa dia biarin Istrinya main sendirian begini?’Glen
"Tapi ada buku aku yang laris kok, Mas. Sampai dicetak beberapa kali."Meyra mencoba menahan nada suaranya tetap tenang. Ia tak ingin membuat keributan karena hal ini."Nggak bakal dijadiin film juga. Rugi gelar Sarjana ekonomi kamu kalau ujung-ujungnya nganggur di rumah," balas Evan dingin.Meyra menunduk menggigit bawah bibirnya. Menahan rasa sesak di dada.Sejak awal Evan tak terlalu suka ataupun mendukung profesi Meyra. Padahal itu adalah hobinya. Dan banyak perjuangan yang dia lakukan."Iya Mas. Maaf. Mungkin bakat aku di situ," ucap Meyra seadanya.Evan memutar bola matanya malas."Terserah," katanya tak peduli.Meyra menarik nafas. Memaksakan senyuman. Dia selesai melipat pakaian terkahir dan memasukkannya ke dalam tas.Kemudian berjalan menghampiri Suaminya."Ini bajunya, Mas. Nggak makan malam dulu?"Meyra mencoba tak memikirkan perkataan Evan. Hal itu sudah biasa. Walau tetap terasa menyakitkan.“Nggak usah,” jawabnya singkat.Evan hendak melangkah pergi.Namun tangan Meyra
"Ya udah. Ayo aku temenin."Suara Evan terdengar datar.Tapi cukup untuk membuat wajah Meyra berubah. Ekspresi datarnya kembali tersenyum cerah."Beneran? Kamu mau ikut? Emang nggak ganggu kerjaan kamu?" tanyanya dengan mata berbinar.Evan menghela napas panjang. Memalingkan wajahnya sejenak."Nggak kalau cuma sebentar."Lalu menoleh pada Sekretarisnya dan memerintah. "Kamu ke kantor duluan, Clara."Clara mengangguk pelan.“Iya, Pak,” jawabnya.Kemudian berbalik dan pergi tanpa banyak bicara.Melihat hal itu, entah kenapa Meyra senang Clara pergi. Dan Evan berpihak padanya.Meyra mulai sedikit percaya dengan perkataan Evan tadi mungkin benar. Mereka kemari hanya masalah pekerjaan,"Tapi aku mau ambil buket dulu di taksi ya, Mas," ujar Meyra.Evan mengayunkan sedikit dagunya."Ya udah sana."Dengan langkah ringan, Meyra bergegas pergi.Sementara Evan masih berdiri di tempatnya. Ketika Meyra menjauh, ekspresinya berubah datar.‘Ck. Merepotkan,’ gerutunya dalam hati.Mendengus samar penu
"Lis, kenapa beli itu siang-siang gini, sih? Kenapa nggak beli online aja," bisik Meyra setengah menahan malu.Kepalanya menunduk. Sedikit menutupi wajah dengan rambut panjangnya.Lisa hanya menoleh santai."Ya kalau malem, mall tutup. Aku udah beli online, tapi lama nyampe."Lalu melangkah santai menyusuri deretan rak yang dipenuhi berbagai benda berwarna mencolok. Meyra hanya menggelengkan kepala.Perusahaan keluarga Anderson sedikit unik. Bisnis mereka bergerak di bidang fesyen khusus dewasa, dan memproduksi mainan sex. Toko Arson di mall ini adalah salah satu cabangnya.“Mey, lihat deh. Ini lumayan bagus,” panggil Lisa.Sambil mengangkat sebuah mainan sex berwarna hitam dengan ukuran yang cukup besar.“Kamu mau nggak? Katanya ini paling laku.”Meyra langsung melotot.“Nggak, ah! Kamu aja,” tolaknya.Lisa terkekeh kecil.“Duh, bener juga. Kamu kan udah punya suami.”Meyra pura-pura tak mendengar. Sambil memalingkan wajah.Namun, kata-kata Lisa sedikit menusuk hatinya. Meski memilik
Meyra sibuk memasak. Dibantu seorang pelayan yang terkadang datang untuk melakukan pekerjaan rumah.Di rumah keluarga Anderson yang sebesar itu, Meyra kesulitan melakukan semuanya sendiri. Walau pelayan itu hanya datang saat pagi sampai siang saja."Di sofa, itu buket punya siapa, Meyra?" celetuk seorang pria dari belakang.Meyra menoleh. Ternyata itu Ayah Mertuanya.Glen duduk di kursi ruang makan yang bersebelahan dengan area dapur."Oh, iya. Itu buket yang aku pesen kemaren. Buat ke makam, sekarang hari peringatan kematian Ayah," jawabnya.Alis Glen sedikit terangkat. Bibirnya menampilkan senyuman tipis."Gitu ya. Maaf Papa lupa. Dan kayakanya nggak bisa ikut," sesalnya.Mey membalas senyuman. Lalu berjalan ke ruang makan sambil mmbawa nampan berisi makanan."Nggak apa-apa, kok. Papa pasti sibuk. Aku cuma lagi kangen Ayah aja," katanya pelan sambil menaruh makanan di hadapan Glen.Meyra lalu duduk di kursi seberang. Mulai menyuap sarapannya sedikit menunduk.Glen memperhatikannya s







