After Marriage

After Marriage

Oleh:  Veronica Za  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
13Bab
815Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Denissa kira bisa menikah dengan orang yang ia kagumi sejak SMA adalah sebuah keberuntungan baginya. Ternyata, kehidupan pernikahan yang ia impikan tak seindah kisah dongeng. Bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui rumah tangga mereka. Akankah Denissa bisa menjaganya atau malah menyerah?

Lihat lebih banyak
After Marriage Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
13 Bab
TAK TERDUGA
Aku tidak tahu apa salah hingga masih belum mendapat jodoh di usiaku yang lebih dari seperempat abad. Randi bukanlah cowok pertama yang mengisi hatiku. Ada Beni saat SMA, Ramon saat awal kuliah dan terakhir Randi. Mereka semua memutuskan sepihak hubungan kami tanpa alasan yang jelas."Kamu sih, Sa! Cowok mana yang tahan pacaran lama tapi nggak dapet apa-apa," cecar Dina, sahabatku sejak SMA.Aku mengalihkan pandangan dari novel ke wajah cuek Dina. Masih mencoba mencerna kata-katanya, akhirnya aku bertanya, "Maksud kamu?""Masa nggak ngerti, sih! Kamu inget-inget, deh. Beni, Ramon, dan Randi punya alasan yang sama waktu mereka mutusin kamu. Nggak cocok! Padahal karena kamu menghindari kontak fisik dalam bentuk apa pun. Boro-boro cium, gandengan tangan aja kamu nolak." Aku tercengang mendengar kata-kata Dina yang tak masuk akal. Meski dalam hati, aku mengiyakan asumsinya itu."Apa pacaran itu harus begitu? Pacaran buatku tujuannya cuma satu, menikah. Toh nanti saa
Baca selengkapnya
RAGU
Seminggu berselang setelah malam lamaran tak terduga itu. Masih teringat dengan jelas senyum manis dari wajahnya, yang hingga kini masih membuat degup jantung tak karuan. Malam itu, diriku yang bar-bar berubah menjadi pendiam. Tak ada suara cempreng yang selalu berteriak karena kalah beradu argumen dengannya. Tak ada juga bantal yang melesat dari tanganku menuju wajah bulat berlesung pipi itu.Aku sibuk meredam suara debaran jantung yang terlalu kencang, seolah takut orang lain pun bisa mendengar. Sesekali melirik ke arah pria berkemeja biru yang juga tampak gelisah. Mungkin ia pun malu, sebagaimana diriku saat itu."Hayo ... melamun apaan, nih? Pasti lagi mikirin mau bulan madu ke mana, ya?" Sebuah suara diiringi tepukan ringan pada bahuku sontak membuat lamunan tadi buyar seketika. Gadis itu mengerling ke arahku."Apaan, sih? Sah aja belum, udah mikir bulan madu." Aku berpura-pura sibuk dengan map yang masih berserakan di meja, berharap Dina percaya dan tak m
Baca selengkapnya
PERSIAPAN
"Kita mampir dulu, ya? Lapar," rengek Kak Rai sambil mengelus perut six pack-nya dengan satu tangan, sedang yang lain memegang kemudi."Kan tadi sebelum pergi kita makan dulu. Masa makan lagi?" Aku menatapnya bingung. Tapi, dia malah terkekeh geli."Kalau orang nervous pasti bawaannya lapar mulu." Dia mengedipkan sebelah matanya ke arahku."Nervous kenapa?""Lah, dia pake nanya segala! Kok, kesannya cuma aku yang antusias sama pernikahan ini? Kamu nggak suka, ya?""Kalau gitu kita makan di situ saja," kataku seraya menunjuk sebuah mall yang tak jauh dari posisi kami. Aku sengaja tak menjawab pertanyaannya. "Hmm ... ok!"Kak Rai berbelok masuk ke arah gedung bertingkat itu. Ada gurat kekecewaan di wajahnya yang aku tak tahu karena apa.Kami memilih cafe bernuansa Sunda, karena memang Kak Rai suka dengan makanan khas Si Kabayan itu. Baru saja memasuki cafe, tiba-tiba sebuah suara memanggil nama Kak Rai dari meja yang terletak di sudut ruangan."Rai
Baca selengkapnya
MALAM PERTAMA
Sosok cantik tersenyum di hadapanku. Bibirnya merah merekah dengan riasan natural. Tak ada bulu mata palsu yang menghias matanya yang sudah indah sejak lahir. Tak ada pula sapuan blush on di pipinya yang merona alami.Balutan kebaya putih dengan hijab senada, membuat penampilan sosok itu tampak berbeda dari biasa.Senyum terkembang tanpa henti di bibirnya. Mengingat sebentar lagi, ia akan menempuh hidup yang baru. Mengarungi bahtera kehidupan bersama orang yang dicintainya.Sosok itu adalah diriku yang terjebak dalam cermin. Di luar sana, Kak Rai tengah mempersiapkan diri untuk membaca ijab kabul.Andai saja Ayah masih di sini, mungkin Beliau yang akan menikahkanku. Om Tedy, adiknya Ayah, bersedia mengisi posisi wali yang kosong. Saat yang mendebarkan akhirnya tiba. Kak Rai menjabat erat tangan wali dan mengucap ijab kabul dengan satu helaan napas. Cairan bening dan hangat mengalir, diiringi ucapan syukur kepada-Nya dari bibirku dan juga keluarga. Aku
Baca selengkapnya
DURI DI PAGI HARI
Tepat setelah kepergian Saskia, Nadin dan Vino terbangun. Dengan pikiran kalut aku mengurus keduanya dan membuatkan sarapan instan. Nasi goreng sosis. Setelah bersiap, kami menuju rumah sakit tempat Kak Amara melahirkan. Sampai detik ini, baik aku maupun Kak Raihan tak ada yang memulai percakapan. Kehadiran Saskia cukup membuat Kak Rai goyah. Bagaimana tidak! Hanya lelaki gila saja yang tidak tergoda ditawari bidadari.“Mama!” Nadin dan Vino berteriak memanggil sang ibu tepat ketika pintu kamar VIP ini terbuka. Ibu dan Kak Dodi menyambut kedua bocah itu suka cita, sementara Kak Amara tengah menggendong putri cantik kecil yang mungkin ketika dewasa nanti akan sangat mirip ayahnya.“Siang banget ke sininya, Sa. Ibu hampir saja pulang buat mastiin keadaan anak-anak. Ibu takut kamu kurung mereka di kamar mandi,” jelas Kak Amara yang membuatku heran. “Apa sih, Kak! Mana bisa seorang Nissa yang baik hati dan tidak sombong ini berbuat keji kepada dua keponakan kesayangann
Baca selengkapnya
MELABRAK
Entah kenapa sudah beberapa hari ini aku selalu teringat masa-masa kecil dulu.Sebenarnya aku hanya ingin kembali ke masa-masa itu. Di mana rasa sakit karena sikap Kak Raihan yang tak acuh terhadap perasaanku tak begitu membuatku secemas ini.Tak ada yang berbeda sebenarnya sejak berstatus sebagai kakak ataupun suami. Yang berbeda adalah aku. Aku tak suka dengan sikapnya yang menerima wanita lain ke rumah kami. Ditambah lagi, permintaan yang masuk akal itu tidak dia sanggah sama sekali. Padahal dulu, saat aku hanya menjadi adiknya, tak terasa sesakit ini ketika dia bilang pada Ibu ada wanita yang ia sukai.“Kamu masih mikirin kata-kata Saskia?” Pertanyaan Dina seolah menyeretku kembali ke bumi. Mulai hari ini aku dan Kak Raihan sama-sama kembali bekerja. Tak ada bulan madu untuk kami karena situasi yang kurang mendukung. Kak Raihan tengah mempersiapkan proyek baru di kantornya, tentu saja akan sangat banyak menyita waktu. Sedangkan aku sendiri tidak mungki
Baca selengkapnya
POSSESSIVE
“Bu, Nissa mau tanya sesuatu boleh?” tanyaku suatu malam saat bersama Ibu yang baru saja pulang dari rumah Kak Amara.“Boleh dong, Nak. Apa yang mau kamu tanyakan?” Ibu membelai rambut hitam sebahuku yang kini kurebahkan di atas kedua pahanya. Sungguh, hal ini adalah momen favorit dalam hidupku. Selain Ayah, hanya Ibu yang mampu memberikan rasa aman dan nyaman.Perlahan, kuhirup napas dan mengembuskannya dengan ritme yang pelan. Sesuatu yang mengganjal hatiku sejak beberapa hari ini bolehkah aku ceritakan pada ibu? Seperti yang biasa aku dengar dari dakwah dan media tentang istri yang wajib menutupi aib dan borok suami. Apakah yang Kak Raihan lakukan saat ini adalah sebuah aib? Ataukah sebuah luka yang akan segera menjadi borok jika terlalu lama didiamkan?Jika mengikuti kata hati, tentu sudah sejak awal kedatangan Saskia ke rumah aku melapor kepada Ibu. Aku akan menangis dan meraung saat bercerita dengan beliau, kemudian merajuk hingga Kak Raihan mau menuruti mauku
Baca selengkapnya
SAHABAT LAMA
Hari ini adalah malam kedua Kak Raihan pergi ke Semarang untuk ikut seminar kantor dan hingga saat ini pula chat yang aku kirimkan tak mendapat respons apa pun. Jika saja aku tak punya kesabaran ekstra, tentu sudah kususul dia dan kumaki di depan semua rekan kerjanya. Sebegitu sibuknyakah sampai lupa memberi kabar.Okelah kita anggap dia tengah sibuk, tapi apakah tak ada satu menit pun di sela-sela waktu istirahatnya untuk membaca chat-ku? Kalaupun mungkin handphone Kak Raihan bermasalah, entah hilang atau rusak, harusnya dia bisa memberi kabar lewat telepon rumah. Apa mungkin dia terlalu bersemangat saat pergi dengan Saskia dan menghabiskan waktu istirahatnya berdua saja? Ah, pikiranku semakin kacau. Jujur, yang paling aku sesali sekarang adalah aku tidak pernah mengetahui siapa saja teman Kak Raihan yang bisa kuhubungi di saat genting.“Sa, tolong pergi ke supermarket sebentar, ya. Ibu lupa beli susu buat bikin puding.” Ibu menghampiriku yang tengah memberi makan ikan Koi kesayangan
Baca selengkapnya
BIMBANG
Menjadi seorang istri tapi dengan label adik itu terasa sangat menjengkelkan. Bayangkan saja, ketika suami yang sudah sejak beberapa hari ini kau tunggu kabarnya, kini pulang dengan santai sambil membawa oleh-oleh yang katanya semuanya untukku. Hei, aku ini bukan lagi adik kecil yang perlu oleh-oleh saat kamu pergi jauh. Bukan juga senyum tengil yang kini seolah menjadi hal wajib ketika ada bersamaku. Aku benci dia. Aku benci sikapnya. Bahkan, kini aku sangat membenci senyumnya. Aku benci semua hal tentang dirinya.Aku mengurung diri di dalam kamarku sendiri. Aku tak mau lagi berbagi kamar dengannya. Biar saja dia kembali ke kamar lamanya. Toh, setelah maupun sebelum menikah sama saja bagiku. Dia tetap Raihan yang sibuk dengan segala kegiatannya.“Sa, ayo makan malam. Suami kamu sudah nungguin tuh dari tadi. Masa Ibu yang harus nemenin, sih?” Ibu mengetuk pintu kamarku pelan. “Nissa nggak lapar, Bu. Ibu sama Kak Raihan makan duluan saja.” Aku bergeming. Aku tak mau ke sana. Untuk ap
Baca selengkapnya
STALKING
Dio datang ke rumah bersama Dina. Aku yang baru saja akan pergi akhirnya mengajak mereka ke cafe tempat Kak Raihan dan Saskia janjian bertemu. Sesampainya di sana, aku tidak menemukan keberadaan mereka. “Kamu yakin mereka janjian di sini?” tanya Dina tak sabar karena dia yang paling mengerti perasaanku saat ini.“Aku sih dengernya begitu, tapi nggak yakin juga karena Kak Rai kan sudah jalan satu jam sebelum kita ke sini,” jawabku sambil masih mencoba menilik seisi cafe.Dio berjalan menuju toilet yang berseberangan dengan toilet wanita. Aku pikir dia hanya ingin ke kamar kecil. Namun, tidak lama kemudian dia muncul dengan wajah memelas.“Dia nggak ada di toilet juga,” ucapnya polos membuatku dan Dina serempak tertawa.Bocah ganteng ini sungguh benar-benar polos. Dia bisa dengan lugunya berpikir mereka berdua ada di toilet. Astaga, apakah benar ini orang yang sama dengan juara kelas yang kukenal dulu?“Yakali mereka ketemuan di t
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status