Tubuh Amora sangat lemah. Hanya semangat yang membuatnya terus berjalan menuju rumah sakit agar anaknya dapat lahir. Namun siapa sangka, ia mendadak melihat suami yang menghilang selama 5 bulan, justru di rumah sakit dan menemani wanita lain yang sedang hamil?! Wanita itu bahkan menuduh Amora sebagai wanita simpanan dan anaknya adalah anak haram..... Di sisi lain, Alvaro, seorang CEO kaya raya tengah mencari ibu sambung untuk putrinya.... Lantas, bagaimana nasib Amora selanjutnya?
View More"Sakit, ah sakit sekali...."
Amora yang terbaring di atas kasur tipis dengan perut besarnya--terus saja mengeluarkan rintihan kesakitan. Tubuhnya seperti sedang ditarik dua mobil yang berlawanan arah, hingga perut dan kaki seakan terpisah. Kontraksi kali ini begitu mengerikan. Wanita itu lantas memijat tulang punggung bagian bawah. Mencoba mengalihkan rasa sakit yang semakin mencekam. "Ya Tuhanku," desis Amora. Bayang-bayang sang suami yang berjanji untuk kembali ke rumahlah yang membuatnya bertahan. Ia tak berani pergi jauh dari kontrakan kecil ini--takut jika suaminya kembali dan tak dapat menemukannya. Tapi, lima bulan berlalu, Randy tak kunjung kembali.... Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Amora sampai harus bekerja serabutan di tempat laundry. Sayangnya, satu minggu lalu, seorang wanita yang mengaku sebagai pemilik rumah datang dengan marah-marah. Wanita itu menagih uang kontrakan! Padahal selama ini Amora mengira rumah kontrakan yang mereka tempati adalah milik keluarga Setiawan, keluarga suaminya. Katanya, Randy hanya membayar kontrakan 3 bulan, hingga Amora harus melunasi sewa 2 bulan terakhir. Tabungannya terus menipis, hingga beberapa hari ini, ia terpaksa meneruskan hidupnya dengan makan mie. Kuota internet pun tak dibelinya agar uang persalinan cukup di bidan. Ini persalinan pertamanya. Namun, Amora memang tak punya pilihan. Sebagai yatim piatu, tidak ada yang bisa dimintainya pertolongan. Tidak ada satu pun juga tetangga di kompleks yang jauh dari fasilitas apapun ini. Saking takutnya, Amora nekad menyiapkan air di dalam baskom dan juga gunting untuk memotong tali pusarnya sendiri bila harus melakukan persalinan pertamanya seorang diri. Entah harus dikatakan beruntung atau tidak, tetapi anaknya belum keluar, hingga malam ke-3 kontraksinya ini. "Nak, kamu baik-baik ya, mama mohon jangan tinggalkan mama. Kita akan hadapi ini bersama." Amora terus saja berbicara seakan dia ingin menenangkan dirinya sendiri. Hanya saja, udara kini begitu dingin. Tubuh kurus wanita itu menggigil hebat, seolah tak mampu lagi menahan dingin yang menusuk. Kembali, ia menghubungi suaminya meski setiap panggilan yang dilakukannya selalu berakhir sia-sia. Memanggil taksi pun tak berani karena takut uang tak cukup. Setelah berpikir sejenak, Amora akhirnya memutuskan untuk pergi dengan berjalan kaki ke rumah bidan. Tak lupa dibawanga kantong kecil yang berisi kain panjang 2 buah. Kain panjang ini diberikan ART yang bekerja di rumah keluarga Setiawan untuk menggendong bayinya nanti. Tidak disangka kain ini akan sangat bermanfaat untuk bedong calon anaknya. "Akhh..." Jalan licin selepas hujan serta gelap, membuat Amora harus jalan dengan sangat hati-hati. Namun, perutnya kembali terasa sakit. Jarak tempuh ke rumah bidan seharusnya 45 menit, tetapi langkahnya yang lambat membuat Amora masih di jalan walau sudah 1 jam. Amora menarik napas panjang. Dia tidak boleh menyerah! "Bertahan ya nak, itu rumah bidannya sudah kelihatan." Amora berkata sambil mengusap perutnya. Untungnya, ia pun akhirnya sudah sampai di rumah bidan! "Bu bidan, bu bidan bisa tolong saya?" Amora mengetuk-ngetuk pintu rumah bidan tersebut. Ia sadar di jam 2 pagi seperti ini, ibu bidan pasti sedang tertidur lelap. Namun, Amora tetap berusaha, hingga matanya tak sengaja menemukan bel di samping pintu. Ditekannya bel berulang-ulang kali hingga pintu rumah itu terbuka. "Ada apa?" tanya wanita dengan rambut digulung ke atas seperti orang yang baru bangun tidur. "Bu tolong, saya mau melahirkan." Amora berkata dengan bibir gemetar. Rasa sakit kontraksi membuat sekujur tubuhnya menggigil. Bidan itu memandang keluar sambil melirik ke kanan dan ke kiri. Setelah melihat tidak ada siapa-siapa, bidan itu bertanya, "Apa kamu datang sendiri?" Amora mengangguk kan kepalanya. "Ayo masuk." Bidan bertubuh tinggi itu langsung mengajak Amora masuk ke dalam kamar persalinan untuk memeriksa kondisi pasien. "Ini sakitnya sejak kapan?" tanya ibu bidan setelah mengetahui pasiennya yang sudah pembukaan 6. Darah juga sudah keluar cukup banyak. "Sudah 3 hari yang lalu bu, tapi sakitnya masih hilang-hilang timbul." jawab wanita berwajah pucat tersebut. Bidan bernama Ernawati itu diam mendengar penjelasan dari Amora. Selain sakit kontraksi Amora juga tidak makan makanan yang sehat dan bergizi. Sudah satu minggu ini ia hanya makan mie instan. Seharusnya ibu hamil tidak mengkonsumsi makanan cepat saji, karena tidak baik untuk janinnya. Namun Amora tidak bisa memilih, karena lambungnya harus diisi agar tidak mati. Bidan itu memeriksa kondisi Amora. "Pinggul kamu kecil, jadi kamu tidak bisa melahirkan secara normal. Ini pembukaan 6 sudah mentok nggak bisa naik lagi." Deg! Jantung Amora seakan ingin lepas dari tempatnya ketika mendengar perkataan ibu bidan. "Bu, Kondisi saya sangat sehat dan kuat. Saya yakin saya bisa melahirkan secara normal." "Tidak bisa dipaksa, kondisi kamu sudah lemah. Sebaiknya saya rujuk ke rumah sakit. Apa bisa hubungi suami kamu?" Bidan itu langsung menyarankan untuk rujuk rumah sakit. Bidan Ernawati tidak ingin mengambil resiko. Jika dipaksa maka ibu dan anak bisa tidak selamat. Sedangkan kondisi janin sudah mulai lemah. "Tapi saya nggak punya paket internet Bu apa boleh minta wi-fi-nya?" Amora berkata dengan sedikit malu. "Mana handphone-nya?" Amora memberikan handphone yang dia simpan di dalam saku bajunya. Bidan itu mengembalikan handphone Amora setelah memasukkan kode internetnya. Amora mencoba menghubungi suaminya di w******p. Satu kali panggilan masuk, tapi tidak dijawab. Amora pun kembali mencoba. Sayangnya, di panggilan ke-6, foto profil suaminya mendadak hilang. Amora terdiam. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Ia diblokir. "Bagaimana?" tanya bidan Ernawati menyadarkan Amora dari lamunan. Amora menggelengkan kepalanya. "Suami saya tidur Bu, teleponnya nggak diangkat." Sang bidan sontak membelalakan mata. "Suami macam apa ini, istri mau melahirkan dia malah sibuk. Bahkan nggak nggak mau angkat telepon?!" Amora hanya diam menyembunyikan kesedihan di hatinya. Padahal, kehadiran anak ini sudah lama mereka nantikan. Namun, mengapa suaminya justru berubah saat ia hamil? Kali ini, Amora pun mencoba menghubungi nomor handphone mama mertuanya. "APA KAU TIDAK ADA OTAK MENELPON PAGI-PAGI?" marahnya begitu panggilan tersambung. "Maaf mi..." Amora berkata sambil menahan rasa sakit di perutnya, "Amor cari mas Randy." "Cari Randy untuk apa? Lagi pula ngapain kamu cari dia? Asal kamu tahu ya, saya lebih senang Randy tidak ada hubungan lagi dengan kamu. Randy tidak menceraikan kamu, hanya karena kamu sedang hamil. Begitu kamu melahirkan, anak saya akan langsung menceraikan kamu." Deg! Jantung Amora seakan mau lepas dari tempatnya. Mengapa Mami mertuanya berkata dengan jahat ini? "Mi, tolong kasih tau mas Randy kalau aku--" "Kalau kamu sudah mau mati?" potongnya, "Sorry, kamu itu bukanlah menantu yang saya inginkan. Jadi jangan berharap saya peduli dengan kamu. Mau hidup atau mati, saya tidak mau tahu."Randy masih terduduk di kursi laboratorium. Tubuhnya gemetar. Matanya kosong, tapi dadanya sesak, seperti ada beban seribu kilo yang menghimpit.Ia memejamkan mata. Dalam pikirannya terputar ulang semua kata-kata yang pernah ia ucapkan. Dadanya terasa sangat sakit, ketika mengingat Dewi, yang memukul Amora, beberapa bulan yang lalu. Padahal Amora hanya berniat untuk mengambil barang-barang miliknya. “Aku monster,” bisiknya lirih.Perawat sudah meninggalkannya. Dokter Wahyu pun kembali ke ruangannya tanpa berkata sepatah kata pun. Randy dibiarkan sendiri, tenggelam dalam kubangan penyesalan.Namun, saat ia membuka matanya, napasnya berubah. Masih berat, tapi kini ada arah.Ia meraih ponselnya. Jemarinya bergerak cepat mencari nama Amora di daftar kontak. Tidak aktif. Ia mencoba nomor-nomor lama. Semua tak bisa dihubungi.Ia menghubungi rumah sakit tempat anaknya lahir. Operator hanya berkata bahwa pasien, sudah keluar sejak beberapa bulan lalu, tanpa memberi alamat jelas.“Tidak, jan
Randy duduk di kursi panjang lobi rumah sakit, matanya kosong menatap lantai.Adit baru saja pergi meninggalkannya setelah memberikan semua dokumen, dan juga kebenaran terakhir yang menghantam jiwanya tanpa ampun.Sebuah map cokelat masih ada di pangkuannya. Di dalamnya, hasil tes DNA resmi, catatan medis, dan salinan panggilan telepon dari rumah sakit.Tangannya gemetar saat membuka halaman demi halaman.Di kertas laporan itu tertulis jelas, tanggal, bulan serta tahun.Kondisi: Amora dalam keadaan kritis, pendarahan pasca kehamilan. Bayi berisiko kehilangan nyawa jika tidak segera dilakukan tindakan operasi caesar.Nama "Randy Sanjaya" tertulis di bagian "kontak darurat pertama. Suami pasien.Tidak merespons (4x), menolak panggilan (1x). Menjawab panggilan, dan mengatakan tidak perduli. Dewi Lestari, kontak darurat ke dua. Dihubungi sebanyak 3X”Randy mencengkeram rambutnya sendiri.Tubuhnya terbungkuk.“Apa yang sudah aku lakukan? Mengapa aku bisa sebodoh ini?” Randy memaki dirinya
Yurika melangkah masuk ke ruang perawatan dengan hati yang sedikit lebih ringan.Amora sudah dipindahkan dari ICU ke kamar rawat inap, sebuah pertanda baik bahwa kondisi wanita itu mulai membaik.Wajah Yurika lelah, tubuhnya letih.Namun rasa penat itu seketika sirna saat melihat Amora yang kini terbaring tenang di ranjang putih bersih, dengan selimut yang menyelimuti tubuhnya.Ia mendekat pelan.Duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan Amora yang masih dingin.Wanita muda itu tertidur pulas di bawah pengaruh obat penenang yang diberikan oleh tim dokter.Setelah siuman dari koma, Amora memang langsung disuntik penenang ringan.Dokter Bram khawatir tekanan darahnya melonjak bila Amora langsung menerima kabar yang mengejutkan, terutama soal kondisi Emran.Yurika menatap wajah pucat itu, lalu membisik pelan…“Amora, Emran selamat, Nak. Dia bertahan. Dokter mengatakan semangat hidupnya sangat tinggi. Dia memilih untuk tetap berjuang, demi kamu.”Air mata jatuh perlahan ke punggung tan
Pukul 16.00 tepat, lampu merah di atas ruang operasi menyala. Seluruh area disterilkan. Tidak ada suara lain kecuali langkah kaki para dokter dan denting alat medis. Emran, bayi berusia 67 hari, terbaring di meja operasi.dibaringkan dengan sangat hati-hati, seolah tubuhnya terbuat dari kaca. Tubuhnya mungil, wajahnya pucat. Monitor merekam detak jantungnya yang pelan dan tidak stabil. Lubang selebar 16 milimeter di bilik jantungnya telah membawa bayi ini berada di ambang hidup dan mati. Namun hari ini, perjuangan dilakukan dengan kekuatan penuh. Empat tim dokter dari tiga negara telah bersiap. Profesor Johns Crawford, ahli bedah jantung pediatrik dari Johns Hopkins Hospital, Amerika, dikenal karena kepiawaiannya menangani bayi dengan kelainan jantung ekstrem. Profesor Steven Jian, spesialis jantung anak dari SingHealth, Singapura, yang membawa serta teknologi pemantauan sirkulasi darah termutakhir. Profesor Irawan Mahendra, ahli bedah jantung senior dari Rumah Sakit Nasiona
Setelah Miranda pergi dari kamar dengan wajah kecewa, Randy terduduk di lantai. Tangannya menutupi wajah.Dadanya bergemuruh.Dia tidak tahu di mana Amora. Tidak tahu bagaimana kondisinya. Tidak tahu apakah dia, masih hidup atau tidak.Namun entah mengapa, hatinya mulai merasakan sesuatu yang asing.Firasat.Nyeri tak berdarah.Gelombang resah yang tidak berasal dari pikirannya, tapi dari jiwanya.Ia teringat tangisan bayi itu…terngiang lagu bintang kecil yang dinyanyikan dalam mimpi itu…dan tubuh kurus Amora yang perlahan menjauh darinya.“Amora,” bisiknya pelan. “Di mana kamu sekarang? Kamu, masih hidup, kan?”Ia menatap jendela yang mulai diguyur gerimis.Dan untuk pertama kalinya Randy menangis.Bukan karena kehilangan, tapi karena ia akhirnya sadar:Ia bukan hanya meninggalkan Amora,tapi juga anak mereka.Tiba-tiba saja tubuhnya bergetar hebat ketika membayangkan bahwa hasil tes DNA telah dimanipulasi oleh ibunya sendiri. Randy mengeluarkan handphone dari dalam vakum jasnya.
Zolin duduk tenang di kursi kecilnya sambil menatap wajah sang ayah yang masih belum membuka mata.Di pangkuannya, tergenggam sebuah gambar. Coretan tangan kecil dengan tulisan: "Zolin 🖤 Papa.""Daddy, sekarang sudah siang loh. Olin sudah makan, tapi tidak banyak. Jujur saja, rasa masaknya kurang enak." Gadis kecil itu berbicara dengan tersenyum, namun matanya berkaca-kaca. "Daddy, Daddy sudah lama sekali tidurnya. Daddy harus bangun. Agar bisa makan. Nanti Olin akan suapin Daddy makan." Zolin menggenggam tangan Alvaro dengan erat. Gadis kecil yang selalu terlihat kuat itu akhirnya menangis. Rasa takut yang luar biasa, rasa sakit karena melihat penderitaan ayahnya, membuat pertahanan Zolin runtuh. Air matanya mengalir deras. Sedangkan satu tangannya menutup mulut, agar sang ayah tidak mendengar suara tangisnya.Dan saat itulah…jari Alvaro mulai bergerak.Samar. Lambat. Tapi nyata.Zolin menoleh cepat.“Daddy?” bisiknya pelan, penuh harap.Kelopak mata Alvaro perlahan bergetar. Oto
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments