Home / Romansa / Cinta yang hilang / Ketua Kelas dan Sekretaris

Share

Ketua Kelas dan Sekretaris

Author: Andika
last update Last Updated: 2021-09-05 23:17:10

"Pagi ref," Dimas menyapa Refita yang sudah datang ke sekolah lebih awal dan telah duduk di bangkunya. Dimas pun menurunkan tas nya dan duduk di bangkunya yang berada di depan bangku Refita.

"Pagi," jawabnya singkat dengan senyuman dekiknya nan manis itu. Tidak seperti di chat W******p kemarin. Kini Dimas dan Refita sama-sama diam, sepi tak ada obrolan. Mereka lebih memilih membuka bukunya masing-masing dan menunggu jam pelajaran dimulai.

"Selamat pagi anak-anak," sapa Bu Sandra, guru mata pelajaran kimia yang sekaligus menjadi walikelas X MIPA 7. Tampilannya kini hampir sama seperti kemarin namun roknya berwarna sedikit kecoklatan dengan baju batik dengan corak simple dan designnya yang kekinian.

"Pagi hari ini kita akan menentukan siapa ketua, sekretaris dan bendahara di kelas ini," jelas Bu Sandra. Seisi kelas langsung terdiam, mereka saling tatap satu dengan yang lain. Seperti mencari siapa yang akan dijadikan korban untuk memimpin kelas X MIPA 7 ini.

"Oke, disini apakah ada yang mau menjadi ketua kelas?" tanya Bu Sandra mencoba untuk memberikan tawaran kepada murid-murid di kelas. Sontak semua langsung terdiam dan sedikit menundukkan kepala. Tidak ada yang berani untuk mengacungkan tangannya dan mengatakan.

"Saya Bu," tiba-tiba Dimas mengacungkan tangannya. Dia benar-benar berani dan percaya diri. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Mungkin dia sedang kerasukan atau dia memang tidaklah waras. Namun, tindakannya juga membuat teman-temannya lega. Pasalnya mereka sudah tidak perlu repot-repot mencari siapa yang akan dijadikan ketua kelasnya. Toh, sudah ada yang mengajukan diri.

"Oh iya, kamu murid pindahan dari bahasa yang baru masuk kemarin ya? Namamu Dimas ya?" tanya Bu Sandra sambil melihat buku presensi yang ia bawa dan melingkari no absen Dimas pada buku presensi itu.

"Iya Bu," jawab Dimas lantang dan tegas. Suaranya seolah dirinya sudah siap untuk melakukan pidato atau orasi di depan teman-temannya guna membakar semangat nonton bola.

"Baik, karena hanya kamu yang mengajukan diri, jadi kamu yang akan menjadi ketua kelasnya, selanjutnya silahkan maju ke depan dan tentukan siapa sekretaris dan bendahara untuk kelas ini," jelas Bu Sandra dengan panjang lebar. Dimas pun melakukan setiap perintah Bu Sandra. Ia mulai maju ke depan kelas, memperkenalkan dirinya untuk kedua kali dan menunjuk siapa yang menjadi sekretaris dan bendahara di kelas ini.

"Saya memilih Novia untuk menjadi bendahara di kelas ini", ujar Dimas dengan begitu berani sembari menunjuk Novia yang duduk paling depan dalam barisan tepat berhadapan dengan bangku untuk guru pengajar. Dimas yang memang belum banyak mengenal tentang mirid di kelas itu, ya hanya memilih orang-orang yang diketahui namanya saja. Kebetulan Dimas melihat buku Novia dan pada sampulnya terdapat tulisan Novia Ella Nazet. Jadi, Dimas ya asal tunjuk saja waktu itu.

"Untuk yang menjadi sekretaris, saya memilih... ," tiba-tiba terbersit sebuah imajinasi pada pikiran Dimas. Dia mengingat tayangan televisi yang ia lihat Minggu lalu. Dimana seorang bos sebuah perusahaan yang kemanapun dia pergi, dia selalu ditemani oleh sekretaris perusahaan itu. Kisah dalam televisi yang dilihatnya itu pun berakhir dengan manis dimana bos perusahaan itu menikah dengan sekretarisnya.

"Refita", begitu ujar Dimas setelah sedikit berfikir panjang. Ia pun membayangkan bagaimana dirinya akan selalu ditemani oleh Refita saat menjalankan tugas-tugasnya sebagai ketua kelas. Dari mengambil buku presensi, membawakan buku paket dari perpustakaan, hingga membeli sarana dan prasarana untuk kebersihan kelas. Dimas membayangkan betapa so sweet nya mereka nanti, kemana-mana berdua bagaikan baju yang kemana-mana selalu ditemani oleh celana.

"Hm, uhgk, uhgk, uhgk," Refita tiba-tiba tersedak dan batuk berkali-kali. Padahal dia tidak sedang makan dan minum apapun. Nampaknya ia kaget dengan keputusan Dimas yang memilihnya menjadi sekretaris. Refita sebelumnya bukanlah anak yang suka dengan organisasi-organisasi semacam itu. Dia merupakan anak pendiam yang memilih untuk menjadi biasa saja di kelas. Tiba-tiba kini dirinya harus menjadi sekretaris tanpa memiliki pengalaman sama sekali.

Dimas sendiri memilih Refita juga bukan tanpa alasan. Pasalnya, Dimas sebenarnya hanya mengenal Refita. Dia sama sekali belum mengenal murid-murid yang lain. Ia mengetahui Novia pun ya dari sampul bukunya. Tidak benar-benar mengenalnya. Jadi, selain karena Dimas ingin modus untuk sering berdua dengan Refita. Ya, karena Dimas tidak bisa menunjuk yang lain sebab ia tidak mengenalnya.

Setelah mengumumkan siapa saja yang menjadi bendahara dan sekretaris, Dimas pun dipersilahkan duduk oleh Bu Sandra dan pelajaran pun akan segera dimulai.

"Selamat ya kamu jadi sekretaris," ucap Dimas dengan senyum lebar di wajahnya. Refita tidak menjawab sepatah kata pun, ia bahkan juga tidak tersenyum sedikit pun. Wajahnya kini cemberut dan Refita nampak berbeda dengan ekspresi ketusnya itu. Sepertinya Refita kesal dengan ulah Dimas yang dengan seenaknya menunjuk dia menjadi sekretaris. Refita bahkan tidak diberi kesempatan untuk menolak. Dia harus menerima setiap keputusan Dimas meskipun itu berat baginya.

Kini Dimas pun juga seperti bingung dibuatnya. Ia mengira bahwa Refita akan senang dengan keputusannya. Namun malah sebaliknya, Refita terlihat begitu kesal. Wajah ketus Refita pun terus terngiang di pikiran Dimas sepanjang pelajaran.

"Dimas, kamu sedang melamun ya?" tanya Bu Sandra di tengah-tengah mengajarnya ketika melihat Dimas sedang melamun. Sebagai ketua kelas, wajar jika Dimas kali sering mendapatkan perhatian oleh Bu Sandra. Setiap apa yang sedang ia lakukan saat pembelajaran pasti akan dilihat oleh Bu Sandra. Dan ketika ada yang aneh dengan tingkah Dimas, tak segan-segan Bu Sandra untuk menanyakannya.

"Oh iya Bu, tidak ada apa-apa kok Bu," Dimas lantas terbangun dari lamunannya. Wajah ketus Refita yang selalu terbayang dalam pikirannya sontak hilang dan sekarang ia harus memandang sekeliling kelas yang kini sedang mengarahkan pandangannya kepada Dimas.

"Dimas, jangan melamun ya, fokus pada pelajaran, sekarang kamu ini ketua kelas," begitu jelas Bu Sandra. Memang inilah resiko menjadi ketua kelas. Selalu menjadi perhatian guru. Ketua harus selalu memiliki sikap yang baik sebagai contoh dan teladan untuk murid-muridnya. Jadi, Dimas tidak boleh sembarangan melamun di kelas seperti ini.

"Baik Bu, saya minta maaf Bu," jawab Dimas dengan memohon maaf kepada Bu Sandra. Dimas sebenarnya sudah sering menjadi ketua kelas sejak SMP. Jadi dia juga sudah tahu bagaimana menjadi ketua kelas yang baik. Tapi bagaimana lagi? Sekarang Dimas yang sedang jatuh cinta tiba-tiba dibuat galau oleh sikap wanita pujaannya yang tiba-tiba ketus kepadanya. Hati memang tidak bisa bohong. Sebagai insan biasa, ya wajar jika Dimas jadi galau seperti itu.

Singkat cerita, pelajaran pun berakhir dan sekarang sudah waktunya pulang. Sepanjang pelajaran Dimas sudah tidak mencuri pandang lagi kepada Refita. Sepertinya Dimas takut jika dia mencuri pandang kepada Refita, ia akan melihat wajah ketus Refita untuk kedua kalinya. Dimas juga masih belum bisa menghilangkan bayangan wajah ketus Refita dalam pikirannya. Niat hati ingin so-sweet sebagai pasangan ketua kelas dan sekretaris, eh malah jadi sobat ambyar kena wajah ketus Refita.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta yang hilang   Obrolan dengan Mita

    "Pagi kak," ucap Mita kepada Dimas saat baru datang di ruko Dimas. Mita melambaikan tangannya tanda sapaannya kepada Dimas dengan wajah tersenyum ramah. Kini Mita sudah bukanlah gadis cuek dengan muka datar yang selama ini Dimas kenal. Mita sudah menjadi gadis ceria dengan muka yang ekspresif. Entah apa yang sudah terjadi dengan Mita, tapi Dimas tetap mencoba bersikap biasa saja. "Pagi Mita, sini, duduk," Dimas pun menjawab salam Mita dengan ramah. Ia memberikan sebuah kursi supaya Mita dapat duduk disitu. "Paman yang kemarin belum kesini?" tanya Mita. Ia kembali menanyakan Rusli yang memang sampai sekarang belum juga datang. Kini Mita pun jauh lebih asik untuk mengobrol dengan sedikit berbasa-basi. "Belum Mit, sudah tiga hari ini paman nggak kesini," jawab Dimas. Raut mukanya pun sedih dan kepalanya tertunduk lesu. Sepertinya Dimas sudah merasa rindu kepada Rusli dan ingin segera bertemu dengan Rusli. Sikap Mita yang tidak cuek lagi itu pun membuat Dimas mau

  • Cinta yang hilang   Kesepian

    "Siang," sapa Mita kepada Dimas yang sedang melamun. Mita melambaikan tangannya tepat di hadapan Dimas yang pandangannya sangat kosong. Mita pun memberikan sedikit senyuman manis kepada Dimas. "Eh, siang, mau ambil lukisan ya?" ucap Dimas kaget. Ia pun terbangun dari lamunan panjangnya. Dimas pun sedikit kaget dengan Mita yang tak biasanya memberikan senyum tepat di depannya. "Iya," jawab Mita singkat. Dimas pun segera mengambil lukisan milik Mita yang sudah dibungkus dengan bingkisan yang menarik. Ide membungkus lukisan pesanan ini merupakan ide dari Rusli agar pelayanan Dimas terlihat lebih menarik. "Paman pelukis yang kemarin mana ya?" tanya Mita kepada Dimas. Dimas kali ini benar-benar heran kepada Mita. Tumben sekali Mita mau berbasa-basi menanyakan hal yang berada diluar tujuan utamanya, yaitu mengambil lukisan. "Eh, sudah dua hari paman Rusli tidak kesini," jawab Dimas. Sebenarnya sedari tadi Dimas melamunkan Rusli yang tak kunjung datang. Bias

  • Cinta yang hilang   Kemampuan Melukis Rusli

    "Aku tidak menyangka, paman bisa melukis," ucap Dimas kepada pamannya. Kini Rusli sedang melukis di rukonya, tempat Dimas biasa melukis. Rusli sebenarnya sudah tidak ingin melukis lagi, tapi kini dirinya harus menuruti permintaan Dimas yang memaksanya untuk melukis. "Ah, paman ya cuman bisa melukis, nggak jago," begitulah jawab Rusli merendah. Dimas pun hanya tersenyum karena memang Rusli bukanlah pelukis biasa. Bahkan lukisan yang Rusli buat saat ini pun benar-benar indah di mata Dimas. Sebuah lukisan yang menggambarkan suasana luar angkasa yang begitu menakjubkan dengan beebagai bintang yang tersebar di sana. "Oh iya, kemarin gadis itu tidak jadi datang ya?, Kapan dia mau kesini?" lagi lagi Rusli menanyakan tentang Mita kepada Dimas. Semenjak ketidakdatangan Mita di acara pameran itu, Rusli selalu menanyakan kapan Mita akan ke rukonya. Rusli seperti tak sabar ingin melihat bagaimana sosok gadis yang berani membayar mahal lukisan Dimas itu. "Eh, gak tau juga

  • Cinta yang hilang   Pameran

    "ini adalah karya paling berkesan bagi saya, lukisan wajah seseorang yang sangat saya cintai," terang Dimas kepada orang-orang yang melihat lukisannya. Kini Dimas dengan gagah memamerkan semua lukisannya. Tangannya menunjuk lukisan wajah Refita itu sebagai lukisan yang paling berkesan baginya. "Yang ini bagus ya kak," ucap salah seorang anak muda. Ia sepertinya sangat menyukai sebuah seni, khususnya seni rupa. Pengamatannya begitu detail, matanya berkeliaran menyusuri setiap aksen yang ada pada ruangan tersebut, hingga ia menemukan satu lukisan yang sangat hidup baginya. Lukisan tentang sebuah kelas yang diisi oleh banyak siswa yang sedang melakukan kegiatannya masing-masing. Itu adalah lukisan Dimas yang menggambarkan suasana kelasnya dulu. "Iya kak, itu adalah suasana kelas saya dulu, ketika saya masih SMA," begitu terang Dimas. Ia memang benar-benar melukisnya dengan nyata. Setiap wajah yang tergambar memiliki detail yang sangat bagus, dari lekuk tubuh, rambut hin

  • Cinta yang hilang   Harga yang Terlalu Mahal

    "Pagi Dim," sapa Rusli yang baru saja datang ke ruko tersebut. Tangannya menenteng sebuah kresek berisi nasi kotak. Seperti biasa Rusli selalu datang ke ruko itu setiap pagi dengan membawakan sarapan untuk Dimas. "Pagi paman," jawab Dimas tersenyum kepada Rusli. Dirinya tengah sibuk mengerjakan lukisan pesanan Mita yang akan diambil hari ini juga. Ternyata tidaklah mudah jika harus menggunakan background pantai yang sebelumnya memang tidak pernah dilakukan Dimas. "Ada pesanan?" tanya Rusli kepada Dimas sembari tangannya meletakkan nasi kotak tersebut ke meja yang berada di tepi ruangan ruko. "Iya paman," jawab Dimas singkat karena ia begitu fokus dengan lukisannya. Dia masih mengerjakan detail-detail lukisannya seperti batu karang ataupun manusia yang sedang bermain selancar. Apalagi dia juga harus dikejar waktu. "Eh, kamu nggak mau ikut pameran lukisan di graha?" lagi kata Rusli sembari ia menyodorkan sebuah selebaran kepada Dimas. "Apa

  • Cinta yang hilang   Gadis Cantik yang Menyebalkan

    "Halo, ini dengan Kakak Dimas?" sebuah suara yang keluar dari telepon Dimas setelah Dimas menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal tersebut. Dimas yang semula melukis pun menghentikan kegiatan melukisnya dan meladeni telepon itu. "Iya, saya Dimas, ini dengan siapa ya?" Balas Dimas sopan dengan nada suara yang merendah. Bisa jadi itu adalah orang yang akan memesan jasa lukisannya. "Kakak dimana? Sudah tidak melukis lagi ya?" ucap orang dalam telepon itu yang sepertinya seorang gadis muda jika didengar dari suaranya. Gadis tersebut pun langsung menanyakan keberadaan Dimas tanpa sedikit basa basi. Bahkan pertanyaan tentang siapa dirinya tidak dihiraukannya. "Oh iya kak, saya sekarang masih tetap melukis kok, hanya saja sudah tidak di jalanan lagi, kalau kakak mau kesini, nanti saya kirim i alamat baru saya ya kak?" Begitulah ucap Dimas halus dengan menjelaskan kejadian sebenarnya. Dia pun tidak memikirkan siapa gadis dibalik suara itu. Nanti jika bertemu Dima

  • Cinta yang hilang   Ruko Baru

    "Selamat pagi paman," ucap Dimas yang baru saja datang di ruko milik Rusli tersebut. Dimas membawa ransel besar yang ia tanggalkan di punggungnya dan dua kardus besar yang berisi gulungan lukisan-lukisannya. Waktu itu Rusli sedang duduk di dalam ruko yang terlihat sangat kotor karena lama tidak dipakai. "Pagi Dimas, masuk sini Dim, tapi barang-barangmu kamu taruh diluar saja, rukonya belum dibersihkan soalnya," kata Rusli menjawab salam dari Dimas. Rusli pun menyuruh Dimas untuk menaruh barang-barangnya diluar ruko saja agar tidak terkena debu saat nanti rukonya dibersihkan. "Baik paman, rukonya biar saya saja yang membersihkannya paman," ucap Dimas setelah menaruh barang-barangnya dan langsung merebut sapu yang sedari tadi dipegang oleh Rusli. "Jangan seperti itu Dimas, kali ini kita membersihkannya bersama-sama, biar cepat selesai dan kamu cepat bekerja," begitulah ucap Rusli yang kini terlihat lebih bijak daripada Dimas. Kata-katanya sangat masuk akal mesk

  • Cinta yang hilang   Harapan Baru

    "Kamu sedang apa Dimas?" ucap Rusli yang menemui Dimas sedang duduk di bangku panjang di taman kota Bandung. Rusli menepuk pundak Dimas dari belakang dan Dimas pun menoleh ke arah belakang. "Eh paman, silahkan duduk paman," bukannya menjawab pertanyaan Ruslan, Dimas malah mempersilahkan Rusli untuk duduk disampingnya yakni di bangku panjang berwarna putih itu. "Kamu nggak kerja Dim?" tanya Ruslan yang heran melihat Dimas saat ini. Tak biasanya Dimas seperti ini, Dimas yang rajin bekerja kini malah hanya duduk diam di taman tanpa melakukan suatu pekerjaan apapun. Dimas tak membawa alat lukis apapun baik itu cat air, kuas maupun kanvas. "Nggak paman, saya mau cari tempat mangkal baru paman," ucap Dimas kepada Ruslan yang kini sudah duduk di sampingnya. Pandangan Dimas pun kosong seperti masih bingung dengan apa yang akan ia lakukan. Dimas sebenarnya ingin menyewa lapak saja agar tidak usah khawatir jika sewaktu-waktu ada razia. Tapi dirinya tidak punya cukup ua

  • Cinta yang hilang   Jatuh Tempo

    "Halo nak, apa kabar nak?" tanya Sonya, ibu Dimas di telepon. Kini Dimas sedang di kamar kosnya dan sudah dua hari Dimas masih belum mendapatkan tempat untuk ia kembali bekerja sebagai pelukis lagi. Uang yang Dimas miliki pin semakin menipis dan harus segera mendapatkan pesanan lukisan ke dirinya lagi. "Iya Bu, Dimas baik Bu," jawab Dimas berusaha memberikan kabar yang menenangkan ibunya. Dimas tidak ingin membuat ibunya khawatir akan keadaannya yang sebenarnya tidak baik-baik saja. Ini merupakan telepon keduanya setelah Dimas memtuskan hidup di Bandung. Sudah hampir dua bulan Dimas ada di Bandung dan ia pun berhasil bertahan hidup dengan gaya yang sederhana. "Gimana pekerjaanmu? Banyak yang pesan?" lagi, tanya Sonya. Ia ingin memastikan bahwa anak satu-satunya dalam keadaan yang baik-baik saja. Kini Sonya pun juga masih bekerja keras di rumah dan menyisihkan penghasilannya untuk ditabung. "Lancar Bu, meskipun yang pesan nggak terlalu banyak, tapi uangnya sud

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status