Berawal dari Seorang Sekar yang masuk ke sekolah musuh abangnya. Setiap hari dia harus selalu waspada sampai akhirnya musuh mengetahui keberadaannya. Keadaan semakin pelik karena musuh abangnya sudah terlanjur mencintainya. Shaka maju selangkah dan mencondongkan tubuhnya kemudian berbisik di telinga Sekar. "Kasih gue satu alasan logis kenapa lo selalu menghindari gue." "Gue gak butuh alasan kalau mau jauhin seseorang." Sekar menolehkan wajahnya. Matanya terpejam. Shaka menaikkan sudut bibirnya. "Dan gue gak punya alasan untuk berhenti mengejar seseorang." Sekar melototkan matanya. Gadis itu berdecak. "Kenapa sih lo selalu ganggu gue!" "Gue gak ganggu. Gue lagi usaha jadi pacar lo." Shaka tersenyum manis. Tangannya menepuk-nepuk puncak kepala gadis itu.
Lihat lebih banyak"Argghhh... Tolooong...."
"Tolooong... Siapa pun tolong." Di suatu pagi yang cerah terdengar jeritan seorang perempuan muda dari sebuah bangunan berlantai dua. Tubuh perempuan muda itu sedang digotong oleh gerombolan pemuda menuruni tangga dari lantai atas. Masing-masing memegangi tangan dan kaki perempuan itu. Dua orang lainnya berjalan paling belakang dengan tangan terlipat di dada. Perempuan itu menatap nanar enam pemuda itu. Air matanya menggenang. Dia melihat orang-orang di sekitarnya yang hanya melihat dari samping tanpa berniat menolongnya. Mata perempuan itu bertemu dengan salah satu dari mereka. Laki-laki itu segera menunduk. Perempuan itu mengepalkan tangannya. Dia menggigit bagian dalam bibirnya. "Lepasin Sekar~" Sekar, gadis itu memohon. Suaranya serak karena terlalu banyak berteriak. Matanya menatap orang-orang yang tengah menggotongnya. "Diam!" Pemuda yang memegangi tangan kanan Sekar melototinya. Sekar mengalihkan pandangannya sambil meringis. "Tangan Sekar sakit." Air matanya tak sengaja jatuh. Pupil pemuda itu membesar. Dia refleks mengendurkan cengkeraman tangannya. "Jangan sampe lecet." Salah satu dari dua lelaki yang berjalan di belakang mereka berdecak. Keempat pemuda itu mengangguk. Pemuda yang memegangi tangan kiri Sekar mendelik tapi tangannya tak urung mengendur juga. Sekar menggeliatkan tubuhnya. Dia menarik tangannya dan menendang-nendangkan kakinya. "Leppaaas!" "Diem kalo gak mau jatoh!" Orang yang memegangi tangan Sekar melototinya sekali lagi. Tangannya mencengkeram erat sebelum detik berikutnya kembali mengendur. Sekar bungkam. Bibirnya bergetar. Mata gadis itu kembali berembun. Dia sekuat tenaga menahan butiran bening yang ingin merangsek keluar dari sudut matanya. Dia sedang lelap-lelapnya tidur saat beberapa orang dengan paksa membuka kamarnya dan membawanya entah ke mana. Dua orang di belakang empat orang yang menggotong Sekar tertawa jahat. "Bawa ke belakang!" Sekar melotot karena perintah orang itu. Apalagi saat komplotan penjahat itu sudah berbelok ke arah bagian belakang rumah. Wajah Sekar pias. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia semakin liar menggerakkan tangan dan kakinya. "Gak. Sekar gak mau. Kalian orang-orang jahat. Lepasin Sekar! Ibuuu, anak ibu mau diculik huaaa~" Sekar terus menggerakkan kaki dan tangannya. Namun tidak peduli sekuat apapun dia berusaha, tenaganya tidak ada apa-apanya untuk empat orang itu. "Hahaha lo gak akan bisa selamat kali ini! Gak akan ada yang nolongin lo!" Orang yang memegangi kaki kirinya tersenyum menyeringai. Kumisnya yang tipis di atas bibir bergetar. Sekar merinding melihatnya. "Ibu! Ibu! Sekar gak mau sama penculik jelek huaaa~" "Nah udah sampe nih." Ketua dari komplotan itu mendekati Sekar yang sudah diturunkan meski tangannya masih dipegangi. Orang itu menyeringai ke arah Sekar. Sekar refleks menjauhkan kepalanya saat orang itu ingin menyentuhnya. Pemuda itu terkekeh kemudian menepuk-nepuk kepala Sekar. "Kali ini lo harus terima hukuman lo!" "Lempar!" perintahnya kemudian. "Sekar ga-" Byurr Tubuh Sekar dilemparkan ke tengah kolam renang yang ada di depannya. Punggungnya terasa panas karena lemparan itu dan sedetik kemudian berganti rasa dingin air kolam yang menusuk sampai ke tulang. Terdengar tawa dari komplotan itu. Sekar menggigil kedinginan di tengah-tengah kolam. Giginya bergemelatuk. Sekar menatap mereka di atas yang sedang menertawakannya. Semuanya penghianat. Sekar mengepalkan tangannya di dalam air. Ketua dari orang-orang di pinggir kolam itu berjongkok dan menjulurkan tangannya ke arah Sekar saat Sekar berenang ke tepian. Bibirnya menyunggingkan senyum hingga memperlihatkan lesung pipinya. "Gak usah sok baik!" Sekar menepis tangan pemuda itu yang ingin membantunya untuk naik. Dia memegangi pegangan tangga dan keluar dari kolam renang dengan tubuh gemetar. Uap panas mengelilingi tubuhnya yang menggigil. Gadis itu memeluk tubuhnya sendiri. Giginya bergemelatuk. Air menetes dari pakaiannya yang basah kuyup. Si pemuda ketua mengambil sebuah handuk bersih dan hendak menyampirkannya ke bahu Sekar tapi gadis itu segera menggeser tubuhnya. Matanya menatap bengis. "Sekar gak butuh." Katanya tajam. Pemuda ketua itu menghela nafasnya. "Nanti lo sakit, Kar." Katanya. Suaranya menjadi lebih lembut. Dia ingin menyampirkan handuk itu lagi tapi Sekar segera menepis tangannya. "Hati Sekar udah sakit karena bang Kay!" Sekar cemberut. Bibirnya sudah monyong-monyong. Pemuda ketua itu, Kayden, terkekeh diikuti oleh lima temannya. Wajah Sekar masam. Dia melototi keenam orang itu sebelum berjalan kembali ke kamarnya. Pakain basahnya mengotori lantai. Sekar tersenyum. Anggap saja itu balasannya untuk mereka. *** Lima belas menit kemudian Sekar turun dengan seragam sekolahnya yang berwarna hitam dengan aksen kotak-kotak untuk bawahannya sedang atasan gadis itu mengenakan vest maroon yang melapisi seragam putihnya. Dia mengangkat dagu tinggi-tinggi saat melewati enam pemuda yang mengenakan seragam putih dengan bawahan berwarna abu-abu. Kayden tersenyum manis dan menarik kursi tepat di sampingnya. "Sarapan. Gue beli nasi uduk tadi di depan." Sekar mengerucutkan bibirnya tapi dia tetap duduk di sebelah orang itu. Pemuda itu tersenyum. Tangannya menepuk sayang puncak kepala Sekar. "Gue yang beli." Pemuda berkumis tipis yang duduk di seberang Sekar berdesis. Dia mengambilkan satu bungkus nasi dari dalam plastik ke atas piring dan menyodorkannya pada Sekar. "tapi duit gue!" Kayden menatap sebal si kumis tipis. Si kumis tipis menggaruk kepalanya malu. Dia lalu menyodorkan sendok dan garpu untuk Sekar. "Ini, Cintah~" Sekar mencebikkan bibir kesal sambil menerimanya. "Besok kumis bang Jono Sekar cukur sampai habis!" Si kumis tipis, John, terdiam. Dia memegangi ujung kumisnya yang tipis. Sekar tak memperhatikannya lagi. Dia mulai memakan nasi uduknya dengan tatapan ganas. Bunyi sendoknya terdengar nyaring bergesekan dengan piring. "Apa?" Sekar melototi enam pemuda itu yang dari tadi memperhatikannya. Kayden terkekeh. Dia lalu menambahkan ayam goreng miliknya ke piring Sekar. Sekar menancapkan garpu ke paha ayam pemberian orang itu dan menyobek-nyobek daging itu dengan ganas sebelum memasukkannya ke dalam mulut. Sekar mengunyah daging ayamnya sambil terus memandangi Kayden. Dalam bayangannya, pemuda itulah yang sedang dia telan bulat-bulat. Kayden menggeleng kemudian menepuk puncak kepala Sekar. Dia lalu memindahkan tahu dan tempe goreng miliknya, tapi Sekar menggeleng. "Mau ayam lagi." Sekar melirik daging ayam di piring John di depannya. Sedetik kemudian garpunya sudah bersilaturahim ke piring pemuda itu dan berhasil pulang memboyong sepotong paha ayam. Wajah Sekar masih galak, tapi dalam hati dia sudah bersorak karena sudah dapat dua ayam goreng ekstra. Mata John berkedut. Kumis tipisnya juga naik sebelah. Dia memandangi ayam gorengnya yang sudah berpindah piring dengan sedih. "Apa? Gak ikhlas?" Sekar melototinya. John menggelengkan kepalanya dan memaksakan senyum. Bulu kuduknya meremang. Hawanya seperti sedang dipelototi mamaknya di rumah. "G-gue tambahin." John tergagap sambil memanjangkan tangan menjangkau sesuatu di atas piring pemuda yang duduk bersebelahan dengannya. Pemuda itu melongo melihat ayam gorengnya dicuri di bawah hidungnya sendiri. 'Ayam gorengnya yang nikmat.' Sekar tersenyum lebar melihat tiga paha besar ayam yang menumpuk di piringnya. Yes, tiga ayam goreng ekstra. Mata Sekar berbinar. Kepalanya bergoyang ke kiri ke kanan sembari menikmati sarapannya. Sekar makan dengan khusyuk mengabaikan tatapan enam pemuda itu yang menatapnya berbeda-beda. "Aak..." Sekar bersendawa dan mendorong piringnya yang telah kosong ke samping. Dia kemudian mengelus perutnya yang sedikit buncit pagi ini dengan hati puas. Senyumnya secerah matahari di hari itu. "Aduh lupa!" Sekar menepuk dahinya. "Bang Kay sama yang lain berangkat duluan aja deh. Sekar lupa ada buku tugas yang belum disiapin. Sekar ke atas du-" ucapan dan langkah Sekar terhenti karena seseorang menahan kerah belakang seragamnya. Sekar melihat Kayden lah pelakunya. "Bang Kay~" Sekar menatap melas pemuda itu. "Lo kagak ada tugas. Sean yang bantu beresin buku lo tadi." Sekar bungkam. Ia tak bisa berkata-kata untuk menyanggah ucapan Kayden. Dia hanya bisa kembali duduk di samping pemuda itu. John terbahak-bahak dari tempatnya. "Kicep kan lo kalo udah berhadapan sama Sean. Sok-sok mau ngibulin sih!" Sekar mencebik kesal. Mulutnya sudah terbuka untuk membalas tapi begitu tatapannya bersirobok dengan Sean, Sekar langsung menundukkan kepala. Dia menelan kembali kata-katanya yang sudah di ujung lidah. Kayden terkekeh. Dia lalu mengangkat dagu dan mereka berlima sudah tahu apa yang harus dilakukan. John dan satu pemuda lagi dengan semangat langsung memegangi masing-masing tangan Sekar. Mereka masih tidak ikhlas perihal ayam goreng mereka yang raib di depan mata. Sementara Sean dan seorang lagi memegangi kaki Sekar. Sekar kembali digotong persis saat dilempar ke kolam renang tadi pagi.Dimas terkekeh dan menyingkirkan telunjuk Dewo yang menunjuk ke arahnya. "Jangan bilang kau juga tidak tau bahwa Sekar ke Paris dua bulan yang lalu." Mata Dewo berkilat kaget sekilas. Setelahnya dia berusaha terlihat normal. Tapi Dimas menyadari reaksi awalnya. Pria itu tersenyum sinis. Dia membuka galeri di ponselnya dengan menunjukkan rekaman singkat seorang gadis yang nampak mengerucutkan bibirnya. "Ayah Dimas." Ucap gadis dalam video. Mata Kayden dan Gio berkilat mendengar suara itu. Dan mereka bisa membayangkan wajah masam Sekar yang melakukannya di bawah paksaan orang lain. Dimas menjauhkan ponselnya saat tangan Dewo ingin menjangkaunya. Dewo naik pitam melihatnya. "Kau tidak bisa memaksa anak gadis orang lain untuk memanggilmu ayah." "Kenapa tidak bisa! Lagipula dia terlihat senang-senang saja, tidak ada ketegangan. Asal kau tau saat itu dia sedang meminta ditraktir makan di restoran favoritnya, padahal sepanjang jalan dia sudah memalakku untuk membayar semua street food
"Kar~" Suara Kayden parau. Dia langsung memeluk Sekar erat-erat. Gio ikut memeluk kedua orang itu. "Lo harus secepatnya ingat gue, Kar. Gue sama Gio nunggu lo. Kita selalu nunggu lo." Kayden menepuk-nepuk pucuk kepala Sekar. Dia tidak peduli lagi meski pandangannya sudah kabur karena air mata. Gio ikut mengusap bahu Sekar. "Lo harus sehat-sehat di sana. Harus pinter jaga diri. Gak ada gue sama Kayden lagi yang bisa jagain lo." Gio mengusap air matanya. Sekar menatap dua orang itu yang sama sama menangis. Hati Sekar campur aduk. Matanya ikut panas dan akhirnya menjatuhkan bulir-bulir bening. "Cepat pulang. Abang-abang lo nunggu di sini." Kayden mengusap air mata di wajah Sekar dengan hati-hati. Dia lalu mengecup kening gadis itu. Juga dua kelopak matanya. "Gue selalu nunggu lo di sini. Baik-baik di sana, ya~" pintanya. Sekar mengangguk tanpa sadar. Hatiny
"Karena abang pencopet." Sekar menampakkan raut kagetnya. Petra mengusap lagi air matanya. "Karena bang Pepet udah mencopet hati Sekar." Petra berusaha tersenyum. Sekar ikut tersenyum. "Bang Pepet lucu." Petra menganggukkan kepalanya. Tangisnya semakin hebat. "Kalo aku kamu ingat? Pokoknya harus ingat." Sean maju. Belum apa-apa matanya sudah berembun. "Bang Sean, kan?" Sekar tersenyum. "Gak pakai abang. Kamu biasanya manggil aku Sean aja. Gak ada abangnya." Sean mengusap air matanya. Sekar mengernyit. "Bang Sean kan seumuran bang Kayden? Kenapa Sekar gak panggil abang kayak yang lain?" Sekar menoleh pada Kayden yang dari tadi hanya diam. Mata pemuda itu paling sembab. "Bang Kayden," panggil Sekar karena Kayden hanya diam saja. "Kita semua bahkan gatau k
"Besok saya ingin membawa Sekar pulang berobat di Paris." "Om?" Shaka membeku. Dia takut salah mendengar sebelumnya. "Shaka gak salah denger, kan, om? Om gak mungkin mau bawa Sekar ke Paris, kan?" Keheningan di seberang sana sudah menjawab pertanyaan Shaka. Pemuda itu tanpa sadar mundur selangkah. Dia memegangi tembok di sebelahnya. "Om, Shaka yakin Sekar masih bisa disembuhkan di Indonesia. Shaka akan cari rumah sakit yang lebih baik lagi. Dokter yang lebih hebat lagi. Sekar tidak harus dibawa ke Paris, om. Lagipula Sekar baru siuman, om." Louis menghela nafas berat. "Shaka, dengarkan saya. Saya melakukan ini demi kebaikan Sekar. Saya tau pengobatan di Indonesia juga baik. Banyak rumah sakit maju dan dokter yang ahli di bidangnya. Tapi ini sudah dua minggu sejak Sekar siuman. Kesehatannya tidak memiliki banyak kemajuan." Shaka terdiam. Dia ingin menyangkal kata-kata Louis tapi tidak ada suara yang terucap. Dia juga terbayang saat Sekar merintih kesakitan merasakan semua luka
"Kagak ada nanti. Gue gak izinin lo nemuin Sekar sampai kapan pun!" Kayden memotong ucapan John. Kakinya kembali hendak menerjang ke depan. "Kay! Kay!" John berdiri di depan Kayden untuk menghalangi. Dia memegangi bahu Kayden dan memaksa pemuda itu untuk memasuki ruang rawat Sekar bersamanya. Gio memandang pintu ruang rawat Sekar yang sudah tertutup dari dalam. Pemuda itu lalu berjalan mendekati Bagas. Matanya menatap dari pucuk kepala hingga ujung kaki Bagas. Sudah berapa tahun mereka tidak bertemu. Jika bukan karena suara Bagas yang tidak berubah, Gio tidak akan mengenali wajah di balik cambang tebal itu. "Lo sebaiknya pulang, bang. Kayden gak akan ngizinin lo liat Sekar buat sekarang. Cowok itu keras kepala." "Gue tau semua ini terjadi karena gue. Gue nyesel, Yo." "Lo ninggalin banyak masalah buat kita semua di Indo, bang." Gio tersenyum miris. "Gue dan yang lain gak pernah berenti nyari lo selama ini, tapi semuanya sia-sia. Lo gak bisa ditemuin di manapun. Lo emang niat ba
Oda mengangguk. "Saya juga tidak berniat melepaskan bajin-gan itu begitu saja dan menyerahkannya ke polisi. Masalahnya Shaka sudah menyerang tempat persembunyian mereka sendirian dan hampir membakar seluruh bagian rumah itu dan telah menarik perhatian warga sekitar. Orang-orangku juga mengatakan Daniel beserta anak buahnya sudah tidak terlihat di sana. Mereka pasti sudah kabur duluan saat mengetahui Sekar tertabrak. Sekarang polisi sudah terlanjur tau." "Masalah itu biar nanti Kayden yang ke kantor polisi. Kita pasti bisa nemuin Daniel, bang. Sean sama yang lain udah turun nyari mereka. Beberapa geng motor lain yang deket sama Fonza juga ikut turun tangan." "Gue juga udah nyuruh Jovi sama anak-anak buat ikut nyari keberadaan Daniel, Kay." Gio yang sedari awal diam juga ikut bersuara. Kayden memperhatikan wajah Gio yang sembab dan mengangguk. "Thanks." Katanya pelan. "Tapi saya sangsi keberadaan orang itu mudah ditemukan.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen