Alesha menarik napas panjang, tubuhnya masih terasa segar setelah mandi, meskipun ia sempat merasa aneh mandi tanpa sabun dan sampo. Air yang dingin, kain tipis yang menempel di kulit, dan tangan Arya Wuruk yang tadi dengan tenang membantu membilas rambutnya, semuanya masih menempel jelas dalam ingatan.
Syukurlah, pikirnya, ia ditemukan oleh lelaki ini—seorang raja dengan wibawa—dan bukan oleh bandit-bandit yang bisa saja menjarah atau melukainya. Saat menengadah tanpa sengaja, matanya terpaku. Langit malam di atas Majapahit terbentang luas, gelap namun penuh cahaya. Bulan menggantung bulat sempurna, memantulkan sinar keperakan yang jatuh lembut di wajah dan rambutnya. Bintang-bintang bertaburan seakan dilemparkan begitu saja di kanvas hitam pekat, berkelip seperti permata yang tak terhitung jumlahnya. “Gila… langit malamnya udah kaya lukisan…” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. Ia tidak sadar, di sampingnya, Arya Wuruk sedang menatap wajahnya. Raja itu tidak mengerti arti kata-kata asing yang keluar dari bibir Alesha, tapi ia mengerti makna tatapan mata itu—mata seorang gadis yang kagum, yang untuk sesaat lupa rasa takutnya. Senyum tipis terbit di wajah Arya tanpa ia sadari, senyum yang lahir hanya karena melihat gadis asing itu tersenyum. Namun keindahan itu tak berlangsung lama. Pikiran logis Alesha tiba-tiba menampar dirinya sendiri. Astaga, habis mandi… aku pakai apa? Ia menunduk panik, menyadari baju yang tadi ia kenakan sudah kotor dan penuh noda. Dengan kikuk ia mulai menggunakan bahasa tubuh—menarik-narik kain basah di tubuhnya lalu menunjuk ke arah dirinya sendiri. “Clothes… baju… ganti…?” katanya terbata, berharap raja itu paham. Arya hanya menatap sejenak, lalu berjalan ke dalam, mengambil selembar kain panjang berwarna merah marun yang dilipat rapi. Ia memberikannya begitu saja, seakan itu hal paling wajar. Di abad ke-14 ini, pakaian memang bukan jahitan modern, melainkan lembaran kain besar yang dililit, disampirkan, atau diikat sesuai kebutuhan. Alesha menerima kain itu, wajahnya langsung merona. Ya ampun… bra dan dalaman juga nggak ada! Masa aku cuma pakai ini doang? Otaknya berputar cepat, naluri seorang auditor yang biasa mencari solusi praktis kini dipakai untuk hal yang sama sekali berbeda. Ia meraih ujung kain, lalu menoleh ke sekeliling. Matanya terpaku pada sebuah belati berukir yang terselip di pinggang Arya. “Ehmm… ini, aku… pinjam ya,” katanya, sembari menunjuk pisau itu dengan gerakan tangan memotong. Arya mengernyit sejenak, lalu mengangguk pelan. Ia belum tahu apa yang ingin dilakukan gadis ini, tapi kepercayaan aneh mulai tumbuh dalam dirinya. Dengan hati-hati Alesha mengambil belati itu, lalu mulai menggunting kain—lebih tepatnya merobek dengan bantuan pisau. Hatinya deg-degan, tangan agak gemetar, tapi wajahnya serius. Ia berhasil membuat potongan kecil yang kemudian dibentuk menjadi semacam celana dalam sederhana dengan tali di samping. G-string darurat, buatan abad 14 versi modern. Saat ia hendak mengenakannya, Alesha buru-buru mendorong tubuh Arya agar membalikkan badan. “Hey, jangan lihat… sana, hadap belakang,” katanya sambil mendorong punggungnya. Arya sempat kaku sejenak, lalu menuruti. Bahunya terguncang ringan, menahan tawa kecil yang tak pernah ia tunjukkan di depan siapa pun. Tingkah gadis ini benar-benar asing sekaligus menghibur. Begitu ia selesai, Alesha menyelubungkan kain panjang sisanya, melilitkannya di tubuh hingga menyerupai gaun sederhana—model backless, menampakkan punggung mulusnya. Meski hasil kreasinya sedikit aneh untuk ukuran Majapahit, tetap saja gaun itu jatuh indah di tubuhnya. “Aku… selesai,” katanya, sedikit malu. Arya berbalik. Matanya sempat terhenti, menilai. Ia tahu ini bukan cara biasa orang Majapahit berpakaian, tapi hasilnya justru membuat kecantikan gadis itu semakin menonjol. Ada keanggunan asing yang tak bisa ia jelaskan, seperti bunga yang tidak pernah tumbuh di tanah Jawa. Untuk sesaat, keheningan menyelimuti mereka. Alesha menunduk, merasa canggung dengan cara raja itu menatapnya. Arya, di sisi lain, menyembunyikan debar yang jarang ia rasakan. Tanpa sepatah kata pun, ia lalu mengulurkan tangan, memberi isyarat agar Alesha mengikutinya. Gadis itu ragu sejenak, lalu meraih tangan itu. Hangat, kokoh, penuh wibawa. Mereka berjalan kembali ke ruang rahasia di bangsal raja, meninggalkan paviliun kecil itu. Suara malam mengiringi langkah mereka, angin berhembus lembut, dan bintang-bintang seakan menjadi saksi pertemuan dua jiwa dari dua dunia yang tak pernah seharusnya bersatu.Suasana hutan mulai mereda. Burung-burung kembali bernyanyi setelah dentum panah berhenti, dan sinar sore menyelinap di antara dahan. Para pengiring sibuk mengangkut hasil buruan, sementara Arya Wuruk dan Gaja Mada menuntun kuda mereka perlahan keluar dari hutan.Angin sore menyapu wajah Alesha, tetapi jantungnya belum juga tenang. Ia masih bisa merasakan sisa hangat napas Arya di tengkuknya, seolah tadi bukan sekadar kebetulan.Dalam diam yang terasa menyesakkan, suara tenang Arya akhirnya memecah udara. “Pamong muda yang kini menjadi bendahara ibukota… tentu sudah memiliki rumah dinas, bukan?”Alesha menelan ludah. Pertanyaan menjebak… Dengan suara yang ia usahakan tetap datar, ia menjawab, “Hamba… masih tinggal di rumah dinas pamong muda, Paduka. Rumah dinas bendahara ibukota belum kosong. Keluarga bendahara sebelumnya masih bersiap pindah.”Arya melirik sekilas, matanya dalam dan sulit terbaca. “Begitu. Jadi, seorang bendahara ibukota masih tidur di rumah pamong? Kedengarannya
Suasana hutan sore itu seolah menahan napas. Bayangan pepohonan jatuh memanjang di tanah, angin membawa bau dedaunan basah. Seekor rusa terkapar, tubuhnya sudah tak bergerak, tapi ketegangan justru semakin memuncak.Arya menatap pemuda di hadapannya dengan penuh selidik. Gaja Mada—atau siapa pun dia sebenarnya—duduk di atas kuda yang begitu dikenalnya. Hatinya mendidih oleh kecurigaan, namun wajahnya tetap dingin.“Dari mana kau mendapat kuda ini?” tanya Arya lagi, nada suaranya tenang tapi tajam seperti bilah keris.Alesha berusaha mengendalikan napasnya, otaknya berpacu mencari jawaban. “Kuda ini…” ia menunduk sedikit lebih dalam, menyembunyikan mata yang hampir bergetar, “ayahku, Mahadeva, membelinya dari seorang pedagang yang katanya menerima langsung dari seorang gadis bangsawan.”Sejenak hening.Arya mengangkat sebelah alisnya, sorot matanya jelas menyiratkan ketidakpercayaan. Namun bibirnya melengkung tipis, pura-pura percaya. “Seorang gadis bangsawan, katamu?” ia mengulang per
Hutan perburuan di tepi Trowulan dipenuhi aroma tanah basah. Embun masih menggantung di ujung dedaunan, sementara sinar matahari pagi menembus celah-celah rimbunan pohon, membentuk garis cahaya yang berkilau. Suara burung dan gemerisik ranting patah menjadi irama yang tak pernah berhenti.Arya Wuruk, dengan pakaian sederhana seorang raja dalam balutan busana berburu, menunggang kudanya yang gagah. Di belakangnya, para pengawal dan bangsawan mengatur jarak, menjaga formalitas namun memberi ruang pada sang raja untuk bebas bergerak.Di sisi lain, Gaja Mada—yang sesungguhnya adalah Alesha—tampak menunduk penuh hormat sebelum menaiki kudanya. Jubah samar, penutup wajah, serta ikat kepala menutupi hampir seluruh identitasnya, hanya menyisakan sepasang mata dan kening yang sesekali terlihat saat angin menyingkap.Arya memalingkan wajah sekilas, menahan napas saat melihat kuda yang ditunggangi pemuda itu. “Kuda itu…” hatinya bergetar. Tak salah lagi—itu adalah kuda yang pernah ia hadiahkan p
Sore itu, Bangsal Raja dipenuhi aroma dupa yang masih mengepul dari sesaji siang tadi. Cahaya mentari yang merambat masuk melalui celah dinding kayu jati membuat ruangan berkilau temaram, membias di ukiran-ukiran naga dan kala pada pilar penyangga.Arya Wuruk duduk tegak di singgasana rendah berlapis kain beludru merah. Di hadapannya, beberapa abdi masih sibuk merapikan naskah lontar yang baru saja dibacakan. Namun sang raja tak beranjak—matanya tajam menatap Rendra yang berlutut, memegang gulungan papaosan panggalih yang berisi hasil penelusuran tentang seorang pamong muda: Gaja Mada.“Sudah genap sepekan sejak aku titahkan,” ujar Arya, suaranya berat namun terkontrol. “Apa yang kau dapati?”Rendra mengangguk dalam-dalam, lalu membuka lontar itu, suaranya mengalun jelas agar semua yang hadir dapat mendengar.“Daulat, Paduka. Hamba telah menelusuri asal-usul pamong muda bernama Gaja Mada itu. Menurut catatan desa dan keterangan para tetua, ia adalah anak campuran: ibunya seorang pribu
Pagi itu, matahari baru naik di atas Trowulan. Cahaya emasnya menimpa genteng tanah liat dan atap rumbia, membuat kota ibukota Majapahit berkilau seakan permata. Jalanan utama menuju balai bendahara sudah mulai ramai. Pedagang kecil dengan pikulan berisi beras, prajurit yang baru selesai ronda, dan kereta-kereta kayu yang membawa bahan logistik kerajaan berderak menuju gudang besar di belakang bangsal.Alesha—atau Gaja Mada di mata semua orang—berdiri sejenak di depan pintu bangunan megah itu. Balai bendahara, letaknya tak jauh dari alun-alun Trowulan, berdinding bata merah dengan pintu kayu jati tinggi menjulang. Lambang kerajaan terukir di atas gerbang: Surya Majapahit.Nafasnya terasa berat. Dalam hati ia berbisik,“Mulai hari ini, aku bukan lagi pamong muda biasa. Satu langkah salah… bisa jadi semua rahasiaku terbongkar.”Dua abdi dalem membungkuk hormat. “Selamat datang, Bendahara Muda,” ucap salah satunya, memberi jalan.Alesha mengangguk singkat, menahan detak jantung yang ter
Malam telah larut ketika Arya Wuruk akhirnya kembali ke istana. Langkah-langkahnya bergema pelan di koridor panjang berlampu obor, sementara wajahnya tetap tegang, menyimpan segala gejolak yang tadi ia rasakan. Hatinya masih berdebar oleh sorot mata itu—mata pemuda bernama Gaja Mada, yang begitu mirip dengan mata yang selama ini menghantui tidurnya: Alesha.Sesampainya di bangsal raja, ia menanggalkan ikat kepala samaran, mengganti dengan pakaian kerajaan yang lebih sederhana, lalu duduk di kursi kayu berukir naga. Api obor menari-nari di dinding, menciptakan bayangan panjang di wajahnya. Ia memanggil Rendra, abdi setia yang sudah lama menemaninya.“Rendra,” suara Arya dalam dan mantap, meski sarat beban. “Sendika dawuh, Paduka,” Rendra segera berlutut memberi sembah.Arya menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya dengan tatapan tajam. “Aku ingin kau mencari tahu lebih dalam tentang seorang pemuda bernama Gaja Mada.”Alis Rendra langsung terangkat tinggi. “Gaja… Mada? Siapakah dia