POV AGAM"Sandi, kerahkan orang-orangmu untuk mencari istri saya di Bandara, Terminal, Stasiun, pokoknya semua tempat yang memungkinkan dia mendatanginya!" Kumatikan telepon setelah mendapat jawaban dari seberang sana. Kupacu kembali kendaraan ini menuju Hotel tempat Damar bekerja. Entah mengapa, tetapi feelingku mengatakan kalau dia ikut terlibat dengan rencana perginya Hilya.Informasi yang kuterima semakin memperkuat keyakinan ini. Damar tidak ada di sana bahkan sudah dua hari pria itu tidak masuk kerja dengan alasan yang tidak jelas. Hatiku semakin meradang. Jangan sampai kepergian Hilya karena dipengaruhi pria itu, sebab kemarin dia sempat melihatku bersama Safia di pusat perbelanjaan. Aku tahu dengan jelas bagaimana perasaan Damar terhadap istriku. Dari tatapan matanya saja, aku bisa melihat binar cinta yang begitu besar untuk Hilya.S*al! Berani-beraninya dia mencoba merebut milikku! Kembali ke rumah adalah pilihan terakhir setelah diri ini berkeliling mencari Hilya. Andai
"Gam, sarapan dulu, Nak."Mama menghampiriku yang baru saja menuruni tangga. Wajahnya memelas, mungkin karena aku masih bersikap dingin padanya. Bukan bermaksud durhaka, tetapi aku masih kecewa pada dia yang sudah tega mempengaruhi Hilya agar pergi dari rumah ini."Agam sarapan di kantor saja," jawabku."Nak, jangan seperti itu. Mama tahu kalau Mama salah, tetapi tolong jangan bersikap tak acuh begitu. Mama janji akan minta maaf pada Hilya kalau nanti dia sudah ditemukan," tuturnya seraya memegang sebelah lenganku. Kali ini aku tak menolak. Tidak ingin bersikap kasar yang bisa menyakiti perasaan wanita yang telah melahirkanku ini."Sarapan dulu, ya. Safia dan mertuamu sudah menunggu di meja makan," pintanya.Aku pun mengangguk pasrah. Senyum Mama mengembang karena kali ini aku tidak membantahnya.Safia segera berdiri begitu melihatku berjalan ke arah meja makan. Dia mengambil jas yang tersampir di sebelah lenganku. Kemudian membawanya untuk disimpan di sandaran kursi."Aku senang, Mas
"D-den--""Sedang apa Pak Amin di sini? Bukankah seharusnya Bapak sudah pulang dari tadi sore?""Itu ... anu, Den. Bapak kan habis ngantar Nyonya Mirna dari rumah temannya, tapi pulangnya malam. Makanya Bapak memutuskan menginap di sini saja. Mbok Parmi yang menyuruh Bapak tidur di kamar ini," jelasnya dengan gugup. Aku percaya? Entahlah. Sepertinya aku harus mulai waspada dengan orang-orang yang berada di rumah ini.Pak Amin memang tidak tinggal di sini karena jarak rumahnya cukup dekat. Ia memiliki istri dan dua orang anak yang sudah dewasa. Yang satu sudah berkeluarga dan yang satunya lagi masih duduk di bangku SMA. "Terus sekarang Bapak mau ke mana?" tanyaku lagi."Bapak mau ngambil air minum, Den.""Ya sudah, saya ke kamar dulu, Pak."Pak Amin mengiyakan, aku pun kembali ke kamar Safia untuk beristirahat karena mata ini mulai didera rasa kantuk. Safia masih tertidur pulas, mungkin karena kelelahan setelah percintaan kami tadi. Kubaringkan tubuh ini di sebelah dia yang tidur deng
B*jingan!Amarahku sudah naik ke ubun-ubun. Andai mengikuti kata hati, ingin sekali aku b*nuh kedua manusia laknat itu sekarang juga. Namun, aku tidak boleh gegabah karena aku tidak sempat merekam pembicaraan mereka untuk dijadikan bukti. Akan tetapi, aku pun tidak bisa menunda lagi, apa lagi jika menyangkut nyawa istriku. Muak rasanya kalau harus berpura-pura baik di depan manusia laknat semacam mereka. Sebelum keduanya keluar, aku bergeser sedikit menjauh untuk menghubungi anak buah Sandi yang berjaga di depan rumah. Tak lupa aku pun mengirim pesan pada Pak Rahman, kusuruh dia datang ke paviliun belakang.Beruntung mereka cepat tanggap. Tak lama kemudian Pak Rahman dan dua orang anak buah Sandi datang. Kuletakkan telunjuk di atas bibir sebagai isyarat agar mereka tenang. Kudekati kembali pintu paviliun dan suara menjijikan itu kembali terdengar. Tak ingin membuang waktu, kuberi isyarat dengan mata agar Pak Rahman dan yang lain mendobrak pintu itu.Dalam hitungan ketiga, pintu berha
POV HILYA"Kamu yakin dengan keputusan ini, Nak? Bagaimana dengan status kamu nantinya?"Papa kembali mengulang pertanyaan yang sama saat kami duduk berdua di teras kontrakan. Sudah satu bulan lamanya aku tinggal di Bandung bersama Papa. Atas bantuan Mas Damar, kami bisa sampai ke tempat ini tanpa diketahui anak buah Mas Agam. Ya, aku tahu pasti Mas Agam mengerahkan anak buahnya untuk mencariku. Beruntung Mas Damar begitu lihai mengecoh mereka termasuk membayar Sopir dan Kondektur Bus agar tidak buka mulut jika ada yang menanyakan kami.Mas Damar pun menyarankan aku agar mengganti identitas selama di sini. Aku kembali menjadi seorang Melati, wanita sederhana dengan penampilan yang dirombak total. Tidak ada lagi Hilya yang berpenampilan glamour, tidak ada lagi Hilya yang memperlihatkan rambut indahnya karena aku sudah mengenakan hijab. Mungkin awalnya karena terpaksa demi menyempurnakan penyamaran ini. Akan tetapi setelah beberapa hari aku mengenakannya, rasa nyaman dan aman tiba-tiba
POV HilyaHari-hari yang aku jalani selama di tinggal di Bandung terasa lebih menyenangkan. Kesibukan sebagai salah satu karyawan Bu Ratna, membuatku sedikit demi sedikit melupakan Mas Agam, meskipun tak kupungkiri, jika malam tiba, rasa rindu seringkali datang tanpa diminta.Untuk menepisnya, aku selalu berusaha memberi sugesti pada diri sendiri, bahwa aku tidak lagi berhak merindukan dia. Mas Agam bukan lagi milikku, dia sudah menjadi milik wanita lain seutuhnya.Duhai hati, tolong jangan goyah. Mungkin saja saat ini dia sedang berbahagia dengan istri barunya, tanpa kehadiran diriku sebagai pengganggu di hidup mereka.Tak terasa sudah dua minggu aku menjadi karyawan Bu Ratna. Sikap beliau yang ramah dan baik pada siapa saja, membuat kami para pekerja menjadi betah. Tak jarang dia memberikan bonus pada kami jika mendapat pesanan lumayan banyak. Namun, ada yang aneh dalam satu minggu ini. Salah satu putra Bu Ratna yang bernama Fhatur, seringkali menyambangi ruang kerja kami hanya untu
POV AGAMSatu minggu setelah kejadian ditangkapnya Mama Mirna, belum sekali pun aku kembali ke rumah. Ratusan telepon dan pesan dari Safia aku abaikan. Entah lah, diri ini masih kecewa atas semua kenyataan yang terkuak. Meskipun masalah ini bukan sepenuhnya salah Safia, tetapi tetap saja, aku kecewa karena dia masih bersikukuh membela mamanya. Belum lagi keberadaan Hilya yang masih belum diketemukan. Membuat hari-hariku terasa semakin suram tanpa adanya belahan jiwa yang membersamai. Sidang pertama Mama Mirna akan digelar minggu depan. Aku sudah menyewa pengacara terbaik untuk menjebloskan dia ke Penjara. Akan aku pastikan, dia mendapat hukuman yang berat atas apa yang telah dia lakukan terhadap istriku dan juga Ridwan.Ponselku tak berhenti bergetar sejak sore tadi. Aku yakin itu pesan dari Safia yang memintaku untuk pulang. Namun, aku masih enggan menemuinya. Bukan bermaksud mengabaikan kewajiban, tetapi aku butuh menyendiri untuk merenungkan langkah apa yang akan diambil ke depan
"Bapak yakin dengan rencana ini?""Sangat yakin. Tidak ada lagi cara agar saya bisa dekat dengan istri saya selain begini," jawabku seraya meniliti kembali penampilan di depan cermin.Celana jeans yang agak lusuh, kaos oblong dan sandal jepit, tak lupa kumis palsu yang aku kenakan, semoga saja bisa menyempurnakan penyamaran ini.Berdasarkan informasi yang didapat oleh Sandi, di rumah itu sedang membutuhkan seorang Sopir untuk mobil yang akan mengantarkan pesanan katering. Tak ingin membuang kesempatan, aku pun bergegas menemui pemilik rumah dan syukurlah akhirnya diterima. Saat ini aku menyewa sebuah kontrakan yang tak jauh dari tempat istriku tinggal. Sedangkan urusan pekerjaan di Jakarta, aku serahkan pada Nindi untuk menghandlenya dan sewaktu-waktu jika ada yang urgent, aku sendiri yang akan turun tangan.Semua ini aku lakukan demi Hilya. Demi bisa dekat dengan istriku yang sepertinya sudah menikmati peran barunya sebagai Melati yang tinggal di kampung ini. Terkadang ... rasa tak