( PoV Asmara ) "Nggak apa-apa kok, Sayang. Ini kan memang resikonya jika aku berpacaran dengan lelaki beristri seperti kamu." Suara manja Bu Andira begitu jelas aku dengar dari luar pintu ruang kerja Aksara. Ya. Aku urungkan niatku untuk pulang dan memutuskan untuk menguping pembicaraan mereka.Gila memang. Tapi aku memang ingin tahu apa yang akan Bu Andira lakukan di Rumah Produksi Aksara ini. Beliau bukan artis. Bukan juga produser, ataupun sutradara. Tapi kenapa beliau berani-beraninya datang ke tempat ini? Kenapa tak ke tempat yang rahasia saja jika ingin bermesraan dengan Aksara? Kenapa harus kantor ini? "Tenang aja. Aku akan ceraiin Amanda segera dan menikah dengan kamu." Hah? Baru beberapa hari mereka bersama, Aksara sudah bersumpah untuk menceraikan Amanda dan menikahi Bu Andira? Pelet apa sih yang Bu Andira pakai, sehingga Aksara begitu mabuk kepayang di buatnya. Aku yang masih gadis dan artis terkenal saja tak pernah di janjikannya seperti itu. Kenapa dengan Bu Andira berbe
( PoV Asmara ) Aku pulang ke rumah dengan deraian air mata. Aku tak menyangka dengan apa yang pernah terjadi antara Aksara dan Bu Andira. Aksara yang berjanji akan menceraikan Amanda, pasti akan dengan siap meninggalkanku jika Bu Andira memintanya. Aku bahkan tak sanggup membayangkannya. Ku benamkan wajahku ke bantal yang saat ini aku peluk. Aku menangis sejadinya. Tak kuasa menahan sakit hati yang aku rasakan. Kenanga yang aku lalui bersama Aksara, satu per satu berputar di kepalaku. Lima tahun yang lalu, ketika usiaku masih dua belas tahun, di sore hari yang cerah, aku melihat ada rombongan mobil mewah yang berhenti di depan panti asuhan yang aku tinggali. Aku dan beberapa temanku sedang bermain boneka di teras panti. Aku hanya mengamati rombongan itu dari kejauhan, yang saat itu aku pikir adalah donatur sekaligus pemilik panti asuhan kami yang memang sering kali hadir dan membagikan kebahagiaan kepada kami. Hingga akhirnya Bu Panti berteriak dan meminta kami untuk berkumpul. "A
"Aku mungkin nggak akan ke rumah kamu falam waktu yang lama deh, Sayang." Aksara mengemas barang-barangnya. Aku melihat wajahnya yang jauh lebih sumringah di banding hari-hari biasanya yang selalu mengeluh karena tak pernah cocok dengan Amanda. "Oke." Aku duduk di meja makan. Mengupas buah apel yang ke sepuluh. Aku tak berniat memakannya. Aku hanya tak ingin melihatnya berkemas. Ingin aku menangis sekuatnya, dan menghajarnya. Namun rasanya aku tak kuasa. "Padat banget memang jadwal aku akhir-akhir ini. Huh. Aku juga sampai jarang pulang ke rumah." Ku lirik Aksara yang tampak serius dengan alasannya. Dia seakan benar-benar di buat lelah oleh pekerjaannya. Di letakkan kedua tangannya di pinggangnya sambil menatapku sambil menarik napas panjang. Sungguh benar-benar seorang produser film yang menakjubkan. Dia mungkin banyak belajar dari para aktor yang dia kenal selama ini, bagaimana caranya untuk beracting. "Aku pulang ke Tante Astia ya?" Aku mencoba memancingnya. Pasalnya, sekali lagi
"Yang sabar ya Ra." Albert mendekapku erat. Dia langsung saja ke rumahku setelah tahu apa yang terjadi. Amanda melabrak Bu Andira. Awalnya dia hanya ingin melampiaskan kelegaannya karena bukan aku yang menjadi target kemarahan Amanda. Namun ternyata dia datang secara kebetulan untuk melihatku merasakan patah hati. "Aku bisa apa selain sabar Al." Aku memeluknya. Meluapkan segala apa yang aku rasa di dalam pelukannya. Membagi semua rasa sesakku kepadanya. Berharap ini mampu memberiku ruang yang luas agar tak ada lagi sesak yang ku rasakan. "Pulang ke rumah yuk." Albert membelai rambutku. Aku bisa merasakan kalau dia begitu mencintaiku. Aku bisa merasakan kalau dia begitu ingin menjagaku. Membuat ku merasa aman dan terlindungi. Aku menatap lekat wajah tampanya. Hingga akhirnya aku mengangguk pelan tanda mengiyakan. Memang apa lagi yang akan aku lakukan di rumah ini sendiri? Bermain bersama kenangan yang selama ini ku buat bersama dengan Aksara? Atau menikmati puding jelly yang selama i
"Jangan berharap Aksara akan kembali ke kamu lagi ya." Bu Andira duduk mendekat ke arahku, di sofa ruang tamuku. Albert dan Bik Yuli menunggu di depan rumah. Bu Andira yang meminta, agar mereka tak mendengar apa yang akan kami bicarakan nanti. "Aksara belum bilang apa-apa sama aku. Yah, meskipun semua barang-barangnya yang ada di sini, sudah di bawanya. Tak ada yang tersisa." Ku tatap tajam wanita itu. Dia memang guruku di sekolah. Namun di rumahku, dia tetap hanya sebagai seorang tamu. Dan aku tak suka jika ada tamu yang tak punya sopan santun saat berbicara kepadaku. "Dia sedang mengajukan proses cerai kepada istrinya. Demi aku, dia berani menceraikan Amanda, yang begitu berpengaruh terhadap hidupnya. Apalagi dengan kamu. Anak kecil yang bodoh. Begitu saja percaya kepada seseorang yang udah terkenal playboy." Aku tak menyangka jika Bu Andira sampai hati mengatakan hal itu kepadaku. Meskipun tidak terlalu lama kami kenal, namun selama ini, dia mengajar dengan begitu menyenangkan. Ak
( PoV Andira ) Dua puluh tahun yang lalu. "Aduh, telat lagi nih kalau kayak gini caranya." Ku kayuh sepeda biru bututku, menembus pagi yang penuh dengan gerimis. Waktu sudah menunjukkan pukul enam empat puluh menit. Sedangkan jarak sekolah SMA ku dan rumahku sekitar empat kilometer. Setiap hari, aku harus menempuh perjalanan selama tiga puluh menit untuk sampai ke sekolah. Itu pun dengan tenaga yang ekstra karena rumahku berada di desa dan harus melewati jalanan sawah yang lumayan melelahkan. "Kenapa sih, Ibu harus meninggal dahulu sebelum aku dewasa? Aku masih enam belas tahun. Masih kelas satu SMA. Kenapa hidupku nggak kayak temen-temen yang lain. Yang mau sekolah tinggal sekolah. Sarapan sudah ada di meja. Bekal pun sudah siap di kotak bekal. Mau belajar juga tinggal belajar. Baju seragam ada yang nyuciin. Ada yang bangunin setiap pagi. Nggak kayak aku gini." Aku menangis di sepanjang jalan sembari terus mengayuh sepedahku yang terdengar juga sedang menggerutu karena usianya yang
( PoV Andira ) Masih dua puluh tahun yang lalu."Wah, gila! Kalau kayak gini, kita nggak bakalan telat nih." Aku berteriak di balik punggung anak lelaki yang sedang memboncengku dengan kecepatan roket itu. Kakinya yang kuat, mengayuh sepedah dengan begitu lincah. Aku bahkan beberapa kali hampir terjatuh karena peganganku yang hampir terlepas di saat dia tak sengaja menabrak batu kecil atau melewati jalanan yang berlubang. Hujan masih mengguyur kami. Dan bisa di bayangkan bagaimana penampakan kami saat ini. Benar-benar basah. "Pegangan yang kenceng ya! Pegangannya di pinggang. Jangan di besinya. Licin, kena hujan." Dia berteriak. Suaranya yang gagah masih mampu aku dengar di antara derasnya hujan. Entah kenapa aku tersipu malu saat lelaki itu memegang tanganku yang sedang menggenggam besi pegangan, untuk berpindah memegang tubuh tegapnya. Dan aku menurut saja. Bukan apa-apa. Daripada aku terjatuh dan bajuku semakin kotor. Lebih baik aku mendengarkan apa yang dia katakan. "Rumah kamu
( PoV Andira )"Eh, mau ke mana? Pulang yuk!" Aku menarik baju sekolah Aksara, lelaki tampan yang sedang mengayuh sepedah dengan begitu santai ke arah taman kota. "Ngapain buru-buru sih. Ke taman kota sebentar yah, nemenin aku beli cilok." Nada bicaranya seolah tak bisa menangkap kecemasanku. Aku bahkan tidak bisa mengerjakan tugas di luar sekolah karena harus buru-buru pulang, apalagi jika harus jajan cilok dulu di taman kota. Bisa habis aku sama Bapak."Takut di marahin Bapak. Bapakku galak." Aku semakin takut membayangkan bagaimana Bapakku di saat marah. Betapa nikmatnya pukulannya di atas tubuh mungilku ini. "Nanti biar aku yang ngomong sama Bapak kamu." Sumpah! Tidak ada khawatirnya sama sekali denganku, padahal aku sudah bilang dengan jujur kalau Bapakku galak. "Aku nggak lagi bercanda, Sa. Bapak aku galak. Aku nggak berani ngelawan dia." Aku merengek. Seperti seorang anak kecil yang menginginkan balon barbie di abang penjual mainan. "Ya, kan memang kita nggak di bolehin me