Meski masih SMA, Andini bekerja keras mengumpulkan uang untuk membeli rumah agar bisa membawa ibunya keluar dari rumah neneknya yang seperti neraka. Hanya saja, suatu hari, Andini mengetahui sebuah rahasia besar: rumah yang ia kira milik neneknya ternyata adalah milik almarhum ayahnya. Namun, neneknya selama ini sengaja menyembunyikan karena menganggap lebih berhak sebagai ahli waris karena dialah ibu yang sudah melahirkan Anto. Lantas, bagaimana nasib Andini dan ibunya?
Lihat lebih banyak"Assalamualaikum," salam Andini sambil membuka pintu kamar ibunya.
Andini baru saja pulang sekolah. Gadis itu sekarang kelas 2 SMA. Dia bisa melanjutkan sekolah SMA karena mendapatkan beasiswa. Andini begitu terkejut ketika melihat ibunya sedang menangis di kamar sambil menidurkan adiknya yang masih usia 2 tahun. Terdengar suara sesegukan dari ibunya. Tidak biasanya ibunya menangis secara terang-terangan. Biasanya juga sang ibu selalu menutupi jika sedang menangis. "Wa alaikum salam," jawab Ratna langsung mengusap air matanya. "Ibu kenapa?" "Nggak kenapa-kenapa Kak. Ibu hanya kangen dengan almarhum ayah kamu," jawab Ratna menutupi kesedihannya. Ratna menangis karena dia harus mengganti gelas milik Linda yang dipecahkan oleh Athala. Gelas yang katanya mahal tersebut, harus Ratna ganti dengan uang 150 ribu. Sedangkan Ratna tidak punya uang sebanyak itu. "Besok kalau pas libur, kita ke makam ayah ya Bu," ujar Andini agar hati ibunya tenang. "Iya Sayang," jawab sang Ibu menutupi kesedihannya. Setelah ganti baju, Andini pergi ke dapur untuk mengambil makanan. Baru saja Andini sampai di dapur, ia melihat Firda membuka lemari makan milik ibunya, dan mengambil lauk dari lemari tersebut. Meskipun dalam satu rumah ada beberapa keluarga, tapi masing-masing punya lemari makan sendiri-sendiri. "Firda!" panggil Andini. "Itu kan masakan ibuku, kenapa kamu ambil?" "Memangnya kenapa? Ibumu dapat uang untuk membeli ini semua dari mana? Kalau bukan dari orang tuaku, jadi aku juga punya hak dong untuk ikut makan." "Itu karena ibuku sudah mencucikan baju orang tuamu, dan memasakan. Sebab itulah ibuku mendapatkan upah. Jadi itu adalah hak ibuku. Kamu nggak berhak memintanya lagi," jawab Andini membela ibunya. “Kalau kamu ambil lauk milik ibuku tanpa izin, itu namanya kamu mencuri.” “Peduli! Mau mencuri kek, mau apa, yang penting sekarang aku lapar!” Tiba-tiba sang Nenek yang hendak ke toilet berhenti, melihat kedua cucunya sedang adu mulut. "Kalian berdua ini, apa sih ribut-ribut?" tanya Bu Rodiah dengan wajah yang sulit diartikan. "Ini lho Nek, aku cuma minta masakan Tante Ratna. Tapi nggak dibolehin sama Andini," ucap Firda mencari pembelaan. "Masakan Mamah katanya sudah habis, soalnya tadi ayah pulang, makan di rumah. Aku kan laper." "Cuma kaya gitu doang, pelit banget kamu Andini. Makan aja Firda, nggak apa-apa. Kalau nggak boleh, ngomong Nenek," ucap Bu Rodiah sambil sedikit lari karena sudah tidak kuat menahan ingin buang air kecil. Firda pun tersenyum mendengar ucapan neneknya. Ia merasa mendapat kebebasan untuk mengambil lauk milik ibunya Andini tersebut. Firda pun mengambil sebanyak yang dia mau, dan menyisakan sedikit. "Nampaknya masakan Tante Ratna enak sekali," ujar Firda sambil menutup lemari setelah mengambil makanan milik Ratna. Andini tidak punya kuasa untuk melawan, ia memilih diam. "Ya Allah, tolong beri kami kemudahan untuk bisa keluar dari sini. Kasihan ibu," gumam Andini. Andini memilih mengambil Royco, dan menaburkan bubuk kaldu tersebut di atas nasinya. Andini menikmati makanan di meja makan sendirian. Jangan sampai ibunya tahu, kalau Andini makan hanya dengan Royco. Apapun yang terjadi Andini harus kuat dan sabar, sampai waktunya tiba, ia akan mengajak ibunya keluar dari rumah ini. ______ Andini yang mencoba keberuntungan sebagai konten kreator, setiap malam membuat konten beauty vlogger. Sudah beberapa bulan gadis itu terjun, tapi sampai hari ia belum pernah merasakan mendapatkan sampel gratis seperti yang lain. Kalau untuk penjualan sebagi affiliator, sedikit-sedikit ada lah yang terjual. Andini membeli sedikit barang untuk sampel, yang akan dibuatkan video di rumah. Dan biasanya barang tersebut akan dikirim ke rumah Nenek Tamy, tetangga sebelah, agar orang rumah tidak ada yang tahu. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Andini melirik ke arah kasur, ibunya masih belum tidur. Pandangannya kosong, menatap ke langit-langit kamar. "Ibu, kenapa belum tidur?" tanyanya sambil menghapus make up. "Nggak apa-apa. Ibu belum ngantuk, Kak," jawab Ratna. Ia masih memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk mengganti gelas milik Linda. "Jangan bohong. Aku kenal Ibu. Ibu biasa tidur cepat, karena nggak mau besok ngantuk," ujar Andini mengakhiri menghapus make up-nya. Gadis itu membereskan make up kesayangannya. Make up yang Andini pakai, bukan make up yang mahal, tapi yang murah. Itupun dia beli cicil, setiap dapat uang dari upah memotong rambut teman-temannya, selalu Andini simpan untuk membeli peralatan make up. Bukan untuk senang-senang, tapi Andini memang membeli make up untuk kebutuhan membuat kontennya. “Nggak apa-apa Sayang. Ibu memang belum ngantuk,” jawab Ratna. “Ibu tidur jangan terlalu malam Bu,” pesan Andini. “Iya Sayang.” Andini bangun dari tempatnya membuat konten, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. "Aku ke kamar mandi dulu ya Bu." “Iya,” jawab Ratna. Langkah Andini terhenti ketika melewati kamar neneknya. Ia mendengar nama almarhum ayahnya di sebut, sebab itulah Andini berhenti dan menguping di depan kamar. “Mas Anto kan sudah meninggal, berarti nggak dapat bagian dong Bu,” ujar Andi, adik almarhum Anto yang bekerja sebagai karyawan perusahaan. “Iya Bu, aku setuju dengan Mas Andi. Senang kali hidupnya Mba Ratna, dapat bagian penjualan tanah padahal dia bukan bagian keluarga ini. Numpang gratis aja Alhamdulillah,” lanjut Linda. “Iya Bu, harusnya Mbak Ratna kan pergi dari rumah ini. Suaminya kan sudah tidak ada, berarti dia sudah bukan bagian dari keluarga kita. Kenapa dia masih diizinkan tinggal di rumah ini?” tanya Anisa, istrinya Andi. Wanita itu juga sebagai menantu, padahal kelak jika suaminya sudah meninggal pun dia akan merasakan seperti yang Ratna rasakan, tapi mulutnya dengan enteng mengucapkan seperti itu seakan sang menantu tidak punya hak apa-apa, jika suaminya sudah meninggal. “Ibu nggak bisa usir Ratna, karena rumah ini itu atas nama Anto. Dulu Anto yang membayar rumah ini, dari kakaknya ibu. Jadi kalaupun nanti mau dibagi, harus diubah ke nama ibu. Sedangkan untuk diubah ke nama ibu, harus ada tanda tangan si Ratna,” ujar Bu Rodhiah. “Jadi rumah ini milik Mas Anto?” tanya Linda. “Iya, makanya ibu nggak bisa usir Ratna. Tapi sebagai bayarannya, ibu perlakukan Ratna seperti pembantu lah. Enak aja numpang gratis. Anto membeli rumah ini juga waktu belum menjadi suami Ratna, jadi rumah ini memang harusnya milik Ibu,” ucap Bu Rodhiah dengan ketus. “Kalau rumah ini dibeli Mas Anto sebelum menikah dengan Mbak Ratna, harusnya rumah ini otomatis jatuh ke Ibu dong. Terus kenapa harus minta tanda tangan Mbak Ratna, kalau mau diubah menjadi nama ibu,” tanya Andi. “Setelah menikah dengan Ratna, Anto membuat surat wasiat tanpa sepengetahuan Ratna, jika Anto meninggal, semua harta atas namanya otomatis akan jatuh ke istrinya, termasuk usaha warung ibu juga,” ujar Bu Rodhiah. “Dan itu sah di mata hukum.” Andini yang sengaja mendengarkan dibalik pintu, tak terasa meneteskan air matanya. Sudah hampir 3 tahun ayahnya meninggal, selama itu pula ibunya diperlakukan sebagai pembantu. Bahkan mereka memperlakukan Ratna lebih kejam dari pembantu. Jika pembantu, bekerja mendapatkan uang. Sedangkan Ratna bekerja tidak mendapatkan uang. Mereka hanya memanfaatkan tenaga Ratna dengan gratis. Kalaupun memberi upah, itupun tidak layak. 20 ribu seminggu itu sudah meliputi mencuci baju setiap hari, memasak setiap hari, menyetrika. ‘Ternyata rumah ini milik ayah. Seharusnya kami lah yang lebih berhak atas rumah ini. Aku tidak akan biarkan rumah ini berubah nama menjadi nama nenek’ gumam Andini dalam hati. Andini kasihan lihat ibunya, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ibunya sudah berpesan kepada Andini, agar anaknya fokus sekolah dan mempunyai masa depan yang cerah. “Terus dimana surat wasiat itu, Bu? Kenapa kita nggak sobek aja?” tanya Andi. “Ada di teman Anto yang menjadi pengacara. Tapi masalahnya ibu nggak tahu sekarang dia tinggal dimana. Ibu sudah mencari tahu keberadaanya, tapi nggak ketemu,” jawab Rodhiah. “Tapi tetap saja, menurutku Mbak Ratna itu numpang, dia nggak punya hak. Semuanya kan milik Mas Anto sebelum dengan Mbak Ratna,” ujar Linda. “Ya enak banget kalau dia numpang gratis begitu saja. Kalau ngontrak sudah berapa itu. Belum lagi listriknya,” ujar Anisa merasa bahagia karena dirinya merasa satu-satunya menantu wanita yang di sukai ibu mertuanya. ‘Aku berjanji akan membawa ibu keluar dari sini dan mengambil rumah ini’ “Tadi siang gelasku juga pecah oleh Athala. Aku minta ganti rugi 150 ribu ke Andini, dan aku beri waktu sampai besok. Hahahha. Pusing dia!” ujar Linda dengan tertawa. Yang lain pun ikut tertawa mendengar cerita Linda. “Paling nanti dia cari hutangan. Mau dapat uang dari mana dia, uang sebanyak itu,” ucap Robi, suami Linda. “Iya Mas. Kalau dia nggak bisa ganti, aku mau ambil beberapa barang miliknya. Terus aku jual,” ujar Linda. “Memang dia punya barang berharga?” tanya Robi pada istrinya. “Dia kan punya tas-tas bagus Mas. Dibelikan Mas Anto, waktu Mas Anto masih hidup. Kalau dia nggak bisa bayar, aku ambil saja semua tas milik dia. Hahhaha. Lumayan kan,” jawab Linda. Andini menghapus air matanya dan melanjutkan ke belakang. Jadi ibunya sedari tadi melamun karena memikirkan masalah itu. Kenapa ibunya tidak cerita? Andini mencuci mukanya, dan kembali ke kamar. Dilihatnya sang ibu yang masih melek. Andini membuka lemari bajunya dan mengambil sesuatu, kemudian berbaring disamping ibunya. “Ibu, ini ada uang buat bayar ke Tante Linda,” ujar Andini sambil memberikan uang 150 ribu kepada ibunya. “Ya Allah Kak, kamu dapat uang sebanyak ini dari mana?” tanya Ratna pada anaknya. Ia pun duduk melihat uang lima puluh ribuan tiga lembar tersebut.”Kamu tahu darimana? Tante Linda yang ngomong ke kamu?” Andini pun ikut duduk dan menatap ibunya. “Ibu lihat kan setiap hari aku bikin konten. Alhamdulillah aku sambil jualan menjadi affiliator, Bu. Alhamdulillah meskipun belum banyak, dan aku belum pernah mendapatkan endorse. Tapi adalah pemasukan sedikit-sedikit. Kemarin baru saja aku tarik dapat 200 ribu,” cerita Andini. “Untuk masalah aku tahu dari mana, itu nggak penting. Yang terpenting ibu harus cerita apapun ke aku. Kalau ada masalah apa-apa.” “Ya Allah, Alhamdulillah banget Kak. Tapi, ini kan uang kamu, Kak. Kamu yang bekerja,” ucap Ratna tidak enak menerima uang dari anaknya. Dia jarang sekali memberi uang Andini, tapi kenapa sekarang dia harus merepotkan anaknya. Ratna memang tahu Andini sering dapat job memotong rambut teman-temannya. Ratna tidak pernah meminta, karena dari uang itulah Andini bisa membeli buku dan perlengkapan sekolah lainnya. Makanya jika sekarang Andini memberikan Ratna, Ratna merasa tidak enak. “Nggak apa-apa Ibu. Ibu sedang membutuhkannya. Pakai saja. Kakak cuma minta doa ibu, semoga Kakak bisa sukses dan mengangkat derajat ibu. Doakan Kakak ya Bu,” ucap Andini memeluk ibunya. Ratna pun membalas pelukan anaknya. Air matanya menetes, dalam hati ia mendoakan dengan tulus kesuksesan anaknya. Berharap anaknya lah yang akan membawanya pergi dari penderitaan ini. Sejujurnya Ratna sudah tidak kuat berada di rumah ini. Tapi ia terpaksa bertahan demi anak-anaknya. Mau kemana lagi dia pergi, sedangkan Ratna tidak punya kerjaan, dan Athala masih kecil. “Ibu, jangan bilang ke Tante Linda kalau uang itu dari aku ya Bu. Pokoknya mereka jangan pernah tahu kalau aku punya uang. Biarlah mereka melihat kita tidak punya. Sampai tiba waktunya, kita akan tunjukkan sendiri pada mereka siapa kita. Ibu berhak tersenyum, dan aku janji akan membuat ibu tersenyum,” ujar Andini menatap mata ibunya yang sudah penuh dengan air mata. “Terimakasih Kak. Terimakasih banyak. Kamu dan Athala adalah kebahagiaan ibu. Ibu bisa bertahan sampai sekarang, karena kalian berdua.” _____ Libur sekolah telah tiba. Kelas seangkatan Andini mengadakan liburan bersama ke puncak. Tetapi tidak bagi Andini, liburan adalah waktu yang pas untuk membantu ibunya. Jadi Andini memilih untuk tidak ikut. Andini justru bahagia bisa liburan di rumah, karena mempunyai banyak waktu di rumah, sehingga bisa menjaga adiknya dan membantu pekerjaan ibunya. Firda yang satu sekolah dengan Andini, tapi beda kelas sedang merengek ke mamahnya agar diizinkan ikut liburan ke puncak bersama teman-teman. “Satu angkatan ikut semua Mah. Boleh ya Mah, aku ikut? Please!” ucap Firda memohon kepada ibunya. “Iurannya berapa?” tanya Linda yang sibuk main F******k. “400 ribu Mah, murah. Malu dong Mah kalau tidak ikut,” ucap Firda. “Assalamu alaikum,” salam Andini yang baru sampai rumah. Firda memang sekolah menggunakan motor, sedangkan Andini hanya menggunakan sepeda yang dibelikan almarhum ayahnya saat masih SMP. Sebab itulah Firda selalu pulang lebih cepat dibanding Andini yang hanya mengayuh sepeda. Mendengar salam dari Andini, Firda dan Linda segera menoleh ke pintu. Andini pun hanya melirik ke tantenya yang sedang duduk di sofa. Andini tidak mencium punggung tangan Linda, bukan berarti Andini anak yang tidak sopan. Tapi semua itu karena permintaan Linda dan keluarga, kalau Ratna dan anaknya tidak boleh bersalaman dengan keluarga Bu Rodhiah. Mereka tidak mau bersalaman dengan Ratna dan kedua anaknya. “Oh cuma 400 ribu doang. Pasti boleh dong Sayang. Emangnya Andini, pasti tidak bisa ikut. Ibunya kan tidak punya uang untuk acara liburan ke puncak,” sindir Linda sengaja agar Andini dengar. Andini yang sedang berjalan pun berhenti, baru saja kakinya hendak melangkah menuju ke arah Linda, tiba-tiba tangannya di tarik oleh seseorang, yang ternyata adalah ibunya. “Sudah Sayang, ayo masuk,” ajak Ratna menarik tangan anaknya untuk memasuki kamar. Ratna menutup pintu dan mengancingnya, “Kamu ganti baju ya, terus makan. Ibu sudah masak ikan kesukaan kamu.” “Kenapa sih Bu, ibu tidak biarkan aku melawan nenek lampir itu. Mulutnya itu kaya sampah, selalu saja menghina. Cuma karena kita menumpang, terus seenaknya mereka menghina kita,” kesal Andini melepas kerudungnya. ‘Bukan aku yang menumpang di rumah ini, tapi mereka lah yang menumpang di rumah ayahku’ gumam Andini dalam hati. Ia tidak bisa bicara langsung kepada ibunya. Biarlah jika tiba waktunya, ibunya akan tahu sendiri. “Sabar Nak. Biar lah. Memang benar kata Linda, ibu tidak punya uang sebanyak itu,” ujar Ratna. “Aku punya uang 400 ribu. Tapi nggak ikut bukan karena aku nggak bisa bayar, aku cuma ingin liburan di rumah!” lanjut Andini dengan penuh emosi. “Kata kamu, jangan sampai mereka tahu kamu punya uang. Jadi buat apa kita ngomong,” ucap Ratna mengingatkan anaknya. “Iya Bu,” jawab Andini dengan nada lebih tenang. Benar kata ibunya, mereka tidak boleh tahu kalau Andini punya uang. Bisa-bisa mereka memanfaatkan ibunya untuk menguras uang tabungan Andini, Andini tidak mau. Ia akan menabung untuk membeli rumah dan mengurus hak milik rumah ini. Baru saja berganti baju, Andini duduk di tepi kasur sambil mengecek ponselnya. Ternyata ada beberapa pesan yang masuk di instagramnya, yang dimana pesan tersebut adalah penawaran kerjasama sebagai konten kreator dari sebuah brand. “MasyaAllah, ini serius? Mereka menawarkan kerjasama denganku?” tanya Andini membaca ulang lagi pesan yang masuk di akun instagramnya. “Kenapa Kak?” tanya Ratna merasa takut terjadi sesuatu. Tapi melihat ekspresi anaknya, tersenyum tapi kok kaget. “Ini Bu, ada 3 brand langsung DM aku tiba-tiba. Mereka ingin bekerja sama denganku. Menawarkan endorse dengan f*e yang lumayan,” cerita Andini. “Alhamdulillah Kak. Semoga berkah selalu ya Kak,” ucap sang Ibu ikut berbahagia. “Aamiin. Terimakasih Bu.” ‘Semoga ini jalanku menuju kesuksesan Ya Allah’ doa Andini sambil membalas pesan tersebut.Hera menatap jam dinding di kamarnya. Jarum pendek hampir menyentuh angka sembilan, sementara jarum panjang terus bergerak mendekati angka dua belas. Ia menghela napas pelan, rasa gelisah mulai merayapi pikirannya. Seharusnya Alvin sudah pulang sejak satu jam lalu. Biasanya, selepas Isya, suaminya itu sudah ada di rumah, bahkan sering kali lebih awal.Perutnya mulai terasa nyeri. Bukan hanya karena kehamilan yang sudah besar, tetapi juga karena lapar yang semakin menggigit. Terakhir kali ia makan adalah siang tadi, setelah pulang dari warung Ratna. Seharusnya malam ini ia sedang makan di luar bersama Alvin, menikmati makanan hangat seperti yang dijanjikan suaminya. Namun kenyataannya, ia masih di sini, sendirian, dengan perut kosong dan hati yang mulai tidak tenang.Ia melirik ponselnya. Puluhan pesan yang dikirimnya ke Alvin masih berstatus centang satu. Panggilan yang berulang kali ia lakukan hanya berakhir di nada sambung, tanpa jawaban."Mungkin dia masih di jalan," gumamnya, menc
Linda menghempaskan tubuhnya ke sofa di ruang tamu. Tubuhnya terasa lemas, seperti tersedot semua energinya. Dua minggu terakhir, rasa sakit yang menyerangnya setiap kali buang air kecil semakin parah. Ia tahu ia harus periksa ke dokter, tapi bayangan tentang apa yang mungkin ia dengar membuatnya takut.Ia melirik pintu kamar Hera yang masih tertutup. Biasanya Hera sudah keluar kamar, tapi tumben hari ini adiknya belum keluar kamar. Awalnya ia ingin meminta Hera untuk menemani ke klinik. Tapi pikiran buruk menyerangnya. Bagaimana kalau ini berhubungan dengan pekerjaan yang ia lakukan kemarin? Bagaimana kalau Hera tahu semuanya?Linda menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa takut yang terus menghantuinya. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi sendiri. Dengan menekan tombol aplikasi ojek online, ia memesan perjalanan menuju klinik terdekat.Di ruang tunggu klinik, Linda duduk memeluk dompet kecil di pangkuannya. Pandangannya kosong, pikirannya melayang-layang. Hatinya berperang antar
"Ini bayaran hari ini, ya, Hera." Fina menyodorkan uang sejumlah 70 ribu ke tangan Hera."Terima kasih banyak, Mbak." Hera menyambut uang itu dengan senyum tipis, meski dalam hati merasa nominal itu terlalu kecil untuk kerja kerasnya seharian.‘Berarti uangku sudah terkumpul 210 ribu sama ini. Untuk ganti uang Mbak Linda kurang 90 ribu lagi’ gumam Hera dalam hati."Besok berangkat lagi, ya? Tinggal satu hari lagi, lho," Fina mengingatkan dengan nada ceria."Iya, Mbak. Pasti dong." Hera mencoba menunjukkan semangatnya. Namun, rasa lelah di tubuhnya tak bisa sepenuhnya ia tutupi. "Oh ya, Mbak. Pemilik warungnya sudah datang belum ya?" tanyanya, mencoba memastikan."Sudah, tuh. Lagi ngobrol di luar sama tukang parkir, kayaknya." Fina menunjuk ke arah depan warung. "Kamu jadi mau tanya soal kerjaan?""Iya, Mbak. Sekalian mau kenalan, biar lebih enak kalau kerja di sini." Hera berusaha menenangkan dirinya."Yaudah, duduk dulu aja, Her. Aku mau melayani pelanggan dulu, nih.""Iya, Mbak Fina
Andini sedang menjalankan tugas ke luar kota untuk mempromosikan produk baru dari perusahaannya. Dia memutuskan membawa ibunya, Ratna, dan adiknya, Athala, untuk sekaligus liburan.Dua hari Ratna dan Athala hanya duduk tenang di dalam kamar, karena Andini sibuk bekerja bersama timnha. Dan hari ini adalah waktu kosong Andini. Ia manfaatkan untuk mengajak ibu dan adiknya jalan-jalan.Setelah seharian menikmati suasana kota yang baru bagi mereka, malam itu mereka kembali ke kamar hotel dengan wajah-wajah lelah tapi puas.Athala, yang masih kecil, tampak paling bersemangat. Tawa dan celotehnya mengiringi sepanjang hari, membuat hati Andini dan Ratna hangat meski tubuh mereka terasa penat.Sesampainya di kamar hotel, Athala langsung melompat ke atas kasur. Andini masih sibuk merapikan perlengkapan kerja, sementara Ratna menyiapkan minuman hangat."Athala, sudah malam. Tidur, ya," ujar Ratna lembut sambil menepuk punggung kecil anak itu."Iya, Bu," jawab Athala, lalu menggeliat manja sebelu
Alvin meletakkan tas kerjanya dengan bunyi berdebam di kursi kamar. Raut wajahnya lelah, dan napasnya terasa berat setelah seharian bekerja. Ia membuka kancing kemejanya, mencoba menghilangkan rasa gerah, namun pandangannya langsung terpaku pada sebuah tas belanjaan di pojok kamar.Ia mendekat, menyingkap isinya, dan matanya membulat. Pakaian bayi berwarna-warni tersusun rapi di dalamnya. Ia menyentuh salah satu baju mungil itu, merasa ada sesuatu yang mengganjal."Hera!" panggilnya dengan nada tajam, memecah keheningan kamar.Hera, yang tengah bersandar di ranjang sambil menggulir layar ponselnya, menoleh dengan alis terangkat. “Ada apa sih?” tanyanya santai, meski nada Alvin membuatnya sedikit tegang.Alvin mengangkat tas belanjaan itu. “Ini semua dari mana?” tanyanya, tatapannya tajam menusuk. “Banyak sekali, dan ini pasti mahal.”Hera duduk tegak, berusaha terlihat tenang meski jemarinya saling meremas. “Aku belikan untuk persiapan bayi kita, Vin. Kebetulan ada toko baru yang buka
Sejak pulang kerja, Alvin belum juga makan malam. Biasanya sang istri mengajaknya makan bareng, tapi kali ini Hera tidak menawarkan makan sama sekali. Hera yang biasanya cerewet dan menyebalkan, kini hanya diam seribu bahasa. Alvin mengalah, pergi ke dapur sendiri.Alvin mengambil piring di rak piring, kemudian mengambil nasi di rice cooker milik Bu Rodhiah. Berbeda dengan Anisa dan Linda yang memakai rice cooker sendiri, Hera masih gabung dengan ibunya.Alvin membuka lemari makan khusus untuk tempat lauk milik Hera. Tapi ternyata nggak ada lauk sama sekali.Alvin mendengus kasar, kemudian meletakan piring yang berisi nasi ke lemari tersebut. Alvin kembali ke kamarnya.Alvin duduk dan melirik istrinya, yang sedang berbaring membelakanginya di atas tempat tidur. Dia tahu alasan di balik diamnya Hera, pasti karena dirinya yang sudah membohongi Hera. Tapi semua itu sudah terjadi, harusnya Hera belajar mengerti dan menerima keadaan."Hera," panggil Alvin pelan. Suaranya terdengar ragu. Bu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen