Meskipun tangan Vanya telah lepas dari gips, tapi Erin masih belum memperbolehkan Charlos untuk tidur bersama dengannya lagi. Dengan alasan agar tangan Vanya benar-benar pulih dulu. Kalau Charlos masih belum boleh tidur dengannya, itu artinya bertambah lagi malam-malam panjang yang dilaluinya berdua dengan Charles. Satu minggu kemarin saja sudah cukup meresahkan, apalagi kalau harus ditambah.Ia segera naik ke atas tempat tidur dan menyelimuti dirinya, sementara Charles masih di luar mengobrol dengan Frans. Otaknya terus bekerja, memikirkan sesuatu yang membuat hatinya bimbang. Ia mengambil handphonenya dan mulai mencari lagu yang cocok untuk pengantar tidur."Nah ini aja deh," ucapnya saat menemukan video yang telah ditonton berjuta-juta kali oleh orang. Ia memperbesar volume video itu dan meletakkan handphonenya di atas meja. Benar saja, baru beberapa menit mendengarkan alunan suara dari video itu membuat Vanya akhirnya tertidur. Vanya merasa tertidur sangat lama saat
Hari ini tepat satu minggu tangan Vanya di gips dan harus di cek kembali. Jam masih menunjukkan pukul tiga sore, tapi jalan sudah mulai padat merayap. Setibanya di rumah sakit mereka langsung menuju tempat praktek dokter ortopedi. Vanya duduk di ruang tunggu, sementara Charles melakukan daftar ulang pada admin yang bertugas."Dua pasien lagi katanya." Charles duduk di samping Vanya. Ia mengambil handphone dari sakunya dan membaca beberapa pesan yang masuk di aplikasi whatsappnya.Sambil menunggu antrian, Vanya membuka aplikasi sosial medianya. Matanya tertegun pada satu video yang diunggah teman sekolah menengah atasnya dulu. Sebuah video yang menceritakan tentang seorang anak yang kesepian karena ditinggal kedua orang tuanya bekerja dan ia dititip pada pengasuh yang tak sepenuhnya memberi perhatian padanya. Di akhir video, Vanya hampir meneteskan air mata karena akhirnya tragis. Dimana anak itu kehilangan penglihatan karena ditabrak oleh kendaraan yang lewat saat berma
Hari keempat dengan kondisi yang masih sama, tangan yang belum bebas untuk digerakkan. Ia kembali duduk di ruang tengah setelah kepulangan Mama yang untuk kali kedua menjenguknya. Rasanya ingin ikut pulang saja dengan Mama, tak rela berpisah."Ami, bil ini bilnya," ucap Charlos sambil membawa mobil-mobilan dan ingin duduk dipangkuan Vanya."Maaf ya anak Ami sayang, Ami belum bisa gendong-gendong Charlos dulu. Kita main di bawah aja ya," ujar Vanya sambil beralih duduk dari atas kursi menjadi duduk di lantai bersama Charlos.Baru beberapa saat menemani Charlos bermain, handphone yang diletakkannya di atas meja berbunyi."Iya, Bang," sahut Vanya. "Kamu kenapa gak ngasih tahu Abang kalau lagi sakit?”"Vanya gak apa-apa, Bang.""Gapapa gimana, kalau tangan sampai di gips," ucap Yuda dibalik telepon dengan sedikit amarah."Kamu di KDRT sama Charles?" tanya Yuda lagi."Ih Abang mulutnya sembarangan deh. Vanya itu jatuh."Yuda menghela nafas sembari mendoakan agar adiknya itu cepat sembuh.
Charles masih sibuk mengerjakan laporannya, padahal ini sudah jam lima sore. Belum lagi waktu perjalanan Bandung Jakarta yang memakan waktu beberapa jam bila ditambah dengan kemacetannya. Sambil terus menyelesaikan laporannya, ia terus melirik jam di layar laptopnya. Tak tahu kenapa hati sedikit gusar. Maunya ingin cepat pulang saja.Di kantor Vanya.Ia baru saja selesai absen pulang. Sebelum pulang ia mampir ke toko mainan yang baru buka di dekat kantornya, membelikan mainan mobil-mobilan untuk Charlos."Makasih ya, Mbak," ucap Vanya sambil menenteng bungkusan berwarna biru itu. Setibanya di depan rumah, Vanya turun dari mobil dan membuka pagar rumah."Ami … Ami …" teriak Charlos dari depan pintu rumah saat melihat Vanya yang barusan turun dari mobil tadi.Teriakan Charlos bertambah kencang saat Vanya menunjukkan bungkusan plastik pada Charlos. Senyum yang mengambang di bibir Vanya, berubah menjadi ekspresi sedikit takut saat melihat Charlos hendak menuruni
"Maaf Pak, Bapak silahkan duduk dulu." Vanya tetap berusaha tenang menghadapi nasabah yang datang dan langsung marah-marah padahal ini masih pagi. Saat Vanya mulai bicara hendak memberikan pilihan, nasabah itu bangkit berdiri dan mengambil pistolnya yang sedari tadi ia letakkan di atas meja. Tak perlu waktu lama petugas keamanan dan beberapa orang langsung mengamankan nasabah itu."Bapak silahkan ke sebelah sini," ucap satpam yang berjaga di sana dengan dibantu dua orang nasabah yang kebetulan berprofesi sebagai polisi, mengarahkan ke ruangan Pak Tri."Sakit tuh nasabah," komentar Tyas. "Kamu gak apa-apa kan?" tanya Tyas lagi."Gapapa," sahut Vanya. Ia meninggalkan mejanya sebentar, menuju toilet.Dari dalam ruangan Pak Tri, dua polisi yang ikut mengamankan nasabah tadi memperhatikan Vanya.Setelah dijelaskan oleh Pak Tri, nasabah yang mengamuk tadi akhirnya paham dan meminta maaf karena telah membuat kegaduhan di kantor ini. Ia meninggalkan tempat itu dengan di
Ia tak bicara sama sekali saat Charles mengantarnya kerja. Memandangnya saja pun tidak. Rasa kesal dan sakit di hatinya teramat menumpuk. Ia turun dari mobil dan menutup pintu dengan sedikit kencang. Charles hanya bisa menghela nafas melihat hal itu. Selesai morning briefing, Vanya dan yang lain kembali ke unit masing-masing. Ia duduk di kursinya dan mengambil handphonenya.'Pesan apa ini' tanyanya dalam hati melihat pesan yang dikirimkan Charles kemarin malam.'Besok, upacara kenaikan pangkat' gumamnya. Matanya membaca dengan teliti, mencari nama Charles diantara sekian nama yang ada di sana. Ia berdecak kagum melihat pangkat dan jabatan baru yang akan diemban Charles sekarang. Masih muda dan sangat berprestasi di pekerjaannya. ***Sebelum pulang, Vanya menemui Priska untuk minta izin masuk kerja agak siangan."Kenapa gak sekalian satu hari aja izinnya?""Gapapa, Mbak?” Vanya tak enak.“Gapapa, santai aja.”Di pos satpam, tampak Charles telah m