Mereka berdua saling tatapan, tapi saat Mexsi meringis berteriak kesakitan. Barulah Dito melepaskan genggamannya pada gadis itu. Obat itu langsung masuk ke dalam kerongkongan mulut Mexsi, membantunya mengambilkan air minum. Tak menunggu waktu lama ia tertidur, obatnya mulai bekerja.
"Huff," kata Yasmin sedikit lega. "Maksudnya apa? Untung saja kita tepat waktu, jika terlambat. Gue gak tahu apa yang akan terjadi padanya." Ia mendesah dengan penuh kesal.
"Lo belum jawab pertanyaan gue, obat apa yang barusan aja lo kasih ke Mexsi?" tegas Dito kembali bertanya padanya.
"Bukan urusan lo," ucap Yasmin mencibir.
"Yasmin gue bertanya demi kebaikan Mexsi, karena gue peduli sama Mexsi," ucap Dito dengan tegas menatapnya. Dengan satu sentakan kaki Yasmin menoleh ke arahnya. "Gue cuma mau lo jadi gadis baik-baik, meski lo nggak inget gue. Tapi gue bakal selalu jadi teman baik lo." Dito menc
Ada perubahan jadwal update, jadi setiap minggunya update 3 bab... Maaf atas perubahan yang mendadak ini ಥ‿ಥ See you, next part ➡️
Keyla menutup diri rapat-rapat. Ia sama sekali tidak mau berangkat sekolah, yang dilakukannya hanyalah menangis sambil tiduran. Makan saja harus dipaksa ibunya, terkadang Keyla melempar makanan yang di bawa ibunya. Keadaannya semakin lama semakin menjadi saja, menolak untuk berpikir panjang, menolak untuk merasakan rasa sakitnya sendiri. Mengunci rapat-rapat mulutnya beserta pintu kamarnya. Suatu hari ibu Keyla mengetuk pintu beberapa kali. Tapi putrinya tak menjawab sama sekali, ibu Keyla mulai panik. Dia mencoba menghubungi seseorang, yaitu Will temannya. "Tante ada apa? Kenapa wajah Tante begitu cemas?" tanya Will sambil berlari kecil ke arahnya. "Keyla, dia tidak mau keluar. Bahkan tidak menjawab Tante, tolong dobrak pintunya Will." Ibu Keyla memohon padanya. "Tenanglah Tante, tapi saat pintunya terbuka. Bolehkah saya bicara berdua dengan Keyla?" Will kembali bertanya karena ada hal pentin
Ibu Keyla menyiapkan makan malam untuk putrinya. Tetapi Keyla tetap tidak ingin makan apapun, dia hanya melamun sambil menatap lurus ke luar jendela. "Keyla Mama boleh bertanya sesuatu?" tanya ibunya pelan namun, tak digubris sedikit pun olehnya."Mama tidak sanggup melihatmu seperti ini terus Nak, bisakah kamu melupakan Mexsi dan membuka lembaran hidup baru bersama Mama?" ibu Keyla memeluknya dari belakang. Barulah Keyla sadar bahwa ibunya saat ini sedang memeluknya sambil menangis. Seandainya saja Keyla bisa mengatakan kata maaf, tapi itu saja tidak cukup. Terlalu berat, terlalu sulit untuk dimaafkan.***Diperjalanan menuju rumahnya. Ibu Mexsi mendengar suara ribut-ribut dari depan rumahnya, ia turun dari mobil bertanya apa yang sedang terjadi. Seorang ibu parubaya seumuran dengannya memegang tangannya, sambil menatapnya dengan tatapan sedih dan memohon. Ibu Mexsi tidak mengenal dia sama sekali, t
Setelah beberapa hari Keyla terdiam sambil merenung, membayangkan kesalahan demi kesalahan yang ia perbuat pada seseorang yang dicintainya. Keadaannya kini sudah mulai membaik, ibunya duduk di meja makan. Keyla juga ikut duduk, ibunya menyiapkan makanan kesukaannya yaitu bakso. Saat Keyla memakan bakso itu entah kenapa air matanya jatuh seketika, ibu Keyla kaget dengan hal itu. Ibunya langsung berdiri memeluk putrinya, tanpa kata apapun di sana. Hanya sebuah pelukan yang berisi kekuatan menjalani hidup, bakso adalah salah satu kenangan yang paling indah saat bersama ayahnya. Bakso juga mengingatkannya pada saat ayahnya tiada, ia tak mengerti. Kenapa harus dia? Kenapa harus terjadi pada keluarganya? Suara bel rumahnya memecahkan keheningan, ibu Keyla membukakan pintu. Will langsung masuk ke dalam rumahnya, tersenyum menatap Keyla. "Hallo Tante selamat pagi, hallo Keyla selamat pagi," kata Will tersenyum kembali seolah-olah tak terjadi apapun. Will hanya ingin membalik
Kenapa terlihat berbeda, waktu pertama kali mereka jadian, Will selalu menggenggam tangannya dengan sangat erat. Tapi kali ini, Tina merasa sedikit demi sedikit perilaku Will sangat berbeda padanya, bahkan sekarang pun lelaki itu tak menoleh ke arahnya. Tidak, Tina tidak bisa diam saja. Apapun jawabannya, dia harus tetap tenang. "Kamu mau bicara apa denganku, sebentar lagi bel masuk. Hanya tersisa lima menit saja," kata Will melihat jam tangannya. "Bisakah kau tatap wajahku," kata Tina melirik ke arahnya. Tentu saja Will yang tidak tahu maksud Tina. Dia hanya bisa menatap ke dalam matanya. "Terima kasih sudah menatapku, aku harus bertanya. Dan jawab dengan jujur semua pertanyaan yang aku ajukan padamu." "Tina tunggu dulu, kamu sebenarnya mau tahu tentang hal apa? Kenapa kau hampir menangis?" tanya Will. "Itu tidak penting. Kau tahu, aku sangat mencintaimu. Jadi, apapun yang kau lakukan aku harus tahu, tapi jika aku rasakan perasaanmu mul
"Gak apa-apa," Tina berbohong lagi. "gue hanya kurang enak badan, gue mau ke ruang UKS." Keyla langsung memapahnya. Mengantarkan Tina ke ruang UKS, sempat Tina menolak tapi dengan tegas Keyla tetap memegang tangannya sampai di sana. "Keyla, bisakah lo tinggalin gue sendiri. Gue benar-benar ingin sendirian aja," kata Tina menundukkan kepalanya. "Baiklah, jangan terlalu bersedih." Setelah mengatakan hal itu Keyla pergi dari sana. Tina menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, ia menangis. Mencoba untuk mengurangi suara tangisannya dengan cara membekap mulutnya sendiri, Keyla tidak benar-benar pergi dari sana. 'Tina pasti sangat menderita, apa yang sebenarnya terjadi antara Tina dan juga Will?' Tepat di depan kelas Will berpapasan dengan Keyla, mereka saling bertatapan sesaat. Keyla hanya bisa pergi dari sana, Will memegang lengan kanannya ingin mengatakan sesuatu. "Ada apa Will?" tanya Keyla dengan wajah biasa saja. "Apa lo baik-baik saja
Will mengangkat wajahnya menatap Padil. "Bagaimana pun juga, gue sama Keyla berpisah bukan karena kesalahan, bukan karena sudah tak saling mencintai lagi. Tapi kami harus berpisah karena terpaksa, kalau lo diposisi gue lo pasti bisa mengerti kenapa gue lakukan semua ini." "Tapi tetap saja, semua itu gak benar. Gak seharusnya lo menyakiti wanita yang jelas-jelas sangat menyukai lo, Will gue tahu betul seharusnya gak ikut campur dalam masalah kalian. Namun, Tina hanyalah wanita yang membutuhkan sosok lelaki yang mencintainya dengan tulus. Tapi lo, malah mempermainkan ketulusan hatinya." Padil menyandarkan tubuhnya ke pagar. "Sekarang Tina pasti benci banget sama lo." Lanjutnya menghela napas berat. "Itu jauh lebih baik, daripada harus mencintai orang seperti gue." Perkataan Will cukup untuk membuat Padil tercengang dengan jawabannya. Setelah itu Padil turun terlebih dahulu, sedangkan Will masih ingin sendirian di atas sana. "Woeeeey! Nih liat gue bawa m
Setelah mendengar hal itu dari Tino dan didukung oleh Padil sang ketua kelas. Jadi semua orang berbondong-bondong pergi ke kantin, dan langsung memesan makanan mereka. Entahlah Tina harus bersedih atau bahagia, melihat teman-teman tertawa dan bangga. Bisa makan secara gratis di sana, sekarang hanyalah tinggal memikirkan harus bayar pakai apa? Ino melirik ke arah Tina. Yang mungkin saat ini sedang pusing, harus berbuat apa mengetahui baru putus hubungan dengan kekasihnya. "Ibu bolehkah kita bicara?" tanya Ino menarik tangan ibunya. Ibunya menoleh. "Ada apa?" Ini berbisik pada ibunya. "Oh, baiklah. Karena dia temanmu, katakan saja padanya ibu tidak keberatan." Ibunya hanya ingin mencoba mengerti maksud putrinya. Kepala Tina semakin pusing saja. Melihat Tino tak henti-hentinya memesan makanan, ia berdiri dari tempat duduknya ingin secepatnya memberi Tino pelajaran. "Tina, ada yang gue mau bicarakan sama lo," kata Ino mencoba berbisik padanya. "Apa itu?" jawab Tina berbisik kembali p
"Lo mau apa lagi, dari gue? Semuanya udah lo rampas. Senyuman gue juga gak ada artinya lagi." Tina terus memberontak, ingin secepatnya mengakhiri tingkah bodohnya itu.Will langsung memeluknya. "Aku gak tahu harus gimana lagi, aku gak tahu harus memakai cara apalagi? Aku juga tidak tahu bagaimana caranya, agar kamu mau memaafkan kebodohanku ini."Tina mendorong tubuh Will menjauh darinya. "Tidak ada, yang perlu kamu lakukan hanyalah diam saja. Meski jauh di dalam lubuk hatiku sangat membencimu Will, tapi sebenarnya aku masih mencintaimu. Jadi jangan lakukan apapun, lupakan saja semuanya. Biarlah lukaku ini sembuh dengan sendirinya, dengan berjalannya waktu." Akhirnya Tina berani mengatakan hal itu padanya.Tentu saja kata-kata Tina sedikit membuat hati Will merasa lega. Setidaknya Will merasa Tina sedang mencoba mengampuni dirinya sendiri, meskipun lelaki itu belum tahu kebenarannya. Apakah Tina telah memaafkannya atau tidak? Tapi yang jelas hal itu sudah tidak penting baginya. Yang t