Saat cinta tinggal nama, dan janji tinggal luka, seorang istri memilih pergi bukan karena menyerah—tapi karena sudah tak lagi dipilih. “Setelah Kamu Pilih Dia” adalah kisah tentang kehilangan yang terjadi saat seseorang yang dicintai justru memilih orang lain. Tentang seorang perempuan yang diam-diam menyimpan tangis, saat suaminya—yang pernah bersumpah tak akan meninggalkan—kini memeluk wanita lain. Ini bukan cerita tentang memohon agar dicintai kembali. Ini tentang bangkit, tentang menerima pahitnya pengkhianatan, dan tentang belajar mencintai diri sendiri—setelah ditinggalkan oleh orang yang pernah berjanji untuk tinggal selamanya.
ดูเพิ่มเติมHujan deras mengguyur Jakarta malam itu. Langit menggantung gelap tanpa celah, seolah ikut menyembunyikan luka yang tak terucap. Angin kencang menampar kaca jendela apartemen dengan kerasnya, bersaing dengan denting jarum jam yang terasa begitu nyaring di tengah keheningan.
Dinda berdiri di dapur. Tangan kirinya menggenggam gelas berisi air hangat yang sejak sejam lalu tak lagi ia sentuh. Uapnya sudah hilang. Hangatnya pun lenyap, menyisakan cairan hambar yang tak lagi punya rasa—seperti hatinya malam itu. Dari balik kaca, lampu-lampu kota terlihat kabur, tertutup kabut tipis. Udara terasa lembap dan dingin, namun bukan itu yang membuat tubuh Dinda menggigil. Jam dinding menunjukkan pukul 23.15. Arsen belum juga pulang. Dinda menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang tak beraturan. Bukan karena ia khawatir Arsen celaka, dan bukan pula karena takut pria itu tak kembali. Tapi karena Dinda tahu… malam ini akan menjadi malam terakhir. Malam yang tak lagi bisa ditunda, malam ketika semuanya harus dihadapi. Hari ini, semua menjadi terang. Segala kebohongan yang selama ini ia abaikan. Tanda-tanda yang pura-pura tak ia lihat. Semuanya menamparnya tanpa ampun. Dan hujan—sialnya—seolah ikut menertawakan dirinya. Di meja makan, tiga piring lauk favorit Arsen masih tersaji rapi. Tumis kangkung, ayam goreng lengkuas, dan sambal terasi. Dinda memasaknya sejak sore, berharap ada keajaiban yang membuat Arsen pulang lebih awal. Harapan konyol yang masih ia genggam erat, meski hatinya tahu betul—itu takkan terjadi. Sudah lebih dari enam jam sejak pesan terakhir dari Arsen muncul di layar ponselnya. “Maaf, lembur. Ada rapat mendadak.” Kata-kata yang dulu mungkin meyakinkan, kini terasa seperti gumpalan asap tipis—menyesakkan tapi tak lagi bisa dipegang. Dinda tahu di mana Arsen berada. Dan dengan siapa. Sore tadi, saat hujan mulai turun, ia mampir ke minimarket dekat kantornya. Sekadar membeli kopi instan. Hal sepele—yang tanpa diduga justru menjadi titik runtuh segalanya. Di parkiran, matanya menangkap mobil hitam yang sangat ia kenali. Mobil Arsen. Awalnya Dinda hanya berjalan melewatinya. Tapi saat menoleh, jantungnya serasa berhenti berdetak. Arsen. Dan seorang perempuan. Mereka duduk di dalam mobil sambil tertawa. Saling menyuapi makanan cepat saji. Dan yang paling menusuk tangan Arsen menggenggam tangan wanita itu dengan hangat. Seolah dunia hanya milik mereka berdua. Seperti dulu… saat hujan pertama mereka sebagai suami-istri. Saat duduk di balkon kontrakan kecil, berbagi kopi instan di bawah payung biru robek yang kini entah di mana. Dinda tidak menangis saat itu. Ia hanya berdiri membeku. Gemetar. Pandangannya kosong hingga mobil itu pergi. Hingga pikirannya berhenti berdengung dan dadanya kembali bisa bernapas. Dan kini, ia kembali ke sini. Di dapur apartemen yang dulu mereka bangun bersama. Sendirian. Pintu depan terbuka. Suara kunci diputar pelan, disusul langkah kaki yang sudah sangat dikenalnya. Aroma parfum Arsen menyeruak, memenuhi ruangan yang tadinya sunyi. “Selamat malam.” Suara itu berat, tapi datar. Tak ada rasa bersalah, seolah dunia masih baik-baik saja. Dinda hanya menoleh sekilas. Wajah Arsen basah oleh sisa hujan. Jaketnya meneteskan air. Tapi sorot matanya tenang. Terlalu tenang. “Maaf, lembur.” Kebohongan yang sama. Nada yang sama. Tapi malam ini, Dinda tak ingin lagi percaya. Ia bisa saja menumpahkan semuanya saat itu juga. Bisa berteriak, mencaci, melempar gelas di tangannya. Tapi ketika luka terlalu dalam, seseorang tak lagi punya energi untuk marah. “Udah makan?” tanyanya datar. Arsen tampak ragu, seolah tak menyangka Dinda masih menyiapkan makan malam. “Belum… Makasih ya.” Ia melepas sepatu, lalu duduk di meja makan. Dinda memanaskan lauk, menyusunnya kembali, lalu duduk di seberangnya. Mereka makan dalam diam. Tak ada percakapan, tak ada tawa, tak ada cerita. Hanya suara sendok yang menyentuh piring dan hujan yang terus mengguyur dunia luar. Arsen beberapa kali melirik ke arah Dinda. Tapi perempuan itu tak menggubris. Wajahnya tenang. Terlalu tenang—dan justru itulah yang paling menakutkan. Beberapa menit kemudian, Dinda meletakkan sendok. Tangannya menggenggam erat di pangkuan. “Arsen.” Pria itu menghentikan suapannya. “Ya?” “Aku mau tanya satu hal.” Arsen mengangguk pelan, terlihat bersiap untuk sebuah ledakan. “Kamu masih cinta sama aku?” Arsen terdiam. Sendok di tangannya menggantung di udara. Matanya tak berani menatap langsung. “Kenapa nanya kayak gitu?” “Jawab aja,” suara Dinda tak meninggi, tapi ada ketegasan yang tak bisa disangkal. “Aku… aku nggak tahu.” Tiga kata itu menampar lebih keras dari segala teriakan. Tapi Dinda tak menangis. Ia hanya diam. Tak perlu jawaban lain. Tak perlu alasan. Cinta, ia tahu, tak selalu berakhir dengan kata pisah. Kadang, cinta berakhir diam-diam, seperti lampu yang padam perlahan. Malam itu, mereka tetap tidur di ranjang yang sama. Tapi terasa seperti dua dunia yang tak lagi saling mengenal. Arsen memunggungi Dinda. Diam. Sementara Dinda menatap ke luar jendela. Hujan belum juga reda. Lampu jalan memantul di kaca, menciptakan bayangan seperti mimpi buruk yang terlalu nyata. Air matanya jatuh. Tanpa suara. Bukan karena masih berharap Arsen kembali mencintainya. Tapi karena ia tak pernah menyangka cinta bisa mati secepat itu. Dan dalam diam, Dinda tahu. Ini malam terakhir. Malam terakhir ia menunggu seseorang yang tak lagi pulang. Besok pagi, ia akan pergi. Bukan untuk membalas. Tapi untuk menyelamatkan dirinya sendiri.Malam itu, hujan turun pelan. Rintiknya menari lembut di kaca jendela kamar mereka. Dinda duduk di tepi ranjang, tangan mengelus perutnya yang kini membulat lembut. Kehamilannya telah memasuki bulan keempat. Perubahan mulai terasa, tak hanya pada tubuh, tapi juga pada isi hati.Rayhan keluar dari kamar mandi dengan handuk di bahu, wajahnya tampak segar. “Ngantuk?”Dinda menggeleng pelan. “Enggak. Bayinya lagi aktif banget geraknya. Rasanya kayak ada kupu-kupu beterbangan di dalam.”Rayhan tersenyum, lalu duduk di sampingnya. Tangannya perlahan menyentuh perut Dinda, penuh takzim. “Masya Allah… itu berarti dia senang. Mungkin dia tahu ayahnya lagi di dekatnya.”Dinda tertawa kecil. “Atau mungkin dia protes karena tadi aku makan sambel.”Rayhan mengernyit. “Kamu makan pedas lagi? Dinda…”“Cuma sedikit. Lagian katanya boleh asal nggak berlebihan.”Rayhan mendesah, tapi tak melanjutkan. Ia hanya mencium kening Dinda, lalu menyandarkan dagunya di pundak istrinya. Dalam diam mereka saling m
Dinda duduk di tepi jendela kamar sambil memegang hasil USG yang baru diambil pagi tadi. Cahaya matahari menyelinap melalui tirai, memantulkan bayangan halus di pipinya yang mulai sedikit membulat. Di tangannya, kertas abu-abu itu bergetar pelan—bukan karena takut, tapi karena haru.Sosok kecil yang terlukis samar di sana bukan lagi sekadar mimpi. Itu nyata. Ada kehidupan yang tumbuh di dalam dirinya, dan itu membuatnya lebih kuat dari sebelumnya.Rayhan masuk ke kamar membawa semangkuk buah potong. Ia menaruhnya di meja kecil lalu duduk di samping Dinda. Tatapannya jatuh pada kertas di tangan istrinya. “Boleh aku lihat lagi?”Dinda menyerahkannya sambil tersenyum. “Kamu udah lihat tadi pagi.”“Belum puas,” gumam Rayhan sambil menatap gambar itu seolah itu adalah peta menuju harta karun.Ia mengusap perut Dinda yang masih datar, lalu mendekatkan bibirnya dan berbisik, “Hai kamu di dalam sana. Ini ayahmu. Kamu jaga ibu baik-baik, ya.”Dinda mengerjap, air mata tanpa izin mengalir dari
Minggu pagi itu, udara Jakarta masih segar saat Rayhan dan Dinda tiba di rumah orang tua Rayhan. Dinda menggenggam jemarinya erat, seolah meminta keberanian tambahan. Perutnya belum terlihat membesar, tapi hatinya sudah dipenuhi dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Di ruang tamu, ibunda Rayhan tengah menyiram bunga-bunga hias di pojok ruangan. Begitu melihat mereka datang, wajah wanita paruh baya itu langsung berseri.“Dinda, Rayhan! Tumben pagi-pagi banget ke sini,” ucapnya sambil mengelap tangan.Rayhan menarik napas pelan. Ia menoleh ke Dinda sejenak, seolah meminta izin. Kemudian, dengan suara tenang tapi penuh getar, ia berkata, “Bu, kami mau kasih kabar baik.”Ibunya berhenti sejenak. “Kabar apa?”Dinda mengeluarkan satu amplop kecil dari tasnya, lalu menyerahkannya. Di dalamnya, ada salinan hasil tes laboratorium dan satu foto kecil hasil USG yang belum terlalu jelas, tapi cukup untuk membuat seorang ibu mengerti.Sesaat hening. Mata ibunya berkedip-kedip
Pagi itu, Dinda terbangun dengan rasa aneh di tubuhnya. Kepalanya sedikit pening, perutnya mual, dan indera penciumannya tiba-tiba sangat sensitif — bahkan bau kopi kesukaan Rayhan yang biasanya ia nikmati, kini membuat perutnya bergejolak.Rayhan yang baru saja keluar dari kamar mandi, menatapnya heran. “Din, kamu nggak apa-apa? Mukamu pucat.”Dinda hanya mengangguk sambil menutupi mulut dengan tangan. Ia buru-buru menuju kamar mandi. Sesampainya di sana, ia memuntahkan semua isi perutnya. Untuk sesaat ia mengira mungkin hanya masuk angin biasa. Tapi saat tubuhnya bersandar di dinding kamar mandi, ia teringat sesuatu.Siklus bulanan. Terakhir kali datang… kapan ya?Setelah membersihkan diri, Dinda berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang pucat. Hatinya berdegup tak karuan. Ia mengambil ponsel dan membuka aplikasi kalender.Dua minggu terlambat.Dengan tangan sedikit gemetar, Dinda mengambil kunci motor dari meja, lalu berkata cepat, “Aku keluar sebentar, Han.”Rayhan mengerutka
Langit pagi di akhir pekan itu mendung, tapi hati Dinda terasa hangat. Ia duduk di meja makan kecil sambil menyesap teh jahe buatannya sendiri. Di hadapannya, Rayhan sedang membaca dokumen kerja di laptop, sesekali mengernyitkan dahi karena konsentrasi.“Kalau kamu terus nyipit begitu, nanti garis halusnya nambah, lho,” goda Dinda sambil tersenyum.Rayhan menoleh pelan, matanya lelah tapi bahagia. “Nggak papa, asal ada kamu yang ngingetin pakai cara manis begitu.”Dinda tertawa kecil. Beberapa bulan setelah pernikahan sederhana mereka, hidup berjalan tanpa banyak letupan. Tapi justru di kesederhanaan itu, Dinda merasa semakin kuat. Tidak ada drama besar. Tidak ada luka baru. Hanya dua orang yang belajar menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri — bersama.“Eh, Din,” panggil Rayhan tiba-tiba. “Hari ini kita ke mana?”Dinda meletakkan cangkirnya. “Hmm… aku pengin ke toko buku kecil yang baru buka di ujung jalan. Katanya, mereka punya rak khusus penulis lokal.”Rayhan menutup laptop
Pagi itu Dinda terbangun dengan rasa damai. Bukan karena mimpinya indah, tapi karena kenyataannya sudah tak lagi menyakitkan. Di sampingnya, Rayhan masih terlelap. Nafasnya pelan, tubuhnya hangat. Dinda tersenyum kecil lalu turun dari ranjang, berjalan pelan menuju dapur.Ia membuatkan kopi seperti biasa, dua gelas. Satu hitam pekat tanpa gula — untuk Rayhan. Satu lagi, latte ringan dengan bubuk kayu manis tipis di atas busanya — untuknya.Meja makan pagi itu dipenuhi cahaya matahari yang masuk dari sela tirai. Dinda menyalakan radio kecil di pojok dapur, lalu duduk sambil membuka laptop. Ia melanjutkan bab keempat dari naskah novel yang sedang ia tulis. Kali ini, cerita fiksinya terasa sangat pribadi — seperti menulis ulang hidupnya sendiri dengan cara yang berbeda.Setelah beberapa menit, suara langkah pelan terdengar. Rayhan muncul dari lorong kamar, masih dengan rambut acak dan mata setengah terbuka.“Pagi,” gumamnya serak.“Pagi juga. Kopi udah aku siapin,” ujar Dinda, masih mena
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น