RAHASIA CALON MERTUA

RAHASIA CALON MERTUA

Oleh:  Reinee  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
25Bab
7.9KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Menjelang pernikahannya yang hanya tinggal menghitung hari, Nana justru dihadapkan pada sifat-sifat asli calon ibu mertua dan adik-adik iparnya. Akankah dia bertahan untuk tetap menjadi pendamping Alvin ataukah dia justru menyerah?

Lihat lebih banyak
RAHASIA CALON MERTUA Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
25 Bab
PART 1
[Dek, nanti bisa tolong mampir ke rumah sebentar nggak sepulang kerja?] Pesan dari Mas Alvin, calon suamiku, yang terkirim ke ponselku pagi ini saat aku baru saja tiba di kantor tempatku bekerja. [Ke rumah Mas Alvin? Memangnya ada apa, Mas?]  [Aku hari ini ada lembur mendadak, mungkin pulang malam. Padahal tadi aku udah janji sama bapak mau nganterin periksa ke dokter. Kamu bisa kan gantiin mas anterin bapak?] [Ooh, iya bisa. Memangnya bapak sakit apa, Mas? Trus, periksa ke dokter mana?] Dan Mas Alvin pun menuliskan alamat praktek si dokter tempat biasa calon bapak mertuaku memeriksakan sakit lambungnya yang katanya memang sering bermasalah. Karena takut terlambat membawa calon bapak mertuaku ke dokter, sore itu pun aku pulang sedikit lebih awal dan langsung meluncurkan mobilku ke rumah orang tua Mas Alvi
Baca selengkapnya
PART 2
Aku baru saja keluar dari kamar mandi saat ponsel yang kuletakkan di atas nakas samping tempat tidur berbunyi.  "Ya, Mas?" sapaku dengan sedikit malas.  "Sudah sampai rumah, Dek?" tanya mas Alvin dari seberang. "Sudah, Mas. Ini baru selesai mandi." "Mas masih di jalan. Bentar lagi juga nyampe rumah. Oya, tadi biaya periksa bapak habis berapa? Aku baru saja telpon ibu katanya kamu yang bayarin?"  "Oh, itu. Iya, Mas. Nggak apa-apa kok. Ya udah, mas nyetir aja dulu jangan sambil telponan ah, bahaya lho," ujarku mengingatkan. "Nggak apa-apa, bentar lagi nyampe rumah kok. Ini udah masuk perumahan. Jadi berapa tadi habisnya, biar sampai rumah nanti mas langsung transfer, Dek." "Udah nggak usah, Mas. Cuma berapa sih. Ya udah mas buruan pulang trus istirahat gih. Nanti aja t
Baca selengkapnya
PART 3
"Mbak Nana, gimana apakah sudah ditransfer uangnya? Ibu tunggu lho ya." Duuuh, bagaimana ini baiknya? Apa aku harus memberitahunkannya pada ibu? Tapi dari kata-kata ibu tadi, sudah jelas ibu tidak ingin pernikahan ini sampai batal. Semuanya menyangkut nama baik keluarga karena undangan sudah terlanjur disebar.  "Bu," kuketuk pelan kamar ibu pada akhirnya setelah selesai mencuci peralatan makanku.  Tak berapa lama pintu kamar pun terbuka. Ibu nampak sudah berganti kostum dengan baju tidurnya. "Ada apa, Na?" "Boleh ngomong sebentar enggak?" tanyaku sedikit ragu. Ibu menoleh ke dalam sejenak. Aku pikir dia pasti sedang meminta ijin bapak untuk keluar kamar. Tak lama setelah itu, ibu pun keluar sambil menutup pintu kamar rapat-rapat.  Aku menyeret tangan ibu ke serambi r
Baca selengkapnya
PART 4
Hari minggu itu rumah bapak dan ibu terlihat ramai. Dua kakak perempuanku dan keluarganya datang untuk membahas kembali acara pesta pernikahanku dan mas Alvin.  Usai berbincang serius selama kurang lebih dua jam bersama bapak dan ibu, kami pun para wanita bergegas ke dapur membantu ibu yang sudah dari beberapa menit yang lalu meninggalkan kami untuk menyiapkan makan siang. Aku langsung menuju ke meja makan untuk menata peralatan untuk makan siang. "Alvin nggak ke sini, Dek?" tanya mbak Dewi, kakak sulungku, sembari mengambil lap untuk membantuku di meja makan.  "Nggak tau, Mbak. Nanti mungkin," jawabku asal-asalan.  "Lah ini calon pengantin kenapa sih kok males-malesan gini? Udah mau nikah masih main ngambek-ngambekan juga sama calon suaminya?" tebak mbak Dewi melihatku tak bersemangat "Adikmu lagi galau, Wi'? Sudah, biarka
Baca selengkapnya
PART 5
Dari sejak semalam setelah mentransfer uang yang dipinjem oleh ibunya mas Alvin, rasanya aku memang agak malas memegang ponselku lagi. Hingga sore itu saat mbak Dewi dan mbak Rida serta keluaraganya berpamitan, aku baru masuk kamar untuk melihat ponselku lagi.  Ternyata sudah banyak sekali notifikasi di sana.  Teman-temanku yang tiba-tiba pada merasa kehilangan karena aku tak ikutan nimbrung di group chat, ucapan terima kasih dari calon mertuaku karena uang sudah kutransfer, mas Alvin yang menanyakan kabarku dan memberitahu bahwa dia sedang lembur masuk kerja hari ini, dan apa ini? Pesan dari adiknya mas Alvin? Dian bahkan ini padahal tak menyimpan nomer ponselku. Lalu Vita, adik ipar mas Alvin, yang tiba-tiba juga basa basi menanyakan aku sedang apa hari ini. Rasanya agak aneh karena sebelumnya mereka tidak menyimpan nomerku dan tiba-tiba story mereka sudah ada di whatsappku hari ini.  
Baca selengkapnya
PART 6
"Jadi kamu pengen tinggal sendiri setelah kita nikah nanti?"  Mas Alvin memandangku dengan tatapan serius setelah mendengarkan keinginanku seperti yang disarankan ibu. Dan aku hanya mengangguk menanggapinya. "Apa benar alasannya hanya agar kita bisa belajar mandiri, Dek? Nggak ada alasan yang lainnya?" Mas Alvin semakin serius menatapku. Kali ini aku menggeleng ragu.  "Maaf kalau pertanyaan mas sedikit memaksa. Soalnya ini sudah keluar dari kesepakatan kita waktu itu kan? Dulu kita sudah berencana tinggal di rumah orangtuaku barang satu atau dua tahun dulu sampai kita punya cukup uang untuk membeli rumah. Kan kamu sendiri yang bilang nggak waktu itu kan, Dek?" "Iya, mas. Tapi sekarang aku berubah pikiran. Aku mau kita tinggal sendiri saja. Sekalian mau latihan mandiri," ucapku beralasan. "Dan itu artinya kita harus mengeluarkan
Baca selengkapnya
PART 7
Seminggu setelah aku transfer uang ke ibunya mas Alvin, belum juga ada kabar tentang apakah akan dikembalikannya uang itu atau tidak. Tidak ada pesan atau telepon dari wanita 50 tahunan itu yang memberitahu soal uang yang dipinjamnya.  "Gimana? Apa sudah ada kabar dari ibunya Alvin?" tanya ibu setengah berbisik malam itu usai kami membereskan peralatan makan malam kami. Aku menggeleng dan mengedikkan bahu.  Ibu nampak terdiam, dahinya berkerut seolah sedang berpikir.  "Masalah usul ibu waktu itu, sudah kamu bicarakan dengan Alvin kan?" "Yang nyari rumah kontrakan?" tanyaku balik.  "Iyaa." "Sudah, bu. Kemarin sepulang kantor kami juga sudah melihat-lihat beberapa rumah kontrakan yang cocok." "Berarti Alvin setuju kan kalian tinggal misah dari orangtuanya?" 
Baca selengkapnya
PART 8
Usai mengurus ayahnya, mas Alvin yang nampak lelah berpamitan padaku untuk membersihkan diri. Aku pun berjalan ke depan, menunggunya duduk di kursi teras.  Lima belas menit kemudian dia sudah rapi dengan celana jeans dan kaos oblong warna hitamnya. Sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Calon suamiku ini memang tampan. Rasanya tidak mungkin lagi aku bisa mendapatkan lelaki yang lebih tampan darinya. Bapak saja selalu bilang kalau aku ini adalah anaknya yang paling beruntung, mendapatkan suami yang tampan dengan pekerjaan mapan seperti mas Alvin. "Sudah, mas?" tanyaku.  "Sudah. Nginep di sini aja ya, dek? Ini kan udah malem. Besok libur kan?" ucapnya sambil menunjuk arloji di tangannya.  "Nggak ah mas. Nanti bapak sama ibu bingung aku nggak pulang. Lagipula aku juga nggak bawa baju ganti," kilahku. Padahal aku memang tak biasa menginap di rum
Baca selengkapnya
PART 9
"Memangnya berapa bu biaya untuk ambil jahitan seragamannya?"  Meskipun jengah, aku tetap penasaran juga berapa sih biaya untuk mengambil jahitan baju seragam pernikahan, sampai-sampai calon ibu mertuaku ini harus meminjam uang lagi. "Sekitar empat juta gitu lah mbak untuk tiga baju, ibu, Dian sama Vita."  "Hah? Sebanyak itu untuk jahitan saja?" Aku terbengong.  "Iya mbak, kan kita jahitkan bajunya di penjahit yang bagus, biar nanti hasilnya bagus. Juga nggak akan malu-maluin keluarganya mbak Nana kalau kita pakai ke sana. Ya kan?" kilahnya.  Aku menghela nafas panjang sebelum akhirnya bicara lagi. "Maaf, bu. Bukannya saya tidak mau meminjami, tapi uang saya juga saya pakai untuk keperluan pernikahan. Saya juga harus membantu orangtua saya," kataku berdalih. "Ta
Baca selengkapnya
PART 10
Usai memarkirkan mobil dengan kasar, Alvin membanting pintu mobilnya dengan keras hingga membuat seisi rumah kaget dibuatnya, termasuk Elman dan keluarganya yang rupanya baru pulang dari berjalan-jalan ke tempat hiburan.  "Ibu mana?" tanya Alvin sambil berjalan tergesa masuk ke dalam rumah saat melihat keluarga adik lelakinya itu sedang membongkar barang belanjaan di ruang tengah.  "Ada apa sih, Mas?" Elman sedikit khawatir melihat kakaknya datang dengan raut muka penuh amarah.  "Ibu! Ibu!"  Alvin terus berjalan berkeliling sambil memanggil-manggil ibunya. Tangannya sibuk membuka satu per satu pintu ruangan di dalam rumah. Lalu tak lama kemudian ibunya pun muncul bersama Dian dari kamar adik perempuannya itu.  "Ada apa Vin? Kok datang-datang ribut?" tanya wanita itu, nampak tidak suka dengan sikap anak sulungnya y
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status