Hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia menjadi hari paling menyedihkan bagi seorang gadis yang bernama Hana. Calon mempelai pria memutuskan untuk membatalkan pernikahan mereka pada hari H karena suatu hal. Keluarga Hana sampai putus asa dan bersedih, hingga Pria saudara dari Hana membawa sebilah parang naik ke atas pelaminan untuk menentang calon suami yang rumahnya tepat ada di depan rumah mereka, sayang pria pengecut itu telah pergi. Saudara Hana membuat sayembara barang siapa yang mau menikahi adiknya, menggantikan pengantin pria akan diberikan mobil mewah. Tanpa diduga maju seorang pria bernama Hada dengan pernuh keyakinan. Ia menawarkan diri untuk menjadi pengantin pengganti di sana. Akhirnya Hana menikah dengan pria asing yang bernama Hada. Pihak keluarga mengucapkan terimakasih karena Hada mau menggantikan posisi tunangan Hana. Hanya saja semua merasa heran saat Hada menolak hadiah mobil mewah pemberian keluarga Hana. Di malam pengantin, Hana baru menyadari kalau ternyata Hada adalah pria di masa lalunya. Saat SMP Hana sempat menolak Hana mentah-mentah karena saat itu pria itu sangat jelek dan dekil. Hada memang sejak dulu menaruh hati pada sosok Hana. Kejutan terjadi saat Hana mendengar pengakuan Hada kalau dia ternyata seorang office boy di universitas Hana menimba ilmu. Gadis itu merasa malu karena ternyata suaminya hanya seorang petugas kebersihan sekolah. Hada mengajak Hana untuk tinggal di rumahnya. Di sini Hana juga baru tahu, kalau ternyata Hada tinggal di rumah yang sangat sederhana dan ibunya seorang tunanetra. Gadis itu terenyuh melihat keadaan ibu mertuanya. Saat akan tidur, Hada meminta Hana tidur di atas kasur, sementara ia tidur di atas ambal. Laki-laki itu tidak memaksa Hana supaya mau melayaninya sebagai seorang istri. Di sini Hana mengatakan kalau ia tidak ingin semua orang yang ada di kampus tahu kalau ternyata mereka adalah pasangan suami istri. Dengan terpaksa Hada menyanggupi. Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Di jamin seru!
View MoreSeorang wanita sedang duduk dan bercanda tawa dengan sahabatnya, dia pun benar-benar sangat senang saat bersama sahabatnya.
"Rin, lo bahagia kan?" tanya Keyla pada sahabatnya itu.
Irin tersenyum tipis, teringat yang telah berlalu namun masih membekas luka di hatinya dan mungkin tak akan pernah bisa terhapus. Luka yang sangat menyayat hati, luka yang benar-benar membuat hidupnya merasa hancur.
"Lo nggak usah khawatirin gue, Key. I'm okay," Irin menggenggam tangan Keyla dengan senyuman manisnya.
"Tapi, gue khawatir lo nggak akan bahagia. Kalo emang nggak suka, lebih baik lo tolak aja," ujar Keyla memberi saran.
"Tenang aja ya, Key. Gue nggak bakal diem aja kok, tapi gue juga nggak bakal ngelawan. Gue bisa jaga diri,"
"Hubungi gue kalo ada apa-apa ya?"
"Iya, lo tenang aja."
Tak lama kemudian, seorang laki-laki tampan dengan wajah arogan mendatangi mereka.
"Key, gue pergi dulu ya, lo hati-hati pulangnya,"
"Oke, Lo juga hati-hati ya?" Lalu mereka berdua pun bercipika cipiki membuat laki-laki yang melihat mereka memutar bola mata jengah.
"Ayo," ucap Irin pada laki-laki itu.
"Jangan ke geer-an, gue jemput lo karena perintah bokap gue,"
"Gue tau kok," jawab Irin singkat.
Sejak dulu kan kamu memang begitu, ucap Irin dalam hati.
"Dan jangan berharap gue bukain pintu mobil buat lo, lo punya tangan sendiri." ucap laki-laki bernama Dante itu pada Irin.
Irin pun terkekeh kecil, dia langsung membuka pintu mobil Dante dan duduk dengan tenang.
"Gue bukan supir lo, jadi pindah lo ke depan."
Karena malas berdebat, akhirnya Irin menuruti perintah Dante, dia pun berpindah duduk menjadi di sebelah Dante.
"Gue males banget berhubungan lagi sama lo,"
Kalo lo tau, gue jauh lebih males sama lo. Batik Irin menjawab.
"Kalo bukan karena paksaan orang tua, gue nggak sudi buat nikah sama lo,"
Irin pun tertawa kecil, tanpa menjawab ucapan yang sangat menyakitkan dari mulut Dante.
Dante hanya mengernyit bingung.
Dia melihat banyak perubahan dari Irin, tubuhnya yang jauh lebih kurus sekarang, bahkan wajahnya sedikit murung. Bahkan, dia menjadi lebih cuek dan lebih banyak diam.
Berbanding balik dengan dulu, dia sangat manis dan manja. Terlebih tubuhnya sedikit berisi, membuatnya jauh lebih cantik. Yah, walaupun sekarang pun Dante tak bisa berbohong jika Irin masih tetap cantik.
Hingga beberapa puluh menit kemudian, tibalah mereka di rumah orang tua Dante. Irin dan Dante keluar dari mobil dan berjalan masuk secara bersamaan, disana ternyata sudah berkumpul.
Mulai dari kedua orang tua Irin dan juga orang tua Dante.
Senyum hangat menyambut mereka berdua.
"Ayah, bunda…" Irin menyalami tangan kedua orang tuanya, lalu beralih pada tangan kedua orang tua Dante, lalu bersalaman dengan Darren kakak Dante.
Darren menatap Irin dengan tatapan yang sulit di artikan, membuat Dante melirik tajam padanya.
Sial, dasar perjaka tua yang nggak laku-laku lo. Batin Dante mengumpat.
"Begini, berhubung kalian berdua sudah berada di sini, jadi sebaiknya kita bahas saja agar lebih cepat selesai."
Dante hanya memutar bola mata jengah mendengar ucapan sang ayah.
"Tidak usah banyak bicara, yah… katakan saja," Dante meringis saat mendapatkan cubitan di pinggang oleh ibunya.
Irin menebalkan hatinya dari sekarang, ah bukan… dari tiga tahun lalu dia sudah berusaha untuk menebalkan hatinya.
"Sepertinya putramu sudah tidak sabar untuk menjadi menantuku," ucap ayah Irin dengan senyum miring pada ayah Dante.
Ayah Dante pun tersenyum tipis, sebelum melanjutkan ucapannya.
"Begini, Dante dan Irin… niat kita mengumpulkan kalian di sini adalah untuk membicarakan tentang pernikahan kalian,"
"Hm, baiklah…" ucap Dante dengan malas.
"Pernikahan kalian akan dimajukan lima hari lagi, jadi kalian bersiaplah…"
Mata Irin dan Dante melotot bersamaan saat mendengar ucapan ayah Dante.
"Ayah, tidak bisakah di tunda untuk satu atau dua tahun lagi?"
"Kau ini bodoh, huh… kau ___ " ucapan sang ayah terhenti saat mendapatkan tatapan tajam dari seseorang.
Dante mengernyitkan dahi dan menatap sang ayah bingung.
"Aku kenapa, ayah?"
"Ah, Ti..dak, tidak apa-apa." Jawab sang ayah dengan gugup.
Dante melirik sinis pada Irin yang memang sejak tadi diam membisu tanpa memberi respon apapun.
Ia sendiri pun tak tahu mengapa ia bisa dijodohkan dengan Dante, yang notabenenya adalah mantan kekasih Irin.
"Irin…" panggil Emy --- ibu Dante dengan memegang lengan tangan Irin.
Sontak Irin pun meringis kesakitan.
"Awww…"
Emy pun terpekik dan segera melepaskan pegangannya di lengan Irin.
"M..maaf, Tante… Bu...kan maksud Irin,"
Cih, pakai acara akting segala. Kau benar-benar memuakkan Irin. Batin Dante mencemooh.
"Ah, tidak apa-apa, nak. Jangan panggil aku Tante, panggil aku Ibu. Karena aku akan menjadi Ibumu, nak."
"Ah, baiklah. Bu.."
"Darius, Emy… sepertinya kami harus cepat pulang, karena masih ada urusan lain,"
"Baiklah, terimakasih, Arman. Dan Irin, ayah sangat berharap kamu mau menikah dengan Dante."
Irin hanya tersenyum tipis tanpa melihat Dante yang sedang menatap tajam padanya.
Berbeda dengan Darren, ia masih terus memandang wajah cantik Irin. Darren adalah seorang duda, ia bercerai dengan mantan istrinya karena setelah menikah sang istri hamil oleh pria lain.
"Kalau begitu kami pamit dulu ya, Emy dan Darius. Ah, Dante dan juga… ?"
"Darren, Tante…" jawab Darren dengan sopan.
"Iya, Darren. Kami pamit pulang dulu, dan Dante jangan lupa besok kalian harus ke toko perhiasan untuk mengambil cincin pernikahan kalian,"
"Baiklah, Tante…"
"Panggil bunda saja,"
"Baiklah, Bun." jawab Dante dengan canggung.
Setelah kepergian Irin dan juga kedua orang tuanya, Dante berusaha keras untuk menentang kedua orang tuanya.
"Ayah, ini benar-benar menyebalkan. Kenapa aku harus dijodohkan dengan dia, kenapa nggak Darren aja?"
"Kau tidak perlu banyak bicara, terima saja takdirmu." Jawab Darius dengan tatapan tajam pada sang putra lalu berlalu meninggalkannya.
"Sebaiknya kau sadar diri, aku tidak masalah jika harus menikahi Irin. Tapi, sayangnya ini bukan takdirku," ucap Darren dengan santai. Dia pun ikut berlalu meninggalkan sang adik seorang diri.
"Br*ngsek!" Umpat Dante dengan mengusap rambutnya frustasi.
Dia pun dengan penuh rasa jengkel ikut berjalan menuju kamarnya, kamar yang selalu membuatnya tenang.
Dante merebahkan tubuhnya di ranjang berukuran king size miliknya.
"Sialan, kenapa gue harus di jodohkan sama dia, gadis sialan. Gue bakal buat hidup lo menderita," ucap Dante karena masih memiliki rasa benci terhadap Irin.
"Lo tunggu aja waktunya, gue bakal buat hidup lo hancur, Irin. Gadis yang nggak tau di untung, gue jijik sama lo,"
"Takdir yang sangat menyebalkan, gue yakin ini semua udah lo rencanakan jauh-jauh biar orang tua kita menjodohkan kita,"
..
Tbc
Aku keluar, kemudian duduk di rerumputan di taman depan rumah sederhana ini. Kupandangi langit di atas sana. Cerah dan bertabur begitu banyak perhiasan langit. Rasanya baru kemarin Mas Irwan mengajakku membeli es krim di toko dekat rumah, rasanya baru kemarin Ibu membelikanku baju sekolah, rasanya baru kemarin aku tamat SMA. Waktu, kenapa begitu cepat berlalu? Tahu-tahu, aku sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi orang tua. Beruntung aku bertemu Mas Hada, pria yang bisa membawaku ke jalan yang lebih terarah. Entah apa jadinya, kalau aku bertemu pria yang salah.“Ngelamun saja!” Aku dikagetkan dengan kedatangan Mas Hada yang tiba-tiba. “Ih, Mas! Kamu ngagetin saja!” Aku mencubit kecil perutnya, dan dia tertawa. Mas Hada membungkuk dan mencium pucuk kepala, lalu ikut duduk di sampingku. “Mikirin apa?” tanyanya seraya menarik kepalaku untuk bersandar di bahu pria itu.“Mikirin hidup, Mas. Enggak kerasa, waktu begitu cepat berlalu.”“Andai kamu tahu. Seolah dihitung mundur untuk me
Aku diam cukup lama di dalam kamar mandi, sementara Mas Hada sudah gelisah menungguku di luar sana. Bagaimana kalau dia tahu, kalau ternyata hasilnya seperti ini? Kira-kira reaksinya bagaimana, ya? Aku menarik napas panjang, bersiap untuk keluar menemui Mas Hada. Setelah cukup tenang, kubuka pintu dan langsung tampak wajah Mas Hada yang terlihat tegang. “Sayang, bagaimana? Mas sampai izin loh hari ini. Enggak masuk kerja, karena ingin nemenin kamu pakai alat itu.”“Mas pakai alat ini enggak sampai hitungan jam, bahkan menit.”“Mas, deg-degan soalnya.” Dia memang terlihat sangat tegang. Aku langsung melewati tubuhnya dan duduk di ujung kasur. Mas Hada mengekorku dari belakang dan duduk di bawah, menghadap ke arahku. Antara ingin tertawa dan kasihan lihat wajahnya seperti itu. “Mas, maaf, ya,” ucapku kemudian dengan wajah penuh dengan penyesalan.Mas Hada menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. Dia memegang sebelah tanganku dan menciumnya. “Enggak apa, belum rezeki. Kita coba la
Samar-samar, aku merasa ada yang membelai lembut kepala. Aku membuka mata, dan mendapati Mas Hada sudah ada di sampingku. Aku mengucek mata, memastikan kalau yang kulihat bukan hantu.“Mas, ini serius kamu?” Aku langsung memeluk erat tubuhnya, lalu cemberut. “Ih, jahat! Kok, enggak bilang pulang lebih awal? Aku, kan belum siap-siap. Mana sudah tidur lagi, pas kamu pulang.”“Jangan cemberut. Kan jadi pengin ci—”“Langsung saja kenapa, sih? Pakai bilang begitu.”Mas Hada tertawa sambil menggelengkan kepala. “Kamu itu makin lucu, deh! Ya sudah, jadi boleh nih?”“Memang aku pernah nolak?”Malam itu, kami tuntaskan rasa rindu selama hampir satu minggu tak bertemu. Seperti biasa, dia amat manis memperlakukanku. Keringat dan peluh melebur menjadi satu.“Baca doa enggak tadi sebelum mulai?” tanyanya seraya mengecup pucuk kepala, setelah kami selesai. “Doa apa?”“Kalau Mas berdoa. Semoga segera ada langkah kaki anak kecil di rumah kita yang sederhana ini.”Aku tersenyum, lalu menyandarkan kep
POV : Hana“Iya, Mas?” Dengan semangat, aku mengangkat telepon Mas Hada. Ini pertama kalinya dia menelepon, setelah beberapa hari belakangan hanya bisa membalas chat sesekali. “Han, ada yang mau bicara.”“Siapa?”“Halo, Hana?”“I-iya?”“Saya, Fika. Jangan ditutup teleponnya. Ini saya speaker, supaya kamu dan Mas Hada sama-sama mendengar pengakuanku. Jadi, aku dan Prio pernah menjadi teman yang sangat dekat. Kami sering ke kelab malam bersama teman-teman. Bahkan tanpa ingat dosa, kami sering tidur bersama.”“Astagfirullahalazim.”“Aku tahu, perbuatan kami itu sangat enggak terpuji. Aku bahkan pernah hamil, karena sering tidur dengan Prio.”Aku memejamkan mata.“Dulu, Prio pernah memintaku menikah dengan Suhada, tapi mendengar cerita darinya ... aku menolak, karena Suhada hanya seorang office boy. Bagiku, itu sangat memalukan.” Dia terisak. “Aku terus mendesak Prio bertanggung jawab atas anak yang ada di kandunganku, tapi dia terus menolak dan memaksaku menikah dengan Hada. Katanya, Ha
Alarm berbunyi nyaring. Segera aku mengucek mata, dan melirik jam di atas kepala ranjang. Ternyata jam sudah menunjukkan hampir pukul 02.00 malam. Segera aku bangun, lalu menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Setelah selesai, aku segera melakukan salat malam. “Assalamu’alaikum warohmatullah. Assalamu’alaikum warohmatullah.”Kutengadahkan tangan untuk berdoa, meminta kekuatan iman supaya tidak goyah, dan terhindar dari segala rayuan setan, termasuk dijauhkan dari hal-hal yang buruk. Tak lupa berdoa untuk kesehatan istri, pun keluarga yang jauh di sana. Selesai berdoa, kuusapkan tangan ke muka. Semoga Allah mendengar semua doaku. Aamiin. Aku melipat sajadah, dan kembali berbaring di kasur. Kubuka laci nakas dan memeriksa gawai. Sejak pagi aku belum mengaktifkannya, saking padatnya acara yang kujalani hari ini. Gawai hidup dan ada beberapa notifikasi masuk, termasuk notifikasi chat dari Hana, wanitaku. Aku tersenyum membaca beberapa chat-nya, lalu membalas. Di sana dia selalu
POV : Hada“Oke, untuk malam ini sampai di sini dulu pelatihannya. Kita akan sambung besok dengan materi yang berbeda. Selamat malam,” ucap seorang pemateri malam ini.Pelatihan khusus malam ini telah selesai. Aku bersiap kembali ke kamar. Kebetulan, pelatihan menggunakan aula khusus di hotel tempat kami menginap. Baru saja akan kembali ke kamar, aku bertemu Jefri—teman yang baru kukenal. Dia supervisor dari salah satu perusahaan yang ada di Pulau Kalimantan. “Hada, mau ke mana?” tanyanya yang membuatku menghentikan langkah.“Balik ke kamar, Jef. Kamu?”“Mau keluar cari angin. Mau ikut?”“Ah, capek banget nih! Aku mau tidur saja.”“Selesai pelatihan ini, kita enggak akan ketemu lagi, loh. Ayolah!” katanya sambil merangkul lengan, dan akhirnya aku mengikutinya.Tanpa kusangka, Jefri membawaku main biliar. Gedung yang cukup besar, di dalam sini berjajar meja panjang sebanyak enam buah. Terdapat lampu sorot di atas setiap mejanya, lalu bola warna-warni yang menghiasi bagian atas meja-m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments