"Sekarang kalian boleh buang aku, tetapi selangkah saja aku pergi, aku tak akan pernah menoleh ke belakang lagi." "Mari kita lihat, siapa yang akan kalab." ~Mutia Zahira
View More"Lihat kakak iparmu, Wid. Sebentar lagi lemak di perutnya mungkin sudah berlipat hingga sepuluh lipatan. Gimana tidak, kerjaannya makan aja dari tadi."
Aku menelan salivaku, perut ini mendadak tidak berselera untuk memasukkan makanan bahkan minuman sekalipun.'Astaghfirullah, entah ini sudah ke berapa kalinya ibu mertua bilang seperti itu.'Kukemas piring di atas meja, lalu berlalu menuju dapur."Kalau dibilangin, selalu aja gitu, menghindar. Kok bisa ya, masmu suka sama wanita seperti dia. Sudah tidak hamil-hamil, kerjaannya makaan aja terus. Gak kasihan apa sama suaminya yang kerja di luar kota demi menghidupi keluarganya."Jika telinga ini buatan manusia, mungkin sudah hangus dibakar perkataan ibu. Jika hati ini buatan manusia, mungkin sudah hancur berkeping-keping tiada bersisa."Pasang aja kedunguannya. Lama-lama kelamaan ibu yakin, masmu pasti akan sadar seperti apa wanita yang telah dipilihnya."Aku menjawab tentu berada di posisi salah, diam pun juga salah."Sudah lah, Buk. Dia tidak akan dengerin kita. Sudah putus kali urat malunya. Coba saja mas dulu mau nikah sama temen aku, pasti hidupnya saat ini enak. Penghasilannya jelas.""Iya, betul, Wid. Ibuk ngelus dada kalau sama masmu. Kenapa dia segitu tidak pedulinya sama saran ibu untuk tidak menikahi wanita miskin, yatim piatu ini."Dengan samar aku menghapus air kata yang tidak bisa kubendung lagi. Air mata itu tumpah."Seandainya ibuk masih ada, aku pasti tidak akan seperti ini. Hiks."Aku merapatkan bibirku untuk menyembunyikan sesenggukan dari dua wanita di belakangku. Namun, ternyata menghinaku saja itu tidak membuat mereka jadi puas."Awh, sakit, Buk. Sakit. Lepasin rambut aku, Buk," rintihku. Ibu menjambakku dengan sangat kuat, lalu menyeretku untuk duduk di kursi ruang tamu. Aku dihempas dengan kasar."Kamu punya telinga enggak sih? Saya ini dari tadi bicara, kamu diam saja. Apa kamu sekarang jadi bisu? Ha?"Aku menggeleng dengan mata sudah mengucurkan air mata dengan derasnya.Satu wanita yang tadi turut mencaciku kini tidak ada, di mana dia. Di sini hanya ada ibu mertuaku yang terus saja mengeluarkan uneg-uneg di hadapanku. Entah apa yang membuat mereka kesal padaku, jika karena harta, semua kiriman suamiku telah diambil oleh ibu mertuaku. Apa lagi?"Wid, lama banget sih. Ngapain aja?" pekik ibu mertua memanggil adik iparku."Iya, Buk. Sebentar."Gret"Nih, Buk. Sudah siap."Koper? Untuk apa? Siapa yang mau pergi. Apa aku diminta untuk menyusul suamiku karena mereka tidak betah hidup bareng aku."Sekarang kamu pergi, kami tidak mau menampung wanita seperti kamu. Rumah ini bukan panti asuhan, dan ... masalah suami kamu, anggap saja kamu tidak pernah menikah dengannya. Kamu bukan lagi istrinya.""Tapi, Buk. Mutia kan masih istri Mas Agha, Mas Agha belum menceraikan Mutia, kenapa ibu bicara seperti itu.""Denger, ya. Agha itu anak saya, dan saya yang berhak atasnya. Saat saya minta dia menceraikan kamu, pasti dia tidak akan menolak. Jadi, jangan banyak drama lagi, kamu harus pergi sekarang juga dari rumah ini.""Tapi, Buk.""Tidak ada tapi-tapian. Kamu pikir di sini tempat penginapan? Ngasih cucu aja gak bisa, gimana mau jadi istri dari Agha. Masalah Agha tidak perlu kamu khawatirkan, sebentar lagi dia akan saya nikahkan dengan wanita kaya raya, bukan yatim piatu, dan juga memiliki rahim subur. Tidak seperti kamu, paham.""Sudah lah, Mutia, jangan bikin ibu aku jadi tambah marah-marah deh. Mending kamu pergi. Aku tidak mau, ya. Darah tinggi ibuk hanya karena wanita sampah seperti kamu. Keluar!"Astaghfirullah, aku mau ke mana. Mas Agha, dia memintaku untuk tidak pergi. Namun, apa dayaku."Maaf, Buk. Mutia mau ambil ponsel Mutia dulu di kamar.""Tidak ada, semua fasilitas yang pernah dibelikan Agha kami sita. Kamu keluar dari sini tidak akan membawa apa-apa, paham! Sudah deh, mending kamu pergi. Kami sudah muak sama drama air mata buaya kamu."Aku menatap lekat wajah dua wanita di hadapanku, wajahnya tampak merah padam, walau buram tetapi tetap jelas bahwa mereka tidak akan pernah suka dengan keberadaanku. Biar lah, Mas Agha pasti akan mencariku jika tahu aku tidak ada di rumah."Tidak usah nangis-nangis, gak akan ada yang percaya sama raut kepura-puraanmu. Tidak akan ada yang kasihan sama kamu."Hatiku terenyuh, entah benih isu apa lagi yang telah disebar ibu mertua dan adik iparku pada tetangga. Tak jarang, saat aku keluar, banyak tetangga yang menatapku dengan tatapan tidak suka, lalu berbisik satu sama lain.Saat aku melewati pintu, terdengar suara tawa puas dua wanita dari dalam rumah. Entah sudah berapa lama mereka menginginkan kepergianku.Aku berjalan tak tentu arah labuhan, entah ke mana lagi aku akan pergi. Kaki ini merasa sangat letih, mungkin karena faktor U, juga jarak tempuh yang kulalui sudah cukup jauh."Huft, letih juga, ya. Ini sih juga karena aku tak pernah berolah raga."Aku mengusap peluh yang hampir saja mentes melewati pelipis."Ya Allah, ke mana lagi hamba-Mu ini akan berjalan."Tiba-tiba ada seseorang mendekat, aku pun berdiri menyambutnya."Mbak mau cari kontrakan?"Aku mengernyitkan dahi, dari mana wanita ini tahu. Tidak membuang kesempatan lagi, aku mengangguk. Di sakuku, aku masih punya uang simpanan yang berhasil kuselamatkan dari jarahan ibu mertuaku."Iya, Buk."Aku pun ikut bersama wanita baik hati ini, usianya sekitar tiga puluh tahunan. Tempat yang kutemui ini ternyata rapih, siap huni."Alhamdulillah, jadi tidak perlu bersih-bersih. Tinggal istirahat."Saat hendak merebahkan badan, aku dikagetkan oleh bingkisan berwarna cokelat. Apa ini? Sebelum terlambat, aku bertanya pada pemilik rumah kontrakan tersebut, beliau tidak tau. Dan saat kubalik barangnya, terdapat tulisan. "Untuk Mutia Zahira."Ini untukku? Kok bisa kebetulan. "Dari Al-Faqir."Rasa penasaranku semakin meningkat, apa isinya? Kenapa alfaqir ini bisa tahu kalau aku akan mengontrak di rumah ini. Apa jangan-jangan."Allahu Rabbi."Aku terbelalak melihat isi bingkisan tersebut, bergepok-gepok uang lembaran berwarna merah. Sekalipun aku menikah dengan orang yang dibilang tajir, aku belum pernah memegang uang sebanyak ini.'Jangan ragu untuk menggunakan uang ini, ini hak kamu. 100% halal, dan benar-benar hak kamu. Jika kamu penasaran bagaimana penjelasan dari semua ini, silakan hubungi nomor 0822********'Dadaku bergemuruh, siapa alfaqir ini, dan bagaimana bisa dia bilang kalau uang sebanyak ini adalah hakku. Bagaimana bisa dia berkata demikian. Aku sebaiknya hubungi nomor ini. Ah, aku lupa, ponselku disita ibu mertua dan adik iparku."Aku harus beli ponsel, tapi bagaimana. Uangku habis kubuat bayar uang kontrakan ini, sekarang sisa sedikit hanya untuk makan. Apa iya aku harus menggunakan uang ini, jika nanti aku punya uang, mungkin dari hasil bekerja, aku bisa ganti dan kembalikan lagi pada alfaqir ini.""Apa ini jawaban dari kesedihanku selama ini? Tidak, ini uang bukan uangku, bukan hakku. Aku harus menyimpannya, aku harus cari tahu pada si alfaqir ini."Bersambung...Selamat menunggu part selanjutnya :)Be happy"Tolong buka ikatan ini, aku mau salat. Aku belum salat," pintaku iba. Satu orang berbadan kekar dan tatapan tajam menyorot ke arahku. "Diam! Jangan pikir kami bodoh sehingga bisa kamu kibuli. Bos kami sebentar lagi datang, maka tugas kami akan selesai. Jadi jangan persulit tugas kami, paham?!" Aku tercekat, bagaimana ini. Aku harus berusaha tenang, mungkin saja Ibrahim sedang merencanakan kejutan yang berbeda. "Ibrahim, cepet dateng." "Siap, bos," seru seseorang dari luar. Betapa terperanjatnya aku saat ternyata yang masuk bukan Ibrahim, tapi justru Mas Agha. Mau apa lagi dia menciptakan kekacauan ini. "Lepas ikatannya," perintah Mas Agha disusul dengan salah satu pria berbaju hitam mendekat ke arahku. Aku menghembuskan napas lega saat terlepas dari belenggu tadi. Mas Agha benar-benar kekurangan pekerjaan tampaknya. Dengan satu isyarat pria-pria itu keluar meninggalkan kami. Kini tinggal aku juga Mas Agha. "Mas, apa sih mau kamu sampe tega berbuat seperti ini." "Tenang, Muti
"Mmm ... ya, aku mau," ujarku setelah menghela napas panjang. Siapa sangka, bahwa Ibrahim akan mengatakan ini sehingga dia membawaku pergi. Menurutku, sudah cukup kupertimbangkan. Ini salah satu solusi terbaik, tuk hindari Mas Agha dan keluarganya. Baru aku tahu sekarang ini, dan agaknya hanya terjadi padaku. Setelah Mas Agha meninggalkanku, lalu dia mengejarku. Wajah Ibrahim berubah semringah, tampak sekali sebuah isyarat bahwa dia sangat senang dengan jawabanku. Dengan membaca bismillah, insyaAllah aku tak akan salah langkah. Semoga semua ini menjadi wasilah aku dapat mengambil hikmah dan berpijak lebih gagah. "Terima kasih, Mutia. Jawaban itu yang sangat aku inginkan." Sungging senyum Ibrahim menambah keteduhan wajahnya, entah apa alasannya sehingga dia bersedia menungguku selama ini. Jika dilihat dari parasnya, dia melakukan ini bukan karena tidak laku. Namun, entah apa yang telah terjadi. Krukk, krukkMendadak hening. Taman yang ramai pun seakan menjadi senyap. Ibrahim mena
"Mutia, papa pengen melihat kalian itu segera menikah. Jadi kapan kira-kira kalian mau urus semuanya?" DeghAku jadi kikuk wajahku memanas. Dalam lubuk hatiku, aku sudah merasa sangat siap. Dipertimbangkan lagi, daripada Mas Agha dan keluarganya selalu saja meneror aku. Terlebih Karin. Padahal sudah sangat jelas bahwa tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari sosok Mas Agha. "Mutia," seru papa Ibrahim. Aku menoleh ke arah Ibrahim yang justru melempar senyum padaku. "Ka-kalau Mutia, terserah Ibrahim saja, Pa." "Tuh kan, Him. Jawaban Mutia sudah kayak gitu kok, kenapa kamu masih minta papa buat nanya sama Mutia. Sebenernya ini semua tergantung kamu, kamu mau bergerak cepat apa enggak.""Betul, A Im harus bergerak cepat, gimana kalau nanti malah terlambat dan Mutia keburu diambil orang. Hayo, kehilangan lagi." Mama Ibrahim juga menyeru seraya menggoda putranya. Ibrahim tak henti-hentinya mengulas senyum sedari tadi, cukup aneh menurutku. "Ibrahim pasti akan secepatnya nikahin Mutia,
"Gimana sih kamu, Karin. Kok, Mutia baik-baik aja. Katanya kamu kirim makanan itu buat Mutia." "Karin juga gak tau, Buk. Ya mana kita tau coba kalau ternyata yang makan bukan si Mutia. Mantan istri Mas Agha yang masih dikejar-kejar terus itu. Iiih sebel." Aku menggeleng, tidak sengaja saat aku hendak mencari minuman, aku melihat ManMer dan Karin sedang berbincang di kursi rumah sakit. Bisa-bisanya mereka berniat mencelakai aku. "Oke, kita lihat siapa nanti yang akan menang." Aku berdehem berjalan dengan dada membusung dan kepala mendongak. Tepat sekali mereka duduk di sebelah tempat pembelian minuman. "Duh, cuaca di sini lagi panas nih. Pengen yang adem-adem," ironiku pada mereka, sejatinya aku kesal kenapa setega itu dan senekad itu. Padahah, semua bisa dibicarakan dengan cara baik-baik. ManMer berdiri, lalu disusul dengan Karin. "Ngapain kamu di sini?" Aku menyeringai. "Seharusnya Mutia yang tanya, kenapa Ibu sama Karin ada di sini? Oh, jangan-jangan makanan itu, kalian yang
"Bolehkah jika Mutia minta ijin bicara sama Ibrahim sebentar, Ma?" "Oh, boleh dong. Boleh banget kan ya, Pa." "Iya, pastinya." Aku pun mengajak Ibrahim ke pelataran belangak rumah. Tempat di mana menurutku hanya ada ketenangan, gemericik air jatuh ke kolam. Pemandangan langit turut membersamai. "Ini maksudnya apa, Him?" Ibrahim berdehem dengan posisi wajah mendongak, kedua tangannya ia lipat di dada. "Jika kamu tidak berkenan, jawab saja apa adanya. Aku akan terima semua jawabanmu." "Kalau kamu sendiri gimana? Apa kamu terima?""Aku rasa, kamu sudah tahu jawabannya." "Apa?" Ibrahim menoleh ke arahku, ia menatapku dengan sangat serius. Hingga, aku pun reflek salah tingkah. "Kamu tanya? Saat aku sudah beberapa kali menyatakan perasaanku dan kamu masih bertanya apa? Baiklah, dengan ini aku sudah memahami dan mendapatkan jawabanmu." Apakah pria itu juga bisa marah? Dia mendadak membalikkan badan, lalu meninggalkanku sendiri? "Him, argh."Aku mendengus pelan, dia benar-benar ke
"Terima kasih, Him. Gak mau mampir dulu?" "Enggak, Mutia. Kebetulan aku sudah ditunggu mami." Aku terperangah, orang tua Ibrahim sudah pulang? Kenapa dari tadi dia tidak cerita. "Oh, jadi aku gak penting sudah, ya. Sampai-sampai gak cerita nih." "Cerita apa?" "Sudah lah, apa kata kamu." Sungguh menjengkelkan saat Ibrahim langsung aja main ngacir tanpa berusaha memahami maksud pembicaraanku. "Dasar cowok!" Aku membalikkan badan, merasakan tubuh yang mulai menunjukkan protesnya. Ya, lelah. Aku letih, ditambah pikiran mengenai Mas Agha yang mendadak seperti anak ABG baru mulai mencintai seseorang saja. "Lucu, dulu aku dia buang dan sekarang dia kejar habis-habisan." Aku menggeleng sembari mendengus pelan. "Permisi, atas nama ibu Mutia?" seruan yang berasal dari arah belakang. Aku pun menoleh. Telah berdiri seorang kurir dengan seragam G*abnya. Aku mengangkat sebelah alisku, siapa yang pesan makanan. "Iya, Mas. Saya sendiri." "Ini, Mbak. Ada kiriman untuk Mbak dan sudah diba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments