KEMBALILAH SUAMIKU

KEMBALILAH SUAMIKU

Oleh:  ER_IN  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
80Bab
3.6KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Rembulan Kanaya gadis dari desa yang mencari keadilan untuk ibu tercinta yang dibunuh dan difitnah. Perjuangan untuk membalas dendam serta mencari siapa pembunuh sebenarnya sang ibu membuatnya kembali kehilangan lelaki yang paling ia cintai.

Lihat lebih banyak
KEMBALILAH SUAMIKU Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
80 Bab
REMBULAN KANAYA
Rembulan di bawah langit Batavia, rembulan dengan bulat sempurna. Masih kutatap lekat indahnya cakrawala bertabur bintang, seolah bulan jadi raja.Masih terus menggema di telinga ucapan lantang sosok laki-laki yang memberikan sedikit ceramah menyambut detik-detik shalat Jumat.“Untuk apa pacaran? Kalian akan rugi pacaran, kalian tahu pacaran hanya akan memupuk dosa dalam tubuh emak bapakmu”Badan tegap, bak Garuda kencana, membuat mata seolah hanya tertuju padanya. Menyita setiap pandangan mata karena pesona dosen muda dengan Koko putih, lengan digulung hingga siku, peci hitam, sajadah bertengger indah di bahunya.Membuka acara religi jum'at tanpa syahwat. Sosok itu, dengan suara yang tenang, tetapi begitu menusuk relung jiwa, bulu-bulu halus di lengan ikut berdiri menyaksikan sosok yang tengah mengganggu ketenangan rasa tanpa berdosa muda mudi yang tengah menjalin cinta tanpa batasan, mengatasnamakan cinta dalam setiap sentuhan dan senyuman penjerumus jiwa."Kalian para wanita jangan
Baca selengkapnya
KEPERGIAN IBU
Satu Minggu sudah aku dan Nara semakin akrab. Kami sering menghabiskan waktu bersama sekedar duduk di kantin dan halaman kampus yang luas, menunggu jadwal masuk kuliah.Bertukar nomor ponsel untuk saling menghubungi. Nara, dia beragama Hindu, kami berbeda keyakinan, tapi ia begitu toleransi, selalu menungguku shalat di mushola kampus dan menjaga barang-barangku.Teman pertamaku, Nara.Aku memang tak pernah memiliki teman, semua menjauh dariku sejak aku memutuskan mengikuti kemauan nenek memakai cadar, mulai membangun akhlak dengan mengikuti pengajian di hari jum'at di mushola dekat aku mengontrak.Jumat pagi, seperti biasa kami duduk di kantin kampus, mata kuliahku sudah kosong, sementara Nara ia yang mengambil Fakultas ekonomi dengan jurusan bisnis masih memiliki satu mata kuliah lagi."Ra, aku balik dulu, ya? Nanti kamu main gih kalau aku udah pulang pengajian.""Oke, deh. Hati-hati Lan."Kami berpisah dengan saling lambai. Aku berjalan seorang diri, menyusuri halaman kampus, pohon
Baca selengkapnya
CORETAN DARI IBU
"Ibu… bangun! Ibu!"Kugoyangkan tubuh ibu, berharap ia terbangun dan menghapus air mataku.Kemana lagi kaki ini akan berpijak? Kemana lagi tubuh ini akan bersandar sementara orang yang selalu merengkuh telah tiada, pergi dan tak akan pernah kembali."Ibu, Bulan teh udah balik, ibu bangun!" Aku tak dapat menahan sesak yang ada dalam hatiku. Sakit, sakit sekali. Kenapa tuhan begitu cepat mengambil dia dariku?Baru kemarin ia tersenyum dan melambai kepadaku meski melalui layar ponsel.Bahkan aku masih ingat senyumnya, senyum yang selalu terasa amat teduh, kini ia telah tiada, kini ia pergi, pergi meninggalkan aku dalam lara dan kerasnya hidup."Ibu, tinggal enam Bulan lagi, ibu bisa lihat bulan pakai topi sarjana. Ibu kenapa tinggalin Bulan?"Air mata kian deras mengalir, Bagaimana aku hidup? Bagaimana Tuhan dengan kejam mengambil ibu dariku?"Neng, yang sabar Neng."Teh Salma merangkulku, tubuh yang mulai tak berdaya, tubuh yang mulai lemas tak bertenaga ini hanya bisa pasrah saat dija
Baca selengkapnya
MISTERI KEMATIAN IBU
Terbangun kala adzan subuh berkumandang, panggilan yang diserukan agar insan segera melakukan kewajibannya.Aku terbangun, mengerjapkan mata. Melihat ke samping kanan dan kiri, sudah tidak ada ibu. Butiran bening kembali menetes, ibu benar-benar meninggalkanku. Kejadian buruk malam tadi terlintas kembali, itu tidak mimpi.Kepala terasa berat sekali, sempoyongan berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Sebaiknya kuadukan gundah gulana hatiku kepada sang maha mengetahui.Kuambil telekung lusuh milik ibu, bersiap mengenakannya dan bersujud kepada pemberi hidup.Aku duduk bersimpuh setelah melakukan kewajibanku. Menadahkan tangan berharap kekuatan besar merasuk dalam jiwa agar nestapa kehilangan ini dapat tergantikan dengan kesabaran yang begitu besar.Sajadah yang tak lagi sempurna gambarnya basah oleh air mataku, kembali menangis seorang diri. Aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Aku tak tahu arah jalan. Kemana aku harus pulang saat rumahku tak ada lagi ibu, oran
Baca selengkapnya
MASA KELAM
Tiga hari kepergian ibu, aku masih betah di rumah kecil kami. belum berniat kembali ke Jakarta meski Nara sudah berkali-kali mengirimkan pesan untuk menjemputku.Aku belum berniat kembali ke Jakarta, entah sampai kapan. Aku masih setia meratapi rindu yang tak selesai kepada ibu.Ku tatap indahnya pandangan dari atas tebing cadas gantung, sawah-sawah nan hijau, pohon yang tumbuh tak beraturan, burung-burung yang berterbangan menjadi temanku hari ini.Aku seorang diri, duduk berteman sepi. Kenapa aku tak mencari tahu soal ayahku? Pertanyaan itu terlintas di benakku.Untuk apa? Toh dia orang jahat.sisi hati kembali memberikan penolakan.Ya, mencari tahu sama saja menggali sakit hati."Neng? Hayuk pulang, udah sore." Panggilan membuatku tak kuasa ingin segera menoleh melihat Teh Salma yang sudah berdiri di sampingku."Sini heula Teh."Aku menepuk kayu tempat aku duduk, mengisyaratkan agar Teh Salma duduk di sampingku.Teh Salma sepuluh tahun lebih tua dariku, tetapi ia belum menikah. E
Baca selengkapnya
KEDATANGAN YUSUF
Bergandengan tangan menuruni bukit, aku dan teh Salma.Sebelum magrib kami telah sampai di depan gubuk kecilku. namun, langkah kami terhenti saat melihat di depan rumah terparkir mobil sedan berwarna merah.Kami saling pandang, siapa yang datang?"Cari siapa tuan?" tanyaku heran. "Permisi Nak, bukankah ini rumah Lilis Wati?"Aku mengernyitkan dahi, tamu ibu? Siapa dia mencari ibu?Aku menatapnya tajam, lelaki yang belum terlalu tua, mungkin sekitar 40 tahunan lebih, tapi gayanya masih necis mungkin karena ia orang kaya. Rambut yang tertata rapi meski sudah sedikit beruban, dasi biru tua, kemeja putih perpaduan dengan celana slim fit mahal, sepatu kantor yang begitu mengkilap."Anda siapa, dan untuk apa mencari ibuku?"Lelaki itu membuka kaca matanya, menatapku tajam, hidung mancung, mata amber seperti milikku."Apa kamu anaknya?" ucapnya penuh penekanan.Aku hanya mengangguk, teh Salma memegang erat jemariku hingga terasa sakit."Ayo, Bulan!"Teh Salma menarik cepat tanganku. ada ap
Baca selengkapnya
AKU CALON SUAMINYA
Enam bulan sudah aku seorang diri menghadapi dunia yang penuh dengan fiksi, kenyataan yang tak sesuai harapan, impian yang tak lagi memiliki tuan, semuanya membuatku seolah berjalan tanpa arah tujuan. Hanya mengikuti arus yang telah Tuhan beriakn.Aku datang memakai baju toga wisuda, dilengkapi dengan slaber dan medali. Aku datang membawa ijazah wisudaku duduk di samping nisan ibu."Lihatlah ibu, Bulan teh udah wisuda. Bulan teh udah lulus, ibu pasti bangga."Kembali titikan air mata jatuh tepat di tanah tempat tubuh ibu bersemayam, semakin sering hingga tanpa jeda. Aku masih setia duduk, bercerita seorang diri layaknya orang yang sedang kehilangan akal, menunggu senja datang dengan ocehan sambil terkadang disiringi senyum.Aku begitu merindukan ibu, rindu yang tak akan pernah bisa terobati rindu yang tak akan pernah bisa bilang, rindu hanya pertemuan lah yang mengobatinya.Cahaya orange senja mulai memeluk malam, aku beranjak berpamitan kepada nisan ib
Baca selengkapnya
MEMPERKENALKAN DIRI
Kami sampai di Jakarta, lebih dulu mengantarkan Nara karena dia harus bersiap hendak kembali ke Jepang malam ini, omanya sakit.Kupeluk Nara, walau berat melepasnya, gadis yang selalu menghibur dan menemaniku selama ini."Balik lagi, kan?" ucapku meyakinkan."Iya, kuliahku aja belum selesai." Nara tertawa kecil.Aku kembali memeluk Nara, melambai tangan.Tinggalah aku berdua dengan Ustad Amar, padahal aku bisa naik angkot, tetapi Ustad Amar memaksa mengantarkan karena hari sudah hampir Magrib, aku tak kuasa menolak.Saling diam walau di dalam mobil yang sama. Aku asyik menatap jalanan, senja di kota Batavia tak begitu indah seperti di desaku, batinku."Berta'aruf lah denganku."Aku berpaling, memandang bahu yang masih sibuk menyetir. Masih diam membisu tak menanggapi ucapanya."Aku serius Bulan, berta'aruf lah denganku," ucapnya mengulang.Jujur saja aku ingin tersenyum, dialah yang membuat hatiku lepas dari Azen."tapi... aku.... "Aku tak melanjutkan ucapanku. "Aku tahu semuanya, a
Baca selengkapnya
PERNIKAHAN
PERNIKAHANPelukan hangat dari bibi dan mamang juga Teh Salma setelah kuberi tahu Ahad ini keluarga Ustad Amar akan datang mengkhitbah sekaligus melangsungkan pernikahan.Bibi dengan tergesa memberitahukan warga. Tak hanya itu, ia bahkan menjual lembunya untukku. Aku berkali-kali menolak, tetapi ia bilang ingin menebus semua kesalahannya dulu. Alhamdulillah... bibi sudah benar-benar berubah.Duduk berdua bersama Teh Salma memandang Bulan purnama."Selamat ya, Neng, Allah teh kirim lelaki yang baik buat jagain Neng."Aku tersenyum, benar kata Teh Salma, aku butuh lelaki seperti Ustad Amar......Jantungku berdegup tidak karuan, sudah pasti aku gugup karena pagi ini kami akan melangsungkan pernikahan. Menatap diri di cermin kecil yang ada di pojok kamar, di sebelahnya kugantung gamis milik ibu, satu-satunya gamis yang belum pudar warnanya."Ibu, Bulan teh udah mau nikah. Seharusnya ibu ada di samping Bulan, masangin hijab buat Bulan, megang tangan Bulan buat datang kepada Ustad Amar."K
Baca selengkapnya
KENAPA SIKAPNYA BERUBAH
Kami sampai di rumah Bang Amar, setelah lebih dulu mampir ke rumah umi dan abi. Mata menyapu sekeliling rumah berwarna abu dengan perpaduan putih tersebut, ada taman bunga di sepanjang jalan masuk halaman, bunga mawar tumbuh subur. Aku mengikuti Bang Amar masuk ke rumah setelah mengucap salam dan disambut oleh wanita paruh baya, mungkin asisten rumah tangganya. Sementara barang-barang sudah di bawakan satpam. Bang Amar masuk ke kamar lebih dulu, aku berjalan pelan bersama wanita tadi, namanya Mbok Darmi. Dia yang membersihkan rumah ini."Neng, mau minum apa?'' tanya Mbok Darmi memecah keheningan kami."Gak usah Mbok, nanti aku bisa ambil sendiri.""Oh, ya Neng, nanti Mbok pulang sebelum Maghrib dan besok balik lagi jam enam."Aku mengangguk dan tersenyum, aku pikir Mbok Darmi juga ikut tinggal di sini.Aku berlalu, meninggalkan Mbok Darmi menuju kamar atas di mana tadi sempat kulihat dari bawah Bang Amar memasukinya, tetapi sampai di pintu langkahku terhenti, mataku menyapu seluruh r
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status