Kelanjutan dari cerita 'Pengantin Tuan Haidar' "Setelah kontrak kita selesai, kisah kita juga selesai." "Kamu sudah aku kontrak seumur hidup di hadapan Tuhan, jangan coba-coba pergi dariku!" Gara dan Jennie terjebak cinta dalam pernikahan kontrak. Namun karena selembar kontrak perjanjian pernikahan membuat keduanya sulit untuk bersatu. Bagaimana caranya pasangan pengantin itu bisa hidup bersama lagi jika ibu tiri Jennie berusaha keras memisahkan mereka. Apakah Gara bisa membuktikan kejahatan ibu mertuanya yang menjadi dalang pembunuhan ayah kandung istrinya? ( Pengantin Tuan Haidar s3 )
Lihat lebih banyak"Cepatlah pulang kalau kamu masih menganggap aku ini sebagai ibumu!" perintah sang mama dari balik telepon kepada Jennie.
"Aku nggak bisa, Ma," sahut Jennie, "besok pagi-pagi sekali aku pulang, sekarang aku lagi di rumah temen. Tempatnya lumayan jauh juga dari rumah, besok aja ya aku pulangnya, ini udah malem."
Jennie berbohong, ia tidak mungkin mengatakan kalau sekarang dirinya sedang bersama dengan laki-laki yang ia cintai. Pernikahan kontrak membuatnya terjebak dalam lingkaran cinta sang CEO.
"Ternyata kamu sudah pandai berbohong." Sang mama tertawa mendengar kebohongan dari anaknya.
Dipikirnya ia tidak tahu tentang pernikahan diam-diam Jennie dengan bosnya itu.
"Maksudnya teman hidupmu?" tanya sang mama sambil tertawa mengejek. "Kamu pikir mama ini bodoh?"
"Ma, aku–"
"Sejak kapan kamu menjadi anak pembangkang seperti ini? Apa kamu tidak menganggap aku ini sebagai ibumu lagi? Dasar anak durhaka!" ucapnya dengan lantang. "Mama tahu kamu sudah menikah dan kamu merahasiakan itu semua dari ibu kandungmu sendiri."
"Ma...."
"Cepatlah pulang atau aku tidak akan menganggap kamu sebagai anakku lagi."
Wanita bernama Lisa itu tidak mengizinkan Jennie berbicara. Ia memaki anaknya dan bahkan meneriakinya sebagai anak durhaka.
"Baik, Ma." Jennie menunduk sedih.
"Ada apa? Kenapa kamu sedih?" tanya Gara."Gara ... aku harus pulang. Mama tahu tentang pernikahan kita." Jennie terlihat panik. Ia bingung bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan sang mama padanya.
Gara yang sedang rebahan di samping Jennie langsung bangun dan terduduk. "Dari mana mamamu tahu tentang pernikahan kita?"
"Aku juga nggak tahu, tapi aku harus pulang sekarang juga." Jennie benar-benar takut dengan apa yang akan dilakukan sang mama, ia tahu bagaimana watak wanita itu.
Gara menggenggam tangan sang istri yang terasa dingin. "Biggie, dengarkan saya! Ehm ... maksudnya aku."
"Sayang, jangan khawatir. Semua pasti baik-baik saja. Aku akan mengantarmu pulang." Gara membelai pipi istrinya.
"Jangan! Nanti Mama tambah marah kalau ngeliat kamu. Kayaknya dia nggak suka sama kamu," ucap Jennie.
"Biggie, ini sudah malam. Aku tidak akan mengizinkanmu pulang sendiri."
"Tapi, Mama udah marah banget, dia pasti tambah marah kalau ngeliat kamu." Jennie bingung menghadapi kemarahan ibunya.
"Aku akan menurunkanmu jauh dari rumah." Gara bergegas mengambil kunci mobilnya.
"Ya udahlah terserah kamu aja, lagian juga aku nggak bakal menang debat sama kamu." Jennie tidak bisa membantah lagi. Suami dinginnya itu tidak mungkin membiarkannya pulang sendiri di malam hari.
Gara menatap Jennie sambil menggenggam jemari tangannya. "Tenanglah! Semua akan baik-baik saja." Lelaki tampan itu mencium tangan wanita yang baru beberapa minggu dinikahinya."
Jennie mengangguk sambil tersenyum. "Ya udah, ayo kita pulang!"
Baru saja Gara dan Jennie berbaikan, sudah ada penghalang baru, yaitu sang mama.
Kini mereka sudah sampai di ujung jalan yang tidak jauh dari rumah lama istrinya. Jennie meminta agar suaminya tidak mengantar sampai depan rumah.
"Jangan panik, kamu harus lebih santai menghadapi mamamu." Gara tersenyum menyemangati istrinya sebelum sang istri turun dari mobil.
"Maafkan aku ya." Jennie mencium tangan suaminya sebelum keluar dari mobil. "Aku janji bakal ngasih penjelasan sama Mama supaya dia merestui hubungan kita."
'Itu sangat tidak mungkin karena mamamu tidak akan mengizinkanku untuk menyentuh anaknya,' ucap Gara dalam hatinya. 'Maafkan aku belum bisa mengungkap semuanya sekarang, nanti aku akan membongkar semuanya, aku berharap kamu sabar menunggu.'
Gara hanya bisa berucap dalam hati, ia tidak mau memberitahukan kejahatan mama mertuanya sebelum ada bukti yang kuat.
"Gara, kenapa kamu melamun?" Jennie tidak jadi keluar mobil karena sang suami terlihat sedang termenung. Ia menggoyangkan lengan suaminya.
Gara tersenyum pada Jennie. "Aku akan baik-baik saja kalau kamu memanggil suamimu ini dengan mesra." Gara mengusap kepala istrinya lalu mencium kening sang istri dengan sangat mesra. "Mulai sekarang, panggil aku sayang."
"Abang aja ah," sahut Jennie sambil menahan senyum.
"Aku suamimu bukan abangmu!" kata Gara menegaskan.
"Yaudah panggil Gara aja." Jennie melirik suaminya sepintas dan menahan senyum melihat raut wajah Gara yang terlihat marah."Ya sudah terserah kamu saja." Akhirnya Gara mengalah.
"Abang langsung pulang ya, jangan ke mana-mana!" Jennie menahan senyum melihat raut wajah sang suami yang terlihat tidak senang."Aku akan pulang setelah kamu masuk rumah." Gara menjawab dengan nada datar.
"Makasih ya, Sayang." Jennie mencium pipi suaminya tiba-tiba, membuat Gara terkejut.
Gara tersenyum sambil mengusap pipi istrinya. "Apa pun yang terjadi, kamu harus memberitahuku!"
Jennie mengangguk, lalu turun dari mobil dan berjalan menuju rumahnya yang tidak jauh dari mobil sang suami. Sesekali ia menoleh ke belakang dan melambaikan tangan.
Gara terus memantau Jennie sampai wanita yang dicintainya itu masuk ke dalam rumah.
Jennie hendak membuka pintu, tapi ibunya sudah membuka pintu terlebih dulu. Ia mengikuti ibunya menuju ruang tamu dan duduk saling berhadapan.
"Jennie, apakah kamu bisa menjelaskan tentang pernikahan kamu dan bosmu?" tanya Lisa, "kenapa kamu menikah tanpa izin Mama? Apa kamu menganggap Mama sudah mati?"
"Ma, bukan kayak gitu, lagian selama ini uang yang aku berikan ke Mama itu dari suamiku. Aku nggak bisa memenuhi kebutuhan Mama dan adik yang selalu menuntut banyak kalau cuma kerja sebagai office girl.""Jadi, selama ini kamu menganggap kami ini memeras kamu? Memanfaatkan kamu? Mama kecewa sama kamu, Jen." Wanita paruh baya itu sangat marah. "Apa kamu menganggap aku ini mengkhianati papamu karena sudah menikah lagi?"
"Ma ...." Jennie menyesal setelah mengeluarkan isi hatinya. Walau bagaimanapun mereka adalah keluarganya.
"Seandainya aku tahu, aku tidak akan menerimanya. "Berikan satu alasan kepada Mama, kenapa kamu menikah dengan bosmu itu?"
'Bagaimana ini, aku nggak mungkin ngasih tau Mama kalau awalnya aku dan Gara cuma menikah kontrak,' batin Jennie.
"Aku udah capek kerja, jadi aku nyari laki-laki kaya," jawabnya. Ia berharap sang mama percaya dengan alasannya.
"Kenapa kamu nggak bilang sama Mama? Apa kamu menganggap Mama ini sudah mati seperti papamu?"
"Mama juga menikah lagi tanpa sepengetahuanku." Akhirnya Jennie mengungkap fakta tentang sang mama. "Aku juga tahu dari orang lain kalau aku udah punya papa baru."
"Itu karena kamu pasti nggak akan menyetujuinya," elak sang mama, padahal ia tidak mau rahasia besarnya dengan suami barunya terbongkar.
"Aku berencana ngasih tau Mama, tapi ponsel Mama susah dihubungi." Jennie pun berbohong. "Awalnya aku memang mau nyembunyiin pernikahan kami. Aku takut dibully karena aku cuma seorang office girl."
"Menyembunyikannya?" Sang mama menarik salah satu sudut bibirnya. "Tapi, nyatanya kamu bermesraan dan mengumumkan pernikahanmu di sosial media."
Lisa menunjukkan rekaman pengumuman pernikahan Jennie dan Gara di depan para pegawainya.
'Aduh kenapa bisa sampai bocor. Siapa yang merekam ini?' Jennie hanya bisa bergumam dalam hati.
"Mah, aku cinta sama Gara. Walaupun aku cuma gadis miskin, tapi keluarganya nerima aku dengan baik." Jennie harus berusaha keras untuk membujuk ibunya.
"Mama tidak akan merestui hubungan kalian, aku sudah terlanjur sakit hati karena kalian tidak menganggap aku ada!" bentak sang mama.
Wanita paruh baya itu terlihat sangat emosi padahal bukan itu satu-satunya alasan dia tidak mengizinkan Jennie dan Gara bersatu, ada alasan lain yang tidak mungkin ia ungkap kepada anaknya.
"Ma, Gara orang yang baik, dia laki-laki yang bertanggung jawab. Keluarganya juga sayang banget sama aku, dan yang paling penting kami saling mencintai." Jennie berbicara sambil menitikkan air mata. Ia benar-benar sudah mencintai suaminya.
"Omong kosong! Mana mungkin keluarga terhormat seperti dia menyayangi menantu miskin seperti kamu. Kita ini tidak sederajat dengan mereka, jangan bermimpi terlalu tinggi, Jennie. Mereka hanya berpura-pura baik di depan suamimu."
"Mereka nggak kayak gitu. Mertuaku orangnya baik banget." Jennie membela mertuanya karena orang tua suaminya itu memang sangat baik.
"Apa kamu mau bilang kalau mereka lebih baik dari Mama? Ibu kandungmu sendiri?" Lisa tidak mau kalah, ia menggunakan statusnya sebagai seorang ibu untuk menghalangi kebersamaan mereka.
"Bukan kayak gitu, Ma. Aku–"
"Kamu harus tetap bercerai dengan Gara!"
'Aduh ... malam pertama aja belum, masa udah disuruh cerai,' gumam Jennie dalam hati.
"Gara akan pergi ke luar kota besok pagi untuk urusan pekerjaan," kata Riko pada Jennie.Jennie menoleh, keningnya berkerut. "Berapa hari dia di sana? Kok dia nggak bilang apa-apa soal ini?""Aku tidak tahu pasti," jawab Riko, "tapi kata Luna, Gara kemungkinan hanya satu hari saja.""Kalau begitu, aku harus pergi besok," ucap Jennie, seolah sedang mengambil keputusan penting.Riko mengangguk, sorot matanya serius. "Aku sudah minta cuti dua hari pada Gara.""Nanti Mas Gara curiga nggak?" tanya Anisa, matanya menatap Riko dan Jennie bergantian. "Mas Riko cuti barengan sama kepergian Kak Jen?""Tidak aka." Riko meyakinkan. "Aku minta cuti pulang kampung untuk menjemput keluargaku. Seminggu lagi aku mau melamar Luna."Wajah Jennie mendadak murung. "Kak, maafin aku. Di hari bahagia kamu, aku nggak bisa nemenin.""Tidak apa-apa." Riko tersenyum lembut. "Doakan saja supaya acaranya lancar."Jennie menatap Anisa, matanya dipenuhi kekhawatiran. "Aku titip Anisa ya, Kak. Aku takut dia kena masa
"Aku nggak apa-apa, Mom, Nis," jawab Jennie, "cuma kurang istirahat aja." Senyum tipis terukir di bibirnya, berusaha keras menutupi badai yang berkecamuk di dalam hatinya.Andin, ibu mertuanya, menatap Jennie dengan raut penuh kekhawatiran. Sementara Anisa terus mencecarnya dengan pertanyaan tentang keadaannya. Namun, Gara, suaminya, tetap bungkam, seolah Jennie tak pernah ada di sana. Sikap dinginnya menusuk hati Jennie jauh lebih dalam dari apa pun."Bang, Kakak ipar kenapa?" Bara memecah keheningan, "kalian nggak kenapa-kenapa 'kan?"Gara hanya berdeham pelan, pandangannya tetap lurus ke depan. "Dia lelah," jawabnya singkat, tanpa menoleh sedikit pun.Jawaban itu terasa menghina bagi Jennie. Seolah Gara meremehkan perasaannya, mereduksi luka batinnya menjadi sekadar kelelahan fisik. Perih semalam kembali menguasai hatinya. Ia meraih gelas air, menenggaknya hingga tandas, berusaha menenangkan diri."Gara, lihat istrimu!" tegur Andin, "kamu ini kenapa? Baru pulang bukannya peluk cium
Bara dan Anisa keluar dari mobil, datang menjemput Jennie atas suruhan Mommy."Kakak ipar!" panggil Bara ceria saat melihat Jennie. Ia keluar dari mobil, disusul Anisa."Kalian dari mana?" tanya Jennie heran melihat kedua adik iparnya tiba-tiba muncul."Mommy nyuruh kami jemput Kakak," jawab Bara.Anisa mengangguk setuju. "Iya, Kak. Kami udah nunggu di sini sejak satu jam yang lalu.""Satu jam? Kenapa nggak nyamperin?" kata Jennie."Takut ganggu acara Kak Jennie." Anisa tersenyum kecil. "Bahagia banget ya jadi Lastri, dilamar romantis sama laki-laki yang begitu mencintainya.""Iya," jawab Jennie, suaranya terdengar sendu. "Kita berdua ini kurang beruntung, pernikahan seharusnya diawali kebahagiaan kayak mereka tadi, malah diawali sebuah kebohongan.""Iya ya, Kak," ucap Anisa setuju.Bara hanya terdiam. Awal pernikahannya dengan Anisa juga tidak jauh berbeda, penuh dengan konflik. Ia tidak bisa membela diri ketika mendengar kekecewaan dua wanita di depannya ini."Andai waktu bisa diula
Setelah Gara pergi ke luar kota, Jennie selalu pergi ke luar rumah untuk menjadi tukang parkir."Jen, suami lo orang kaya. Lo minta pulau juga pasti dibeliin. Ngapain lo malah ikutan markir lagi sih?" tanya Jo, sahabat Jennie yang juga tukang parkir."Gue mau beliin sesuatu buat laki gue, pakai uang hasil keringat sendiri," jawab Jennie.Setelah beberapa hari, uang hasil markir akhirnya terkumpul."Gue mau beli apaan, ya?" tanya Jennie pada Jo."Lah, mana gue tahu. Gue kan bukan orang kaya," jawab Jo."Mending temenin gue ke toko perhiasan yuk!" ajak Jo."Wuih, banyak duit!" kata Jennie. "Mau beliin gue?""Ngapain beliin lo? Gue mau ngelamar Lastri," bisik Jo sambil melirik ke arah pintu minimarket."Oke deh," kata Jennie. "Ntar kalau si Jali datang, kita langsung cabut.""Ntar malam bantu gue, ya," kata Jo. "Gue gugup, takut ditolak.""Yaelah, Jo. Kalau enggak yakin, jangan dilamar dulu," kata Jennie."Gue pacaran udah lama banget, Jen. Masa gue harus nunggu punya rumah dulu? Kapan n
Lalu datanglah beberapa pria berbadan besar. Raut wajah Delina berubah panik. Ia mundur beberapa langkah.“Siapa mereka?” tanya Delina dengan suara bergetar.“Mereka bukan siapa-siapa,” jawab Jennie, senyumnya semakin lebar. “Hanya orang yang akan mengantarkanmu ke tempat yang seharusnya.”Salah satu pria itu maju dan menyerahkan sebuah surat. Delina mengambilnya dengan tangan gemetar. Setelah membaca isinya, matanya melotot. Surat itu adalah panggilan dari kepolisian, atas laporan pencemaran nama baik dan pemalsuan dokumen yang dibuat oleh Gara dan Jennie.“Gara… Gara sudah tahu?” Delina tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.“Tentu saja,” jawab Jennie. “Suamiku adalah orang paling protektif di dunia. Siapa pun yang menyentuhku, dia akan menghancurkan mereka. Dia bilang, aku adalah dunianya. Jadi, berani-beraninya kamu merusak dunia Maung Mannaf Group.”Delina tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menatap nanar Jennie yang kini tampak begitu kuat dan berkuasa. Gaun putih yang dike
Jennie tak gentar. Justru dadanya terasa terbakar amarah. Ia melipat dokumen itu, memasukkannya kembali ke amplop, dan menggenggamnya erat-erat. Jennie mendongak, menatap punggung Delina yang menjauh, lalu berteriak lantang, “Tunggu!”Langkah Delina terhenti. Ia menoleh dengan terkejut, tak menyangka Jennie akan bereaksi seperti itu. Jennie memang bukan tipe yang bisa berpura-pura atau menyusun rencana licik. Jika ia disakiti, ia akan langsung melawan.“Kamu pikir dengan dokumen dan foto murahan ini aku akan lari?” tanya Jennie, suaranya tajam. “Kamu salah besar.”Delina memutar tubuh sepenuhnya, wajahnya menunjukkan senyum meremehkan. “Apa yang membuatmu begitu yakin?” tanyanya, suaranya tenang. “Itu bukan dokumen murahan, Nona Jennie. Itu bukti bahwa Gara dan aku pernah punya janji suci sebelum kamu datang.”Jennie tertawa, tawa yang kering dan mengejek. “Janji suci yang mana? Kenapa baru kamu tunjukkan sekarang, setelah bertahun-tahun? Kenapa tidak saat Gara menikah denganku?”Delin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen