Nayla memiliki seorang suami bernama Rendy, namun pernikahan yang dia impikan selama ini berakhir seperti neraka baginya. Dia mendapati kakaknya berselingkuh dengan suaminya. Setiap hari, Rendy memperlakukan dirinya seperti babu dan bahkan lebih memilih selingkuhannya di banding dia. Hingga pada akhirnya, saat kakaknya membutuhkan donor ginjal, Rendy memohon padanya untuk mendonorkan ginjalnya untuk selingkuhannya itu. Awalnya Nayla menuruti permintaan suaminya, hingga saat di alam bawah sadar, dia di perlihatkan semua kelakuan suami dan selingkuhannya itu dan bahkan kelakuan suaminya saat menyakiti fisiknya. Bahkan, suaminya memaksanya untuk menandatangani surat cerai. Akankah Nayla sadar dan memilih memberontak? Ataukah dia tetap memilih sang suami? Saksikan kisahnya di novel ini.
ดูเพิ่มเติมPlak!
Sebuah tamparan mendarat telak di pipi Nayla. Ia merasakan pipinya kebas usai di tampar oleh suaminya sendiri. Air mata menetes tanpa bisa ia tahan, membasahi pipinya yang tirus dan pucat pasi. "Aku ini suamimu! Harusnya kamu nurut sama aku!" hardik Rendy Baskara dengan mata membelalak. Perlahan, Nayla mengangkat wajahnya. Kantung matanya yang hitam terlihat jelas, menandakan betapa tersiksa hidupnya selama ini. Bibirnya bergetar saat melihat tidak ada jejak belas kasih di mata suaminya. "Ta—tapi, Mas... Aku ini istrimu. Kenapa kamu lebih belain selingkuhanmu itu?!" Nayla meninggikan sedikit suaranya, walaupun terdengar bergetar. Rendy melonggarkan dasinya dengan kasar. Tatapannya tajam ke arah Nayla, seperti tak lagi mengenal perempuan yang dulu ia nikahi. "Jaga mulutmu! Jangan pernah kau hina dia lagi! Dia tetap kakakmu!" desisnya geram, air liurnya menyembur ke wajah Nayla. "Tapi..." Nayla mencoba bicara, namun lagi-lagi dipotong. "Aku nggak mau tahu!" tukas Rendy dengan lantang. "Kamu harus donorin ginjalmu buat Meira! Atau kamu mau aku ceraikan, hm?" Nayla menggeleng pelan saat melihat surat cerai di genggam suaminya. Sudah sekian kalinya Rendy memberikan surat cerai, tapi dia tidak mau menandatanganinya karena belum siap bercerai. "Apa... Kak Meira lebih berharga dari aku, Mas?" tanya Nayla pelan, mempersiapkan hatinya untuk hancur lagi mendengar jawaban dari mulut sang suami. Sebuah senyum miring muncul di wajah Rendy. Tanpa ragu, ia menjawab, "Iya. Puas kamu!" Deg! Untuk ke sekian kalinya, Nayla merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Dia merasa seperti perempuan yang paling menderita di dunia. Dialah Nayla Ardiani, gadis yang sudah akrab dengan luka sejak kecil. Tinggal di panti asuhan dan dieksploitasi oleh pemilik panti asuhan, lalu di adopsi hanya untuk dijadikan alat perbandingan. Nayla pikir saat menikah dengan pria mapan dan matang, hidupnya akan berubah menjadi lebih bahagia. Nyatanya tidak! Rendy Baskara, suaminya, ternyata menjalin hubungan gelap dengan kakak angkatnya, Meira Ayuditha. Mereka berselingkuh saat pernikahan berjalan selama enam bulan. Nayla mengetahuinya secara tak sengaja saat sedang berbelanja kebutuhan dapur di swalayan. Rendy sendiri mengaku kalau ia sebenarnya ingin menikahi Meira, tapi ibunya menginginkan dia untuk menikahi Nayla. Sejak saat itulah, dunia Nayla hancur lebur. "Nanti malam, siapkan dirimu!" ujar Rendy dingin, membuyarkan lamunannya. Nayla hanya mengangguk pelan. Ia sudah terlalu letih untuk melawan, bahkan untuk menangis pun rasanya sudah tak punya tenaga. Tidak ada lagi tempat untuk pulang. Tidak ada lagi tempat berkeluh kesah. Dia memang merasa kalau dirinya tidak berguna. Perlahan ia berdiri dari sofa dan berjalan dengan langkah pelan ke arah tangga. Rumah itu begitu dingin, bukan karena cuaca, melainkan tidak ada cinta di dalamnya. Bahkan Rendy memisahkan kamar mereka berdua, Nayla tidak bisa masuk ke kamar Rendy tanpa seizinnya. Sementara itu, Meira bebas keluar masuk dari kamar tersebut. Rendy tidak perduli dengan Nayla, dia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel. "Halo, sayang. Malam ini kamu akan di operasi," ujar Rendy dengan nada lembut. Langkah kaki Nayla terhenti, dia hanya bisa mendengar suara suaminya yang lembut saat berbicara dengan Meira. "Memangnya Nayla mau mendonorkan ginjalnya? Aku cari pendonor lain aja, deh. Aku nggak mau dia kenapa-kenapa. Walaupun ginjalnya cocok sama aku, tapi nggak apa-apa. Cari yang lain saja, ya," suara Meira terdengar di seberang sana, nadanya lembut tapi palsu. Nayla tahu kalau kalimat yang dia lontarkan itu hanya manipulatif saja. Meira tidak pernah kasihan dengannya. Dia selalu ingin lebih bahagia dari Nayla, dia harus selangkah lebih maju dari Nayla. "Nggak usah mikirin perempuan nggak berguna itu. Yang penting kamu harus operasi malam ini," sahut Rendy. Mata Nayla kembali memanas dan berkaca-kaca. Tanpa ragu, dia melanjutkan langkahnya menaiki tangga menuju kamarnya. "Tuhan, kalau aku memang nggak berguna, kenapa aku harus di hadirkan ke dunia ini hanya untuk menderita?" gumamnya lirih, sebelum akhirnya menutup pintu kamarnya perlahan. *** Malam harinya, Rendy sudah berdandan rapi dengan setelan formal. Dia menunggu Nayla di sofa ruang tengah, sesekali ia melirik arloji mahal di tangannya. "Lama amat sih!" gerutunya sambil menatap pintu kamar Nayla yang masih tertutup. Baru saja dia berdiri ingin mengetuk pintu, daun pintu itu sudah terbuka lebih dulu. Nayla keluar dengan gaun biru sederhana yang membalut tubuhnya. Rambutnya tergerai tanpa hiasan, matanya tampak sembab seperti baru saja habis menangis. "Apa aja yang kamu lakuin, hah?! Kenapa lama sekali?!" bentak Rendy kasar dengan tatapan tajam. Nayla menunduk pelan, suaranya terdengar lirih. "Maaf, Mas." Rendy menghela napas gusar, lalu dia berjalan terlebih dahulu menuju ke pintu keluar. Setelah itu, Nayla menuruni tangga dengan langkah pelan. Dia meremas jemarinya, merasa gugup dengan operasi malam ini. Tubuhnya belum sepenuhnya siap, baik secara fisik maupun batin. "Cepat!!!" suara Rendy dari luar terdengar dingin. Nayla mempercepat langkahnya, berjalan menuju halaman. Dia melihat Rendy yang sudah masuk terlebih dahulu ke dalam mobil Alphard yang terparkir depan rumah. Nayla berdiri sejenak di samping mobil itu, dia masih ragu untuk masuk. Selama ini, Rendy tidak mengizinkan dia juga untuk menaiki mobilnya. "Masuk!" kata Rendy dari dalam, suaranya tetap dingin. "Khusus malam ini saja, kamu boleh duduk di mobil ini." Nayla menunduk pelan, lalu membuka pintu dan masuk ke dalam. Tak lama kemudian, sang sopir menghidupkan mesin dan keluar dari pekarangan rumah. Di dalam mobil, suasana canggung sangat terasa. Nayla hanya memandang keluar jendela mobil, sedangkan Rendy lebih memilih sibuk dengan ponselnya. Tidak ada percakapan di antara mereka berdua. *** Sesampainya di rumah sakit, Rendy langsung sibuk mengurus segala administrasi untuk operasi ginjal Meira. Sementara itu, dari kejauhan, Nayla melihat kedua orang tua angkatnya masuk ke dalam ruangan Meira. Ia menghela napas pelan, berharap ditenangkan oleh mereka, tapi itu sangat tidak mungkin. "Mbak Nayla?" panggil seorang suster dengan suara lembut. Nayla menoleh perlahan dan hanya mengangguk sebagai jawaban. "Mari ikut saya ke ruang operasi," ujar suster itu sambil tersenyum kecil. Nayla kembali mengangguk. Dia berjalan perlahan mengikuti langkah suster itu. Namun di tengah perjalanan, matanya menangkap sosok Rendy yang bergegas masuk ke ruangan Meira, senyum tipis mengembang di wajahnya. "Senyumnya bukan untukku," gumam Nayla sambil menahan perih. Ia tersenyum pahit. Suster itu membimbing Nayla ke ruang operasi yang steril dan dingin, aroma antiseptik menusuk hidungnya. Perlahan, Nayla berbaring di atas meja operasi, tubuhnya gemetar meski berusaha tenang. "Inikah akhirnya? Aku akan kehilangan satu ginjalku untuk perempuan yang mengambil suamiku itu?" pikirnya sambil menatap langit-langit ruangan dengan tatapan kosong. Seorang dokter mendekat dengan jarum suntik berisi anestesi. "Ini akan terasa sedikit perih, Mbak," ujarnya lembut sebelum menusukkannya ke lengan Nayla. Dingin. Lalu, perlahan, dunia di sekitarnya mulai kabur. Namun, anestesi itu butuh waktu lebih lama untuk bekerja sepenuhnya. Para dokter memutuskan menunggu sekitar satu jam sebelum memulai operasi, memastikan Nayla benar-benar takkan merasakan sakit. *** Di alam bawah sadar, Nayla berdiri di tengah ruangan yang putih dan sunyi. "Aku di mana?" bisiknya pelan, matanya menyapu sekeliling ruangan. Saat menoleh ke belakang, dia terkejut melihat seorang wanita yang sangat mirip dengannya berdiri di belakang. Namun, tubuhnya tampak lusuh, wajahnya sayu, kulitnya pucat dan rambutnya kusut tak terurus. "Ka—kamu siapa?" tanya Nayla gugup. Perempuan itu tidak menjawab. Perlahan, ia melangkah maju, namun Nayla berjalan mundur selangkah. Perempuan itu berhenti, lalu dia tersenyum miring. "Kamu takut? Harusnya kamu berani, aku begini juga gara-gara kamu," ucap perempuan itu geram. Nayla menggeleng pelan. "Ta—tapi... siapa kamu sebenarnya?" "Aku adalah kamu... dan kamu adalah aku," jawab perempuan itu dengan suara parau. "Aku adalah dirimu yang selama ini kau pendam, kau abaikan, dan kau biarkan terluka." Perempuan itu kembali mendekat. Nayla ingin mundur, namun kakinya terasa berat. Dia berdiri mematung di tempatnya. Perempuan itu tersenyum pilu. "Nayla, selama ini kau lupa. Kau lupa kalau kau layak untuk bahagia." Nayla menggeleng pelan, setetes air mata kembali mengalir di pelupuk matanya. "Hentikan tangismu itu. Aku tersiksa dengan air mata itu," kata perempuan itu lirih seraya memukul-mukul dadanya, matanya juga berkaca-kaca. Nayla mengangguk pelan, lalu menyeka air matanya. Perempuan itu mengulurkan tangannya. Nayla ragu sejenak, sebelum akhirnya meraih tangan itu. Tiba-tiba, cahaya putih menyilaukan menyinari mereka, tubuhnya seperti melayang di udara. Saat membuka mata, Nayla melihat dirinya berada di dalam rumahnya. "Kenapa kamu membawaku kembali kesini?" tanyanya lirih. "Biar kamu sadar," jawab sosok perempuan itu. Di hadapannya, terlihat Rendy tengah mengamuk. Tangannya tak berhenti menghajar tubuh Nayla yang tergeletak tak berdaya di lantai, setelah memergoki perselingkuhan mereka. "Harusnya kita yang marah karena melihat dia selingkuh, tapi malah kita yang babak belur," bisik sosok perempuan itu dengan suara getir. Permintaan ampun tidak terdengar di telinga Rendy. Dia terus memukuli Nayla sampai babak belur. Setelah tubuh itu tak lagi berdaya, Rendy meninggalkannya begitu saja. Begitu matanya berkedip, Nayla mendapati dirinya berada di sebuah ballroom hotel mewah yang penuh cahaya gemerlap dan suara tawa. Di sana, para konglomerat sedang berpesta, berdansa dan menikmati kemewahan. "Lihatlah," ujar sosok perempuan yang selalu mengiringinya, menunjuk ke arah kerumunan. Di sudut ruangan, Rendy tampak tertawa lepas sambil memeluk Meira. Wajahnya berseri, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Bahkan dengan mesra, dia menyuapi Meira sepotong cake diiringi tepuk tangan teman-teman mereka. "Setelah memukulmu habis-habisan, dia pergi berpesta dengan Meira," ujar perempuan itu lirih dengan nada tajam. Sekejap, suasana berganti. Mereka kini berada kembali di dalam rumah, dan Nayla terdiam melihat dirinya di siram kopi panas oleh Rendy hanya karena kesalahan kecil. Ia tak sengaja menumpahkan teh ke baju Meira. "Lihat, Nayla," kata perempuan itu penuh amarah. "Dia lebih milih si jalang itu... daripada kita." Lalu, dalam sekejap, mereka berada di dalam kamar Rendy. Nayla terdiam saat menginjakkan kaki disana. Ini pertama kalinya ia masuk ke dalam kamar suaminya. "Perhatikan baik-baik yang dilakukan si brengsek itu," ujar perempuan itu sambil menunjuk ke ranjang dengan dagunya. Deg! Jantung Nayla seolah berhenti berdetak. Di atas ranjang itu, Rendy dan Meira sedang bercinta tanpa rasa malu. "Jadi selama ini..." Belum sempat Nayla menyelesaikan ucapannya, ruangan kembali berubah. Kini, satu demi satu, adegan perselingkuhan Rendy dan Meira diperlihatkan dengan jelas. Adegan kekejaman Rendy kepadanya, sampai adegan saat Meira memfitnahnya dan berakhir Rendy memukulinya lagi. Hatinya... kini tak bisa diperbaiki lagi. Lalu, mereka berada di dalam ruangan Meira. Disana, Nayla hanya bisa terpaku melihat sikap Rendy yang sangat perhatian kepada Meira. "Lihat," bisik perempuan itu pelan. "Dia nggak pantas menerima cinta tulusmu, Nayla." Adegan berganti cepat, mereka kini berdiri di samping ranjang operasi milik Nayla. "Lihat, apa kamu nggak kasihan sama dirimu sendiri?" Nayla melihat dirinya yang kusam, tak terawat dan pucat kini terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang. "Waktunya masih lama," kata perempuan itu sambil melirik ke arah jam dinding. "Keputusan untuk menentukan kebahagiaan ada di tanganmu." Selesai berkata begitu, perempuan itu memudar, lalu menghilang dalam kabut putih. Nayla termenung. Ia menatap tubuhnya yang terbaring di atas ranjang dengan sorot mata yang tak bisa di artikan. "Baiklah... keputusan ada di tanganku."Nayla berdiri di tengah ruang tamu, senyum tipis masih menghiasi wajahnya. Ia menarik napas panjang, menikmati kemenangan kecil yang begitu memuaskan."Seharusnya dari dulu aku seperti ini,” gumamnya lirih.Ia menatap kartu kredit di tangannya, lalu menyunggingkan senyum puas. Dengan langkah santai, ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air putih.Setibanya di dapur, pandangannya langsung tertuju pada Mbok Marni yang tengah membungkuk, memunguti pecahan piring di lantai."Istirahatlah, Mbok. Jangan sampai kecapekan, ya,” ucap Nayla lembut.Mbok Marni menoleh dengan cepat, ia sedikit terkejut. Matanya langsung menangkap sosok Nayla yang berdiri di depan meja makan yang menuang air ke dalam gelas.“Iya, Nyonya. Ini tinggal sedikit lagi, kok,” jawab Mbok Marni, ia tersenyum tipis sambil mengusap keringat di pelipisnya.Nayla hanya mengangguk pelan, lalu meminum air perlahan. Beberapa detik kemudian, Mbok Marni meliriknya ragu-ragu, lalu memberanikan diri berkata,"Mmm, tadi...
Meira membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia mengangkat kepala perlahan dan menatap pantulan dirinya di cermin wastafel.'Dasar Nayla brengsek! Kenapa perempuan lemah itu sekarang bisa berubah seperti ini?! Sial!' gerutunya dalam hati sambil menggigit bibir bawahnya hingga hampir berdarah.Dari balik pintu, ia mendengar tawa Nayla dan Maharani yang semakin keras. Meira mengepalkan kedua tangannya erat, sorot matanya yang tajam seolah bisa menghancurkan cermin wastafel di depannya.'Aku nggak boleh kalah dari perempuan selemah dia.'Dengan cepat, ia mengambil ponselnya yang tergeletak di samping wastafel. Jarinya mengetik di ponsel dengan cepat.'Ibu, Nayla sudah pulang ke rumah. Tapi sikapnya berubah total. Meira juga nggak tahu kenapa. Tadi dia bilang nggak mau ketemu Ibu lagi.'Tanpa ragu, Meira menekan tombol kirim. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia tahu benar kalau Nayla selalu tunduk pada Dewi, ibunya yang keras dan pemarah.
Diam-diam, Nayla menyunggingkan senyum tipis penuh kemenangan. Sore tadi, mertuanya menghubunginya melalui telepon dan memberitahunya kalau ia akan makan malam bersama mereka malam ini.Sementara itu, Meira buru-buru melepaskan tangannya dari lengan Rendy. Itu semua tak luput dari sorot mata Maharani."Ta-Tante..." sapa Meira dengan suara terbata-bata.Namun Maharani tak menggubrisnya. Pandangannya beralih pada Rendy yang berdiri canggung dengan wajah sedikit pucat."Ibu... kok nggak bilang kalau mau datang ke rumah?" tanya Rendy dengan suara lembut.Maharani menatapnya tajam. "Kenapa perempuan itu memegang tanganmu?" tanyanya dingin, matanya melirik sekilas ke arah Meira.Selama ini, Maharani memang tidak mengetahui permasalahan rumah tangga putranya. Bahkan Nayla pun tak pernah mengadu satu kata pun tentang suaminya.“Oh... dia tadi hanya bercanda dengan Nayla, Bu,” jawab Rendy tergagap, berusaha tersenyum walau canggung. “Ibu kan tahu sendiri, walaupun mereka saudara angkat, mereka
Rendy mengusap pipinya yang masih terasa panas. Matanya membelalak tak percaya, sementara dadanya sesak dipenuhi kemarahan dan keterkejutan. "Berani-beraninya kamu...!" desisnya tajam, rahangnya mengeras menahan emosi. Nayla berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tatapannya dingin, tajam dan tanpa rasa takut sedikit pun saat memandang Rendy. "Tentu saja," sahutnya tenang. "Kenapa aku harus takut sama kamu?" Wajah Rendy semakin memerah. Tangannya teracung, menunjuk Nayla dengan jari yang gemetar karena amarah. "Kurang ajar! Kamu istri durhaka!" bentaknya lantang. Namun Nayla hanya tersenyum kecil. Senyum tipis yang penuh sindiran dan luka yang telah membatu. "Kata 'durhaka' itu justru lebih pantas disematkan untukmu," balasnya pelan, namun tajam seperti pisau yang menoreh harga diri Rendy. Rendy terdiam. Tubuhnya menegang, dan wajahnya seketika berubah. Tak disangkanya, Nayla yang dulu penurut, kini berani menantangnya dengan suara setegas itu. Sem
Di dapur, Nayla tengah mengisi botol minumnya dengan air mineral. Wajahnya tetap datar, namun dalam hati ia merasa bahagia setiap kali mengingat pertemuannya dengan keluarga kandungnya.Tiba-tiba, terdengar suara lembut dan manja dari belakangnya."Mas, aku mau minum jus alpukat, ya. Tapi jangan pakai gula," ucap Meira dengan nada genit yang dibuat-buat.Suaranya sengaja diperkeras, seolah ingin memamerkan kemesraannya di hadapan Nayla."Iya, sayang. Aku buatkan sekarang," balas Rendy lembut.Ia segera menuju kulkas dan mengambil beberapa buah alpukat. Setelah itu, ia mengambil gelas, lalu berjalan ke arah dispenser tempat Nayla masih berdiri mengisi botolnya.Namun, baru saja ia membuka mulut ingin berbicara, Nayla sudah berbalik dan berjalan keluar dari dapur tanpa menoleh sedikit pun. Ia muak. Kehadiran Rendy dengan Meira di satu ruangan bersamanya terasa seperti duri yang menusuk.Melihat itu, Meira buru-buru menyusul."Nayla... kamu..." panggilnya, namun Nayla tetap melangkah tan
Rendy mengepalkan tangan erat. Sorot matanya menyala-nyala penuh amarah, seolah siap untuk membunuh Nayla sekarang juga. Dalam hati, ia sudah membayangkan Nayla terkapar di lantai tak berdaya. Sementara itu, diam-diam Meira tersenyum miring penuh kepuasan melihat raut marah Rendy. 'Tontonan menarik. Hari ini dia pasti babak belur lagi,' batinnya licik. 'Selamat datang di nerakamu, Nayla. Waktumu muncul nggak tepat, jalang!' gumamnya dalam hati yang merasa puas. Rendy melepaskan tangan Meira yang melingkar di lengannya, lalu melangkah dengan cepat menghampiri Nayla. Gadis itu masih duduk santai, seraya menyesap jusnya tanpa terlihat terganggu sedikit pun. Saat melihat Rendy mendekat dengan penuh amarah, Nayla segera berdiri. Ia melipat tangannya di dada, menatap lurus lelaki itu. Rendy sedikit terkejut saat melihat Nayla yang berani menatap matanya, tatapan itu terasa asing baginya. Namun, Rendy tidak peduli, amarah telah menguasai dirinya. PLAAKK! PLAAKK! Sebuah tampar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น