Renjana (Airin dan Hardian)

Renjana (Airin dan Hardian)

By:  Titania  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
16Chapters
1.3Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Mengeluh itu wajar, tetapi jika keseringan mengeluh jatuhnya jadi kurang bersyukur. Mungkin begitulah kalimat yang pantas untuk Airin. Jiwanya yang rapuh ternyata membuatnya kesulitan menjalani kehidupan di dunia fana yang jelas-jelas tak bisa sesuai ekspektasi ini. Meskipun luka dimasa kecil Airin tetap meninggalkan bekas, setidaknya Hardian hadir sebagai pengobat hati yang tulus. Lalu, akankah Airin dan Hardian tetap bersama dalam suka maupun duka? Atau Airin memilih menuruti ego dan pergi bersama Arfan?

View More
Renjana (Airin dan Hardian) Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
No Comments
16 Chapters
Tetangga Nyinyir
“Mang, tempe sama kangkungnya,” pinta Airin. Sebenarnya ia ragu untuk berbelanja di Mang Asep, tetapi harga sayur-mayur di Mang Asep terbilang lebih murah dari tukang sayur yang lain, lumayan sisanya buat jajan cilok, pikir Airin. Namun, nyatanya ibu-ibu yang gemar bergosip itu tak akan membiarkannya pergi tanpa julid terlebih dahulu.“Eh, Airin, masa tiap hari makannya tempe sama kangkung terus sih, pantes aja kamu belum hamil, lha makanannya aja kurang bergizi,” timpal Bu Ani wanita yang selalu memakai seluruh perhiasannya meski hanya untuk belanja sayur.Airin hanya diam, malas sepertinya membalas ucapan Bu Ani yang sebenarnya menyakitkan hati.“Berapa, Mang?” tanya Airin.“Tujuh ribu, Neng,” jawab Mang Asep ramah.Airin mengambil selembar uang sepuluh ribu lalu memberikannya pada Mang Asep.“Kembaliannya tiga ribu ya, Neng.” Mang Asep merogoh tas pinggang usang yang selalu melin
Read more
Sahabat Lama
Terik matahari tak dirasakan Hardian. Ia terus semangat mengaduk semen meski perutnya keroncongan karena sedari pagi belum makan berat, hanya segelas kopi pahit dan sepotong roti pemberian Imam teman kerjanya tadi saat sampai, tidak mampu mengganjal perut dan tubuhnya yang dipakai untuk bekerja keras.Kulitnya coklat terbakar matahari, peluh menetes dari pelipis juga punggung, terlihat dari kaosnya yang basah. Hardian bersemangat karena hari ini ia gajian. Airin pasti senang kalau uang gajinya lebih, mengingat itu ia seolah-olah lupa kejadian tadi pagi.Baginya, Airin adalah perempuan yang sangat berharga, ia sadar belum bisa membahagiakannya. Maka dari itu ia tak akan menyerah menghadapi realitas kehidupan yang melelahkan ini.Para kuli tersenyum senang setelah mendapat upah. Termasuk Imam yang sudah antre terlebih dahulu.“Hardi, aku pulang duluan, ya!” seru Imam sembari melambaikan tangan.Hardian hanya tersenyum sebagai balasan.
Read more
Jamuan Sederhana
Arfan mencoba bersikap biasa saja, ia tersenyum saat Hardian dan Airin menghampirinya dengan membawa makanan.“Makan siang dulu, Fan. Tapi seadanya, ya.” Hardian menaruh tumis kangkung dan ikan asin di atas meja.Sisi lain hati Arfan diam-diam tersentuh, semacam merindukan kehangatan yang sama, tetapi semua itu seperti mustahil.Sangat, sangat sederhana di mata Arfan. Namun, mau sesederhana apa pun makanan itu, akan terasa nikmat jika disantap berdua dengan orang terkasih. Seperti yang dilakukan Airin dan Hardian saat ini.Perempuan itu kembali ke dapur dan mengambil tiga buah piring beserta sendok.  Kemudian ia mengambilkan nasi untuk suaminya.“Makasih, Neng,” ucap Hardian sembari tersenyum. Airin pun hanya tersenyum sebagai balasan.Setelah itu ia menyodorkan piring ke arah Arfan yang termenung, lelaki itu awalnya berharap Airin akan mengambilkan nasi untuknya juga.“Eh, iya.” Arfan gelagapa
Read more
Awal yang Salah
Pertemuan itu membuat peluang Hardian semakin dekat dan mudah. Airin yang selalu murung, perlahan semangatnya kembali semenjak bertemu dengan dirinya. Keduanya sama-sama saling membutuhkan, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah.Airin tak peduli dengan keadaan Hardian, yang ia tahu, Hardian adalah teman, sekaligus orang yang berhasil membuatnya kembali bangkit untuk menjalani hidup.Tentu saja ayah Airin menentang. Jelas, karena mereka beda kasta serta sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat.“Kenapa, Yah?” tanya Airin waktu itu.“Pokoknya kamu nggak boleh nikah sama dia.” Ayah Airin kekeh.“Nggak bisa, Pa. Aku cinta sama dia.”“Makan itu cinta. Memangnya kamu hidup kenyang cuma makan cinta.”Sikap keras kepala Airin tak jauh beda dengan ayahnya. Keduanya tetap menikah dengan wali hakim.Sepertinya, perempuan itu akhir-akhir ini menyesali keputusannya. Semenjak menikah pun ia
Read more
Mengidam
“Kamu kenapa sih? Kok malah ngelamun? Bukannya bikinin aku teh panas misalnya.” Sindir Airin.Hardian tersenyum samar, sebagai seorang suami ia memang belum se-peka yang diinginkan Airin.“Sebentar, ya, Sayang. ‘Aa bikin dulu,” ujar Hardian kemudian bangkit berdiri dan keluar menuju dapur.Tak lama lelaki itu kembali, membawa secangkir teh panas dengan asap yang masih mengepul.“Pelan-pelan minumnya, masih panas,” ucap Hardian sembari memberikannya pada Airin. Perempuan itu menerimanya dengan perlahan, berniat untuk menghirup aroma teh yang begitu khas tetapi ia mendadak mual.“Ih, kok bau melati,” ujar Airin cepat memberikannya kembali pada Hardian, hingga sedikit air teh tersebut tumpah.“Lho, iya. Ini kan teh kesukaan kamu yang ada aroma melatinya.” Hardian bingung.“Pokoknya aku nggak suka. Aku mau ganti yang biasa aja,” pinta Airin.
Read more
Gagal Romantis
Hardian pun menyusul masuk, menyimpan helm di atas meja, kemudian melenggang ke dapur untuk sekadar mengambil minum. Dirasa kerongkongannya sudah tak lagi kering, Hardian berniat untuk menyusul Airin ke kamar, tetapi saat ia memutar kenop pintu malah dikunci. “Lho, Neng, kok dikunci?” seru Hardian sembari mengetuk pintu. “Biarin! Itu balasan buat suami yang gak pernah peka!” seru Airin dari dalam. “Peka gimana, Neng? Aa' salah apa lagi?” tanya Hardian bingung. Niat hati ingin menghabiskan waktu berdua tak ingin sia-sia karena sudah terlanjur izin kepada Arfan untuk tak masuk kerja, malah dapat hal tak menyenangkan lagi dari Airin. “Kamu pikir aja sendiri!” Hardian menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Malah disuruh mikir, gimana sih? Batinnya. “Aa’ gak ngerti, Neng. Memangnya Neng Airin mau apa? Bilang aja! Aa' gak ngerti kode-kodean, Neng.” Hardian to the point. Terdengar derap langkah mendekat, kemudian kenop pintu terlihat be
Read more
Meminta Pisah
“Terima kasih, Fan udah mau nunggu. Ini uangnya, aku beli.” Hardian menyodorkan selembar uang berwarna merah. Arfan mendongak kemudian bangkit berdiri. “Jangan gengsi, Har. Aku ikhlas membantu,” ujarnya. “Jangan pura-pura, aku tahu kamu iba kan sama aku? Aku gak mau dikasihani, Fan!” Hardian meraih bungkusan yang tergeletak di meja dengan kasar. Kemudian berlalu pergi tanpa sepatah kata pun. Arfan meremas uang yang diberikan Hardian. Baginya uang selembar ini tak ada apa-apanya dibanding sikap Hardian yang menurutnya sombong meskipun miskin. Ia tak terima, dan akan membalasnya. “Awas kamu, Har!” batinnya murka. * Airin bergegas membukakan pintu. Hardian masuk dengan wajah tak bersahabat. “Ini, makan sepuasnya, aku beli ini dengan harga diri,” ucap Hardian sembari menaruh bungkusan di atas meja dengan sedikit kasar. “Gak mau,” balas Airin cepat. Hardian berbalik, menatap Airin tajam. Sedari tadi ia menaha
Read more
Balasan Sakit Hati Arfan
'Mulai hari ini, kamu saya pecat, Hardian!’Bagai disambar petir di siang bolong, Hardian terenyak, tak percaya dengan tulisan tangan tersebut. Uang ini? Ia jadi teringat kejadian kemarin, sikapnya mungkin saja membuat Arfan merasa sakit hati. Ah, ia tak berpikir sejauh itu, dan tak berniat untuk sombong atau menyakiti hati orang lain.“Kenapa, Har?” tanya Imam saat melihat perubahan raut wajah Hardian.“Enggak, Mam. Aku ada urusan sebentar, aku harus pergi!” Hardian tergesa-gesa menuju tempat membersihkan diri.“Lho, ada apa, Har? Cerita sama aku,” ujar Imam menangkap keanehan.Tak membalas, setelah mencuci tangan dan kakinya ia bergegas pergi, meninggalkan Imam yang masih dilanda penasaran.“Har ... Har, hobi banget kamu bikin orang penasaran,” gumam Imam sembari menggeleng menatap kepergian temannya itu.*Airin melangkah mantap saat mendengar teriakkan khas Mang Asep, ia
Read more
Awal Nestapa
Airin berhenti bersenandung saat terdengar salam dari depan. Ia segera mematikan kompor kemudian bergegas untuk membukakan pintu.Belum sempat memutar kenop, pintu sudah terbuka. Hardian masuk dengan wajah masam. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sofa tua kemudian bersandar sembari memejamkan mata.“Ada apa lagi?” tanya Airin mencoba mencairkan suasana.Terdengar hela napas berat suaminya itu. Hardian mengubah posisi, menegakkan tubuh sembari mengusap wajahnya kasar.“Neng masak apa? Aa' lapar,” ujarnya berdusta. Padahal, dalam hati ia sangat ingin mengatakan yang sebenarnya.Ajaib, Airin tersenyum padanya. Hardian pikir akan seperti semalam atau pagi sebelum ia berangkat. Setidaknya hal itu membuat rasa kesal di hati Hardian sedikit berkurang.“Kok malah senyum? Neng masak enak, ya? Aa’ jadi makin lapar, gak sabar pengen cepet-cepet makan.” Lagi, Hardian menebak.“Ada deh, ya udah, y
Read more
Pemfitnah
“Hardi?” Si pemilik nama refleks menoleh, lantas bergegas bangkit dan mencium takzim punggung tangan sang mertua. “Bapak, sehat?” tanya Hardian kemudian. “Sehat. Duduk!” titahnya. Hening sesaat merajai. Jujur, Hardian bingung harus memulai percakapan dari mana. “Ada apa?” tanya lelaki tua itu datar dan terkesan menghindari basa-basi. “Saya mau pinjam uang, Pak,” ucap Hardian seraya menunduk. Lagi-lagi hening. “Untuk apa?” tanyanya memastikan. “Untuk modal jualan, Pak.” “Untuk modal aja kamu sampai gak punya tabungan, Har.” Kepala Hardian terangkat, ia memberanikan diri menatap ayah mertuanya. “Ada, Pak. Tapi ... Airin bilang itu tabungan untuk lahiran nanti.” “Lahiran?” Hardian mengangguk. Ah, ia sampai lupa kalau ayah mertuanya itu belum tahu soal kehamilan Airin. “Airin hamil?” tanyanya terdengar antusias. “Alhamdulillah, Pak.” Hardian mengulas senyum. Me
Read more
DMCA.com Protection Status