AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN

AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN

By:  Kharisma Ramadhan  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
10
7 ratings
63Chapters
51.2Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Kisah janda muda bernama Asti bersama kedua anaknya yang didzalimi oleh saudaranya sendiri. Hanya demi sepetak tanah,atas dasar kebohongan kedua lelaki bernama Bahri dan Bahrul itu berani bersumpah mengatasnamakan Al-Qur'an. Hal yang seharusnya tidak dia lakukan, karena dengan begitu dia sudah mempermainkan sumpah Allah. Tak hanya itu, Asti juga didzalimi dan diperlakukan tidak sepantasnya, dengan tujuan supaya tidak betah dan meninggalkan rumahnya. Dengan begitu, Bahri dan Bahrul bisa merebut rumah Asti juga. Hingga kemudian, lambat laun Bahrul dan Bahri menerima balasannya.

View More
AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Baiq Maesirni
akhirnyaaa bisa baca cerita ini sampai selesai ......... bagus bangeeett dari dulu udah kepo banget sama cerita2nya ...
2024-03-05 19:58:24
0
user avatar
liza sarah
sukaaa dengan pemilihan bahasanya. ceritanya jg sangat msk di akal. mmg demikianlah yg terjadi dlm hidup ini, setiap perbuatan ada balasannya. aku beberapa episode lg slesai. tp gk sabar ksh ulasan dan beri bintang 5. pelajaran utk kita, jgn sombong serta semena². mantap thor.
2022-12-24 22:10:47
1
user avatar
Ume Humaerah
bagus, suka sekali, ditunggu karya selanjutnya
2022-10-10 19:34:36
1
user avatar
ArPi Kim🌺
gak ada lanjutannya ya kak
2022-10-03 05:09:07
1
user avatar
Septiana Kurniawat
ditunggu up nya lagi thor
2022-09-17 02:54:21
1
user avatar
Bendol Kalibokor
cerita yg masuk akal di jaman ini
2022-09-15 14:23:41
1
user avatar
Lof Yuh
very good so much
2022-08-05 15:08:24
1
63 Chapters
1. Dzalim
"Pak Bahri, Pak Bahul, bagaimana? Apa Anda yakin?" tanya Pak Modin meyakinkan. Entah sudah keberapa kalinya."Iya, Pak. Saya yakin." Pak Bahri dan Pak Bahrul berkata dengan mantap hampir bersamaan.Suasana berlangsung tegang. Di sini, kami menjadi tontonan dari warga sekitar. Aku hanya menunduk, meremas ujung baju."Baiklah. Tolong ikuti saya ya, Pak!"Pak Modin mengangkat Alquran, lalu meletakkannya sedikit tinggi di atas kepala dua lelaki itu."Bismillahirrahmanirrahim ... demi Allah dan demi kitab sucinya, saya berkata dengan sejujur-jujurnya. Sekalipun dusta, maka akan ada balasan yang saya terima. Bahwasanya, tanah sepetak dengan luas sekitar 12x20 meter tersebut murni milik orang tua kami. Warisan yang diperuntukkan buat kami." Kedua saudara itu dengan tenang mengikuti ucapan Pak Modin. Sementara tubuhku bergetar. Mereka benar-benar berani melalukan kebohongan terbesar hanya untuk merebut tanah yang tak begitu luas itu.Mulutku tak henti beristighfar. Aku telah kalah. Kuangkat
Read more
2. Sayur Basi
"Bu ... Nia mau berangkat!" teriak Nia dari ruang tengah.Aku tegopoh menyajikan bekal untuknya. Bersyukur, bubur semalam masih tersisa banyak. Sebetulnya hatiku nyeri melihat Nia tak begitu berselera untuk makan. "Kayak mau mual, Bu. Nasinya lembek," katanya, saat makan malam. "Ih, Nia ngga tau, ya? Ini tuh makanan orang kaya." Aku tertawa ringan, menutupi kepedihan. Tak tega melihat raut mukanya yang berusaha menelan.Sedangkan pagi tadi ia tak makan, katanya kenyang, saat melihatku menyuguhkan bubur itu kembali. Seandainya bubur dengan topping suwiran daging ayam, potongan telur dadar dan kacang, mungkin Nia lebih suka."Ini bekalnya. Hati-hati, Nak!"Aku menyodorkan ragu kotak bekalnya. Gadisku itu menerima dengan senang. Namun, raut mukanya meredup saat membuka kotak bekal."Ini lagi, Bu?" tanyanya lirih.Aku tersenyum. Lalu membungkuk, menyejajari tinggi tubuhnya. "Ini tuh makanan Nabi Nuh dan beberapa orang yang berada di kapalnya dulu, saat dilanda musibah. Masak Nia ngga p
Read more
3. Daging Kambing
Matahari sudah tenggelam di ufuk barat, saat aku pulang dari ladang Bu Surti. Aku berjalan dengan membungkuk, memikul satu kaleng padi di punggung, sebagai gaji buruh. Aku menghentikan langkah melihat kerumunan banyak orang di kebun sebelah rumah. Sebagian ada yang berjejer antri, sebagian pulang dengan membawa bungkusan plastik hitam. Mataku berbinar, sepertinya ini pembagian daging kambing.Benar, bau amis menguar saat aku melewati mereka menuju rumah. Aku mempercepat langkah, lalu meletakkan kaleng padi di dapur. Setelahnya bergegas balik, menimbrung pada kerumunan orang yang sedang mengantri.Aku mengamati mereka yang maju satu per satu, lalu memberikan secarik kertas pada petugas, mereka bapak-bapak yang kemarin merusak tanamanku. Lalu, petugas pun memberinya bungkusan. Seperti tukar kupon.Aku mengedarkan pandangan. Semua orang yang mengantri memang memegang kupon dengan warna kuning. Aku kembali pulang, menanyakan pada Nia. "Nggak, Bu. Dari tadi Nia jagain adik ngga ada orang
Read more
4. Penindasan
Aku menutup hidung dengan ujung baju, lalu membereskan karung yang penuh dengan bercak-bercak darah tersebut. Bau amis dan busuk membuat isi perutku seakan hendak meluap.Aku meminta Nia untuk menjaga Ica, tak mengizinkan mereka untuk memasuki dapur. Pastilah Nia tidak akan bisa menahan rasa mualnya.Karung itu kulipat rapi, sedangkan sisa-sisa potongan kambing yang tak bisa dimakan itu kubungkus plastik, lalu menguburnya dalam tanah. Supaya bau busuknya tak lagi menyengat.Aku mengusap peluh di dahi. Rasanya lelah sekali. Aku teringat pepatah orang Jawa, 'Ndak ikut makan nangkanya tapi dapat getahnya', seperti yang kualami sekarang. Aku tersenyum masam, mengingat tak mendapat bagian daging kambingnya, malah diberi kotorannya.Setelah mandi, aku memasak mie gelas untuk sarapan Nia. Lalu menyuapi Ica dengan biskuit."Bu, hari ini aku nggak bawa bekal. Kan, hari Jumat. Pasti pulang cepet," katanya, lalu lanjut menyuap mie ke dalam mulut. Aku mengangguk.Setelah Nia berangkat, aku merapi
Read more
5. Busuk
"Terima kasih, Bu!" jawabku."Kenapa? Kalau nggak mau bilang aja! Biar saya kasih yang lain," ketus Bu Ramlah.Mungkin ia melihat raut tak semangat di wajahku, saat menerima pemberiannya."Eh enggak, kok, Bu. Terima kasih," ucapku lagi sambil tersenyum. Bu Ramlah berlalu setelah mengingatkanku untuk mengembalikan nampan miliknya itu."Bu!" Nia berlari dengan membawa buku di tangannya. "Kenapa, Nak? Lapar?" tanyaku, mengingat ia hanya sarapan dengan mie gelas saja."Bu ... emang kalo orang miskin nggak pantes, ya, liat tivi gede?" tanyanya polos. Namun, wajahnya terlihat sedih.Aku terkesiap mendengar pertanyaannya. "Siapa yang bilang gitu, Nak?" tanyaku lembut, walau sejujurnya rasa nyeri menjalar di ulu hati."Mama Nisa, Bu. Tadi juga, yang lain dikasih makanan. Tapi, Nia enggak. Katanya orang miskin nggak pantes ikut makan kayak orang kaya. Takut makanannya sedih katanya."Ya Allah, astaghfirullah ....Aku menggandengnya masuk, meninggalkan tumbukan padi yang belum kuselesaikan. Ic
Read more
6. Musibah
"Buu! Ibu ngga jijik, ya? Masak makanan sambil cium bau embek. Apalagi eeknya banyak jatuh itu, Bu!" ujar Nia lagi, memecah lamunan. Aku segera membalik ikan asin di wajan. Sedangkan gadisku itu berdiri di ambang pintu. Matanya terlihat menyapu pandangan di depan."Lagian Nia berdiri di situ. Jangan di situ, biar nggak bau," ujarku tertawa."Kenapa kandangnya nggak dimajuin dikit, ya, Bu. Kan juga masih agak luas di depan sana," celetuk Nia. Apa yang ia katakan sama persis dengan yang ada dalam pikiran. Padahal mereka jelas tahu jika rumah ini berpenghuni. Setidaknya tunjukkan sedikit saja rasa manusiawinya padaku. Kupikir, masalah kami ini sudah selesai. Toh tidak ada lagi yang mereka perebutkan dariku. Lalu apa alasan kebenciannya ini?"Udah, Nia mandi dulu sana. Abis itu sarapan," pintaku. Ia mengangguk.Bab (6) fizo***"Bu ... tahu nggak? Menurut Nia, daging ayam bahkan daging kambing yang kemarin itu nggak ada yang bisa ngelebihin enaknya ikan asin," ujar Nia tertawa riang, lalu
Read more
7. Kepala Ikan
Sumpah Al-Qur'an (7)***Setelah kejadian tersebut, kini setiap malam Pak Bahul mempekerjakan dua orang untuk menjaga kambing-kambingnya di malam hari. Hal itu membuatku tak nyaman, sebab tawa yang menggelegar dari mereka membuat tidur kedua anakku tidak nyenyak di malam hari. Aku masih mengingat wajah riang Nia saat kubelilan eskrim homemade di tetangga, yang hanya seharga dua ribu itu. Ia menikmatinya hingga bibir mungilnya itu belepotan dengan eskrim. Jika bekerja seharian penuh, maka gaji yang kudapat tiga puluh ribu. Itu pun hanya di hari minggu aku bisa bekerja seharian penuh. Ica tak memakai diapers, aku hanya menggunakan kain sebagai popok untuknya. Uang yang kudapat hasil buruh hanya cukup untuk makan, itu pun hanya pas-pasan. Sebab, tak setiap hari ada yang memintaku untuk bekerja di ladangnya. "As! Aku masuk, ya?" Suara Bu Ramlah terdengar setengah berteriak dari luar rumah. Gegas aku membuka pintu, ia pun masuk tanpa kupersilakan.Jam delapan, tetapi cuaca begitu mendun
Read more
8. Roboh
Sumpah Al-Qur'an (8)***Aku mengemasi peralatan masak yang sebelumnya tergeletak di bawah. Bingung hendak bagaimana. Jika angin dan hujan terus berembus kencang, sudah pasti rumah ini akan roboh. Di luar juga tidak menjamin keselamatan, sebab tingginya pohon-pohon yang tumbuh di sekitar bisa saja roboh. Aku begitu menghawatirkan Nia. Semoga saja ia tetap di sekolah bersama teman-temannya. Tubuhku menggigil. Semoga saja Ica tidak kedingingan, dan juga hujan segera reda. Baru kali ini hujan turun dengan begitu dahsyat.Aku tersentak kaget saat terdengar suara yang begitu keras di sebelah rumah. Seperti suara pohon yang tumbang. Aku gemetar hebat. Bagaimana nanti bila rumahku juga tertindih pohon. Ya Allah ... mohon lindungi kami semua.Aku mandi dan segera shalat. Lalu mengaji di sebelah Ica yang masih terlelap. Beberapa kali ia terjaga sebab terkejut dengan kilatan petir yang memekkakkan telinga. Entah berapa lapis kain yang menimpa tubuhnya. Supaya ia tidak kedinginan.Kilatan peti
Read more
9. Sembako
Sumpah Al-Qur'an (9)***Walaupun hubungan keluargaku dan Pak Bahul tidak pernah baik, akan tetapi jujur, sama sekali aku tidak dendam. Atau bahkan merasa senang melihat Pak Bahul mendapat cobaan demikian. Tidak sama sekali.Walau terkadang aku juga marah karena perlakuan mereka. Aku bukanlah sabar, atau bahkan tidak bisa marah. Bukan! Keadaan yang menuntutku untuk bersikap demikian. Berusaha tabah. Sebisa mungkin menahan amarah bila merasa ditindas. Berusaha menahan hati agar tidak berdoa keburukan bila merasa didzalimi. Sungguh, aku tidaklah sabar. Yang bisa kulakukan hanya berdoa, semoga Allah melapangkan hati ini, dan mereka segera sadar atas tindakannya.Pikirku, asal aku bisa makan. Nia dan Ica tidak kelaparan. Itu sudah lebih dari cukup. Aku juga tahu diri. Tidak berharap bantuan dari tetangga. Yang kuharap hanya mereka memintaku bekerja di ladangnya, lalu diupah dengan layak. Hanya itu. Aku hanya menginginkan hakku.Sering kali saat ada bantuan dari program pemerintah, baik
Read more
10. Mie Instan
Sumpah Al-Qur'an (10)"Yeeyyy! Tuh tuh, Ibu pulang. Bawa mie sed**p. Udah lama banget kayaknya kita nggak maem mie itu ya, Dek!" Nia berkata dengan tertawa riang pada adiknya yang hanya dijawab dengan celoteh tak jelas.Anak-anakku rupanya sudah menunggu di teras rumah. "Lho, Bu! Mana bungkusannya, Bu?" tanya Nia. Dahinya mengernyit."Masuk dulu, yuk!" pintaku. Mereka masuk mengekor di belakang.Tadi saat melewati rumah Bu Ayu, aku sengaja memperlambat langkah. Sebab kudengar gelak tawa Bu Ramlah dari sana. Berharap ia melihatku, lalu memberi jatahku itu. Kebetulan pintunya dibuka cukup lebar. Aku melirik sekilas, melihat mereka sedang menata berbagai bungkusan yang aku tak tahu. Sebab aku hanya memandangnya sekilas. Kurang jelas."Bu, Ibu nggak dapet lagi, ya? Kayak daging kambing kemarin," tanya Nia. Kini, raut mukanya itu terlihat kecewa."Apa kehabisan lagi, Bu?" cecarnya terus."Ehmm ... gini ya, Nak. Nia mau mie sed**p, kan? Bentar!" Aku bangkit meninggalkannya. Berjalan menuj
Read more
DMCA.com Protection Status