SUAMIKU BUKAN SUAMIMU

SUAMIKU BUKAN SUAMIMU

By:  Siska_ayu  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
3 ratings
116Chapters
20.7Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Tidak ada persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan, kecuali salah satunya memendam rasa. Seperti halnya Hilman dan Anita. Mereka tetap dekat meski sudah mempunyai pasangan masing-masing.

View More
SUAMIKU BUKAN SUAMIMU Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
default avatar
widha.87
Hanaann.... ......... pliss bgt thor,, Hanan jangan dibuat mati. gak relaaa.... ......
2023-01-26 10:54:08
0
user avatar
Kayla Azahra
cerita yg bagus
2023-01-11 05:52:04
0
default avatar
ilmupustaka.19
belum2 udah greget neh thor... smoga bisa up tiap hari yaa... smangaatt ......
2022-11-18 22:30:17
0
116 Chapters
Bab 1
"Bun, itu ayah. Itu ayah!" Aku yang sedang menemani Ilham bermain di sebuah mall, langsung terperanjat mendengar celotehan riang Ilham dengan tangan yang menunjuk ke sebuah wahana permainan. Suara anakku itu terdengar begitu antusias saat menunjuk ke sosok lelaki yang berdiri tak jauh dariku dan Ilham. Aku men4jamkan penglihatan. Ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang dilihat Ilham itu adalah ayahnya yang juga suamiku. Benar saja, setelah menelisik hanya dalam beberapa detik, aku bisa memastikan bahwa itu adalah Mas Hilman, suamiku. Terlihat dari baju yang dikenakannya saat berangkat pagi tadi.Tapi tunggu. Siapa wanita yang berdiri di sebelahnya? Mereka berdua terlihat begitu akrab dan sesekali saling melemp4r senyum. Tiba-tiba saja, seorang anak perempuan yang usianya tak jauh beda dengan Ilham, menghampiri Mas Hilman dan memeluk kakinya sambil tersenyum riang. Nampak sekali anak perempuan berambut panjang itu sudah cukup dekat dengan Mas Hilman. Siapa sebenarnya wanita dan
Read more
Bab 2
"Sejak kapan dia pindah lagi ke sini, Mas?" Aku menatap Mas Hilman dengan mata yang masih mengeluarkan buliran bening. Suaraku masih bergetar menandakan sakit dalam hatiku belum luntur. Bagaimana tidak, suamiku sendiri justru meluangkan waktunya untuk menemani wanita lain dan anak orang lain. Sementara istri dan anaknya sendiri, harus menelan kekecewaan karena janji yang kembali diingkari."Beberapa hari yang lalu. Dia ... sudah bercerai dengan suaminya. Makanya pindah lagi ke sini," jawab Mas Hilman nampak ragu. Kepalanya menunduk seolah menghindari tatapan mataku."Oh ... jadi sekarang Mbak Anita janda?" Aku tersenyum getir. Kemudian mere mas seprai yang kini tengah aku duduki bersama Mas Hilman. Entah kenapa saat mengucapkan kata janda, hatiku semakin terca bik.Mas Hilman tak menjawab. Dia hanya menanggapi pertanyaan dariku dengan anggukan pelan. "Kenapa kamu selalu seperti ini, Dek? Selalu saja cemburu pada Anita. Padahal, kamu tau sendiri. Dari dulu Mas dan Anita bersahabat. Ba
Read more
Bab 3
Aku lekas bangkit lalu berjalan dengan cepat keluar dari kamarku. Meninggalkan Mas Hilman yang masih menggenggam erat ponsel yang terus menjerit-jerit minta diangkat. Aku masuk ke dalam kamar Ilham dan langsung menguncinya. Kemudian aku bersandar di balik pintu itu dengan tubuh berguncang. Air mataku kembali luruh. Lagi dan lagi.Lelah rasanya hati ini menangisi hal yang sama dalam beberapa tahun terakhir ini. Di awal pernikahan, aku dan Mas Hilman begitu bahagia. Aku berusaha memaklumi saat Mas Hilman dan Anita bertelepon hingga satu jam lamanya. Bahkan hampir setiap hari. Namun, lama kelamaan, aku mulai jengah dan menasehatinya dengan lembut. "Mas, Mbak Anita itu sudah punya suami. Mas juga sudah punya istri. Rasanya kok kurang pantas, ya, kalau kalian masih sering berhubungan seperti ini," protesku kala itu."Lho, memangnya apa yang salah, Dek? Kita cuma teleponan. Cuma saling berbagi cerita. Lagipula, suaminya Anita pun tau kalau Mas sama Anita itu sahabatan sejak lama. Kamu juga
Read more
Bab 4
Di atas tempat tidur, badanku meringkuk terbungkus selimut tebal. Buliran bening masih sesekali menetes dari sudut mata. Rasa sesak pun masih menggelayut hebat dalam dada. Kepergian Mas Hilman tanpa meminta persetujuan dariku, membuatku merasa menjadi istri yang tak ada artinya sama sekali di matanya. Aku bagaikan seorang istri yang tak dianggap.Detakan jarum jam terdengar begitu jelas dalam keheningan malam. Sudah hampir pukul sebelas malam, tapi Mas Hilman belum juga kembali. Aku memilih turun dari tempat tidur, lalu mengintip ke arah luar melalui tirai jendela. Nihil. Tak ada tanda-tanda Mas Hilman akan segera pulang. Aku hanya bisa terus mondar-mandir di dalam kamar dengan hati yang semakin gelisah. Aku pun mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Kemudian menekan kontak bernama suamiku. Namun, hanya suara operator yang terdengar menandakan bahwa nomor Mas Hilman tidak aktif.Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas pelan saat hatiku kembali terasa dit1kam dengan begitu ku
Read more
Bab 5
Mumpung hari masih siang, aku pun memutuskan untuk langsung ke rumah Anita dan menitipkan Ilham di rumah Rima. Beruntung aku mengetahui alamat rumah sahabat suamiku itu karena dulu Mas Hilman sempat mengajakku ke rumahnya. Berbekal motor matik milik Rima, aku melaju menembus jalanan di siang hari yang panasnya terasa begitu menyengat dan membakar kulit. Sepanjang perjalanan hatiku tak karuan memikirkan reaksi apa yang akan ditampilkannya padaku. Ah b0do amat. Mas Hilman kan memang suamiku, bukan suaminya. Jadi aku yang lebih berhak menentukan siapa saja yang boleh bergaul dekat dengan suamiku itu.Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya motor yang aku kendarai sampai di halaman rumah yang kini nampak jauh berbeda dari rumahnya dulu. Bangunannya kini lebih besar dan luas dengan terlihat megah. Tak heran, karena Anita sebelumnya mempunyai seorang suami yang sukses dan mapan. Entah hal apa yang menyebabkan mereka memutuskan untuk bercerai padahal sudah ada putri kecil yang sangat cant
Read more
Bab 6
Aku langsung terkejut mendengar pertanyaan Mas Hilman. Entah darimana dia mengetahui kalau aku habis dari rumah Anita. Atau jangan-jangan, wanita itu mengadu pada Mas Hilman. "Lebih baik kita masuk dulu, Mas. Gak enak dilihatin tetangga." Tanpa menjawab pertanyaan Mas Hilman, aku melenggang melewati tubuhnya yang masih mematung di teras. Gegas aku membuka kunci rumah lalu masuk ke dalam."Ilham, ayo, masuk, Nak!" Aku memanggil Ilham yang masih berdiri di samping ayahnya. "Ayah, masuk, yuk!" Ilham menarik tangan Mas Hilman dan mengajaknya masuk bersama-sama. "Dek, jawab dulu. Mas nanya sama kamu!" Setelah ada di dalam rumah, Mas Hilman kembali melontarkan pertanyaan yang belum sempat aku jawab. Aku yang baru saja mau masuk ke dalam kamar untuk membuka jilbab dan berganti pakaian langsung menghentikan langkah. Aku berbalik lalu menatap Mas Hilman. "Iya. Aku memang dari rumah Anita," jawabku tenang. Setelahnya aku kembali berbalik dan melanjutkan langkahku memasuki kamar. Kubuka j
Read more
Bab 7
Merasa risih dengan tatapannya, aku buru-buru berbalik lalu pura-pura mengambil beberapa cangkir untuk membuat kopi dan teh manis. "Mau dibuatin kopi atau teh?" Aku bertanya pada Hanan untuk mengalihkan pertanyaannya. "Gak perlu. Aku bisa bikin sendiri," jawabnya sambil kembali mengambil potongan brownies. "Kenapa pertanyaan yang tadi gak dijawab? Abangku memperlakukanmu dengan baik, kan? Kamu bahagia nikah sama dia?" Ah, ternyata dia masih saja menanyakannya. "Tentu saja Mas Hilman memperlakukan aku dengan baik. Dia sayang banget sama aku." Aku menjawab sembari mengaduk kopi hitam di hadapanku. Tak sedikitpun berani menatap mata Hanan yang masih berdiri di belakang. Entah kenapa dia selalu saja tau jika aku sedang berbohong. "Syukurlah. Tak sia-sia aku melepas—. Eh, aku ke depan dulu, ya. Belum nemuin Mas Hilman nih!" Tiba-tiba saja dia bersikap seolah menghindari mengatakan sesuatu. "Oh, oke. Aku juga udah selesai, kok!" timpalku meski masih penasaran dengan apa yang ingin dik
Read more
Bab 8
Aku duduk berjongkok di depan pembakaran dengan mata menerawang. Teringat perkataan Hanan beberapa tahun yang lalu. Saat itu, di sore hari yang sedang hujan dengan cukup deras, dia datang ke rumah dengan mengendarai motornya. Beruntung dia mengenakan jas hujan hingga tak basah kuyup meski sebagian tubuhnya tetap saja ada yang kebasahan. "Hanan!" Aku menatapnya dengan kening berkerut saat membuka pintu. Dia berdiri dengan tubuh sedikit menggigil karena kedinginan. "Buruan masuk!" lanjutku sambil berbalik. Hanan pun masuk ke dalam rumah mengikuti langkahku. "Tunggu bentar, ya. Aku bikinin teh panas dulu!" Aku berjalan cepat menuju dapur. Kasian melihat tubuhnya yang gemetar.Setelahnya, aku kembali lagi ke ruang depan menghampiri Hanan dan menyerahkan teh panas itu ke tangannya. Hanan menggenggam cangkir berisi teh panas itu seolah mencari kehangatan. Beberapa saat kemudian dia menyeruputnya dan keadaannya mulai terlihat membaik. Tak gemetaran seperti tadi."Kamu ngapain ke sini? Hu
Read more
Bab 9
Mendengar ucapan pedas ibu mertua, rasanya aku tak sanggup sekedar untuk menelan makanan yang terlanjur masuk ke dalam mulutku. Gegas aku mengambil gelas berisi air putih, lalu meneguknya hingga tandas untuk mendorong nasi yang belum sempat aku kunyah. Saat melewati tenggorokan, nasi itu terasa bagai butiran pasir yang begitu menusuk. Ditegur langsung di depan Mas Hilman dan Anita seperti ini, rasanya seperti sedang dikuliti sedalam-dalamnya. Perih, hingga begitu menusuk ulu hati. Sepasang mataku rasanya memanas dan langsung mengabur tertutup kabut air mata yang mulai menggenang. "Bener apa yang dikatakan ibu, Ra. Kamu gak perlu cemburu berlebihan apalagi sampai berpikir yang tidak-tidak." Mas Hilman menimpali. Dia pasti merasa senang karena mendapat dukungan dari ibunya sendiri. "Astaghfirullah, Bang. Harusnya Abang tuh mengerti perasaan istri sendiri. Kalau bukan Abang, siapa lagi yang akan ngertiin Zara." Tiba-tiba saja Hanan sudah berdiri di ambang pintu. "Ibu juga. Bukannya me
Read more
Bab 10
Aku hampir saja melemp4r ponsel saking kesalnya. Apalagi saat melihat Ilham yang semakin kesusahan bernapas. Tiba-tiba saja aku teringat perkataan Hanan siang tadi. "Aku akan selalu ada untukmu." Gegas aku mencari kontaknya yang baru tadi siang aku simpan. Setelah ketemu, aku langsung meneleponnya. Panggilan pertama tak diangkatnya. Padahal jantungku sudah berlompatan saking ketakutan dengan kondisi Ilham. Beruntung saat aku menelponnya lagi, Hanan mengangkatnya. "Halo, Ra, kenapa?" tanya Hanan di sebrang sana."Tolong aku, Han. Sesak napas Ilham kambuh. Obatnya juga habis. Mas Hilman gak ada di rumah," jawabku dengan bibir bergetar saking paniknya. "Astaghfirullah. Aku langsung ke sana sekarang. Kamu siap-siap dan tunggu di depan," timpal Hanan dengan nada suara yang juga terdengar panik. Belum sempat aku menjawab, sambungan telepon sudah terputus. Aku langsung meletakkan ponsel sembarang. Lalu mengusap-usap punggung Ilham yang ada dalam pangkuanku. "Sabar, ya, Sayang. Sebentar
Read more
DMCA.com Protection Status